Oleh: Rahmat Akrim
Sinar bulan masih menampakan wajahnya di sepertiga malam, diikuti dengan angin yang bertiup kecil membuat tubuh mereka terasa tertusuk dinginnya malam. Mereka hanya diam seperti pajangan yang melekat pada dinding, yang terlintas di pikiran hanyalah pertanyaan demi pertanyaan. Apakah aku harus menunggu? Apakah dia benar-benar akan kembali, bagaimana jika ia takkan pernah kembali? Keraguanpun tergambarkan dari wajah perempuan berkerudung putih itu.
Lelaki separuh baya itu harus meninggalkan sejuta kenangan manisnya. Ya, ia harus tinggalkan. Pekerjaan kini harus menjadi prioritas utama. Sebab pekerjaan di desa sulit untuk didapatkan. Semenjak ayah tercinta meninggal dunia, ia sudah menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Apalagi, ditambah dengan sang ibu yang di vonis oleh dokter mengidap kanker otak, maka mau tak mau ia harus pergi mencari pekerjaan ke luar kota untuk mengobati ibunya.
Kini lelaki itu terpaksa harus memilih. Tetapi begitulah seorang anak, bagaimanapun rasa kasih sayang terhadap pujaan hati, ia tetap lebih memilih seseorang yang telah berjuang melahirkannya ke dunia. Meninggalkan memang terlalu sakit, karena konsekuensi yang harus di hadapi adalah perihnya menanggung rindu.
“Sungguh aku tak sanggup” Marwah bersuara kecil.
“Mar, pertemuan dan perpisahan adalah fitrahnya kehidupan, jika memang Tuhan menakdirkan kita untuk bersama pasti kita akan bersatu walau sesulit apapun masalah yang di hadapi” Pinta Affan sedikit menyemangati.
“Ya, aku tahu. Tapi apakah kau akan setia dengan jarak yang begitu jauh? Aku takut Fan”, ujar perempuan yang lagi duduk disamping Affan, dengan nada sedikit tak percaya.
Dua manusia yang sudah menjalin hubungan selama empat tahun itu harus terpisah karena pekerjaan. Mereka sudah lalui masa-masa bahagia, lewati rintangan, dan canda tawa bersama, kini akan hilang bagaikan senja yang harus pergi meninggalkan siang dikala malam mulai mendekat. Angin malampun semakin menebarkan pesonanya, sampai-sampai pohon cemara ikut bergembira dibawah terangnya cahaya sinar bulan purnama, sedangkan dua insan ciptaan yang maha kuasa itu belum sanggup untuk berpisah.
“Kutunggu kau besok di stasiun kereta, aku berharap kau akan datang” Sahut Affan kepada Marwah.
“Iya..kuharap kau menjaga cinta kita.” Tutur Marwah.
“Aku akan terus menjaga cinta ini, dalam setiap langkah kaki ini akan kuselipkan sebait doa kecil untuk Tuhan, semoga cinta kita selalu dalam lindungannya.” Ungkap Affan.
“Amin….” Jawab Marwah, sembari menyandarkan kepalanya ke pundak Affan.
Daun-daun kering masih dibasahi titik-titik embun, kicauan burung masih berbisik diatas ranting-ranting pohon, mentari belum juga menebarkan hangatnya pagi. Perempuan dengan hijab panjang yang menutupi seluruh tubuhnya itu sudah beranjak keluar rumah menuju stasiun. Ditengah perjalanan, seketika dunia menjadi gelap dilihatnya, ia pun langsung tak sadarkan diri.
Sedang lelaki dengan jaket tebal serta tas yang melekat di punggunya itu, tengah duduk menunggu seseorang yang belum juga tiba, tiap menitpun ia selalu melirik jam yang melekat pada tangan kirinya. Iapun terus-menerus mencoba menghubungi nomor telepon Marwah tetapi selalu saja tak ada jawaban. “Apa mungkin ia tak akan datang, bukankah semalam ia sudah berjanji untuk mengantarku pergi?” Tanya Affan dalam hati. Dengan rasa sedikit kecewa, perlahan-lahan Affan mulai melangkahkan kakinya menuju tempat dimana kereta berada, sesekali ia menengok kebelakang tapi tak ada sedikitpun bayang-bayang perempuan yang dicintainya. Akhirnya kereta berjalan menuju Kota Surabaya.
***
Tiga bulan sudah Affan kerja keras mencari biaya pengobatan untuk ibunya. Memang, dua hari setelah sampai di Surabaya, Affan langsung mencari pekerjaan. Hanya dengan bermodalkan ijazah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), ia sedikit paham mengenai administrasi dan tata usaha, jadi ia langsung diterima bekerja. Selain pintar komputer, Affan juga disenangi bosnya sehingga acapkali ia mendapatkan upah lebih dari pemimpin perusahaan itu.
Sedang Marwah harus berteman dengan kursi roda. Sejak kecelakaan itu terjadi, ia harus istirahat total dirumah. Andai saja waktu itu sopir taksi tidak menabrak pohon pasti Marwah sudah menemui Affan di stasiun kereta. Semenjak kepergian Affan ia hanya menahan rasa sakit tak bisa berjalan dengan dua kakinya.
Waktu demi waktu Affan terus menunggu kabar dari Marwah. Bahkan, setiap hari ia selalu menelfon tapi hasilnya nihil, kabar Marwah pun bagaikan waktu yang di telan bumi, hilang seketika tanpa sedikit menyimpan bekas. “Mungkin ia sudah ada lelaki lain disana, tetapi secepat itukah ia melupakan kotoran yang hina ini” Gumam Affan dengan hati sedikit kecewa. Memang sejak musibah menimpanya, Marwah berjanji tak akan pernah mau bertemu lagi dengan Affan, apalagi memeberitahukan kabar tentangnya. Ia tak ingin Affan sampai tahu keadaan yang di deritanya.
Suatu saat dimana senja mulai menunjukan keindahannya. Tiba-tiba saja gemuruh rindu mulai menebar pada jiwa yang tak berdaya itu, rindu yang tak bisa ditahan lagi, merasuki disetiap sela-sela hembusan nafasnya. Bayangan sosok wajah Affan selalu hadir dihadapannya. Dengan hati yang tak kuasa menahan sakitnya merindu, Marwah langsung bergegas menuju dimana telpon rumah di letakkan.
“Triiiing…triiing….” Affan yang lagi duduk tepat di depan komputer langsung mengangkat telepon yang ditaruh diatas meja kerjanya. “Assalamualaikum?” Salam Affan. Serentak dua bola mata Marwah meneteskan air mata, hingga pipinya basah dengan air mata kerinduan. Suara yang selama ini menghilang, suara yang selama ini dia rindukan, kini dia mendengarnya kembali. “Hallo….? Affan kembali bersuara.
Marwah hanya diam dengan hati yang seduh sedan serta tetesan air mata terus membasahi pipinya. “Ini dengan siapa ya..?” Tanya Affan dengan raut wajah yang kebingungan. Marwah hanya bisa diam, seakan-akan mulutnya terasa berat untuk mengucapkan kata rindu, disela isak tangisnya itu, Marwah lalu mematikan teleponnya.
“Ya Allah perpisahan ini terlalu sulit, aku tak sanggup menahannya, aku tak kuasa menahan sakitnya merindu, berikan aku petunjuk-Mu ya Allah, bukankah kerinduanku ini merupakan cermin kerinduanku terhadap-Mu, bukankah kerinduanku ini bentuk kasih sayangku terhadap-Mu, tolong kau jawab kegelisahanku ini ya Allah”. Jika aku disuruh memilih antara meninggalkan dan ditinggalkan, aku lebih memilih meninggalkan”. Perempuan yang berusia 24 tahun itu seakan pasrah terhadap sang pencipta dan hanya bisa menahan sakitnya ditinggalkan.
Perpisahan memang hanya dijadikan alasan untuk mengalirnya setetes kerinduan, ketika kaki mulai lelah untuk melangkah, maka air mata adalah satu-satunya cara, dan ketika mulut tak sanggup untuk berbicara. Seperti itulah yang Marwah rasakan pada saat ini, gejolak api rindu yang selalu mengalir didarah bahkan sudah menjadi daging pada tubuhnya, tetapi bagaimanapun keadaannya Marwah harus belajar menjadi seseorang yang kuat, tangguh, agar tidak menjadikan perpisahan sebagai salah satu dari sekian cara untuk bersedih.
***
Setahun setelah percakapan Affan dan Marwah di telfon, akhirnya Affan memutuskan untuk kembali ke desa, apalagi biaya operasi untuk ibunya sudah terkumpul. Kembali dengan membawa sedikit luka pada gambaran sosok seorang Marwah, kekecewaan yang hilang ketika tiada kabar sedikitpun darinya selama ia berada di Kota Pahlawan itu. Ketika mentari mulai meninggalkan siang serta burung-burung berbisik memanggil kawan untuk kembali ke sarang, Affan yang sudah membeli tiket langsung naik ke kereta menuju kampung halamannya. S
elang beberapa jam kemudian, masinis pun membunyikan sirine pertanda kereta telah sampai di tujuan, seorang pria dengan rambut yang sedikit bergelombang serta tubuh yang sedikit kekar itu, langsung turun dari kereta menuju tempat tinggalnya.
Malam itu bulan kembali menyinari alam semesta. Affan yang sudah seminggu kembali dari kota, kemudian termenung di teras depan rumah, termenung mengingat kembali perpisahan terakhirnya dengan Marwah dikala rembulan menyinari malam, mengingat ketika angin bertiup dan menjatuhkan daun-daun kering diantara suasana yang hening, hanya suara malam yang sempat terdengar dikala itu.
“Mengapa aku mengingatnya? Aku harus melupakannya! Mungkin sudah saatnya melupakan kenangan masa lalu dan menguburkan didasar palung hati ini, aku harus menggapai bintang yang baru, membuka lembaran baru, untuk apa aku mengingatnya, toh dia juga tidak pernah mau mengingatku sedikitpun”. Akhirnya kekecewaan tergambarkan dari wajah lelaki penunggu malam.
Sinar rembulan masih terus menyinari seluruh semesta alam, tetapi kekecewaan masih saja menghantui dipikiran dan kenangan menjadi sebab datangnya kerinduan. Ditengah kerinduan yang terus menghantui pikiran, Affan langsung bergegas menuju dimana tempat terakhir kalinya ia berpisah dengan Marwah. Sesampainya disana ia melihat perempuan yang sedang duduk diatas kursi roda dan menatap rembulan yang bersinar.
Perlahan-perlahan Affan mulai mendekati perempuan berkursi roda, ia terus melangkah dan mendekati perempuan itu, tiba-tiba saja langkahnya terhenti ketika perempuan itu memutar balikkan kursi rodanya.
Mereka hanya saling menatap dengan wajah yang penuh tanya. Tak ada suara yang keluar dari mulut mereka kecuali setetes air mata yang jatuh dari perempuan berkerudung itu. Selama beberapa menit saling menatap, Affan pun mendahului pembicaraan.
“Mengapa kau tega menyiksa aku seperti ini, mengapa? Aku terus berharap padamu tetapi apa balasan darimu, kau rampas segala wujud pengharapanku, sekejam itukah dirimu. Bukankah kau yang mengatakan untuk menjaga cinta kita, tetapi kau pula yang lupa dan bahkan tak sedikitpun berikan kabar disaat kujauh darimu. Tidak Marwah, tidak. Kau terlalu kejam menghukum lelaki yang hina dina ini”.
“Sekejam itukah kata yang keluar dari mulutmu? Apakah kau pernah berfikir betapa tersiksanya aku menanggung rindu dan penderitaan ini? kau tidak pernah berfikir itu Fan, tidak akan pernah. Aku tersiksa disepajang malamku dan masih kau katakan bahwa aku merenggut harapanmu. Apa kamu tak lihat kondisiku sekarang, apa kamu akan bertahan dengan wanita yang cacat seperti aku, tidak Fan! Hanya lelaki bodoh yang akan mencintai wanita cacat seperti aku ini”.
“Sempat kucoba menghapus rindu ini dengan cara menelfonmu, tetapi sungguh aku tak sanggup bersuara, aku hanya bisa meneteskan air mata Fan. Lebih baik kau cari wanita yang lebih sempurna dariku, kuyakin kau tak akan pernah mampu menanggung manusia yang tak seutuh aku.
“Tidak Marwah, aku tak mampu berbohong pada diri ini, sungguh aku masih mencintaimu. Biarlah Tuhan yang menjadi saksi atas duka dan dera diri ini. Aku sanggup menanggung semua ini sekalipun kau tak sesempurna dulu lagi. Aku akan berjanji pada Tuhan-Ku tak akan pernah sedikitpun meninggalkanmu, kecuali maut memisahkan kita berdua”.
Malam yang penuh bahagia. Dua insan yang selama ini berpisah kini bersatu kembali dalam ikatan yang pasti. Anginpun seakan bersuka cita melihat bahagianya sepasang kekasih, dibawah sinar bulan purnama dan angin betiup sepoi ini, mereka berjanji tak akan meninggalkan satu sama lain untuk selama-lamanya.(*)