Membaca Realitas
728×90 Ads

Dayana dan Sebuah Perayaan

Oleh

Umi Fara

Waktu itu, setelah senja tergelincir di punggung bukit Halmahera. Aku duduk memangku dagu di bahu jendela. Melihat burung-burung gereja mendatangi dahan-dahan pohon di pesisir pantai. Sesekali kulihat mereka mengepakkan sayap, sesekali terlihat seperti sedang berbincang, sesekali mereka terdengar seperti sedang bertengkar, hanya sesekali dan suara-suara itu kemudian lebur ke dalam kegelapan.

Semesta memang mengandung misteri, pikirku. Orang-orang yang melihat peristiwa itu pasti takjub, tapi tidak denganku, yang masih duduk di bahu jendela ketika gelap malam perlahan merayap ke dinding rumah-rumah, dan lampu-lampu di beranda mulai menyala. Aku masih di situ, belum bergeming dan terganggu dengan semacam perenungan. Bukankan siang tadi, matahari masih tegak berdiri, kokoh dilangit.

Lalu karena alasan apa sesuatu membuatnya memudar lalu jatuh dalam kegelapan, digantikan pendar cahaya bulan yang datang belakangan. Semacam paradoks yang terus saja membuatku kagum dan bertanya-tanya.

Aku merayu beberapa gagasan. Setidaknya itu bisa jadi alasan untuk meramaikan kesunyian. Seperti kamar yang secara sengaja kuberi nama Dayana. Iya, kamar ini kunamai Dayana. Sepetak surga yang telah menemaniku melewati hari-hari duduk yang melelahkan. Mungkin beberapa hari lagi kamar ini akan dipenuhi buku-buku yang akan melengkapi koleksi bacaanku. Kerajaan kecil yang membosankan. Empat tahun lamanya aku terjebak dalam keheningan ini.

Namun ini tak bisa disebut sunyi jika berjejer kumpulan buku dalam rak-rak yang saling mengimpit. Sambil sesekali mengajak mereka berdiskusi. Kau tahu buku selalu punya caranya sendiri untuk menyembunyikan apa saja. Barangkali yang terjadi adalah buku selalu menjadi sebuah misteri yang sulit dipecahkan. Ia akan merayumu perlahan-lahan, mengajakmu masuk dalam sebuah permainan. Buku memang selalu menawarkan sebuah kekayaan petualangan yang dahsyat, dan aku selalu dibuatnya mabuk dan terlelap tidur. Jika aku ingin beristirahat. Maka ia akan memberi isyarat.

“Tidurlah. Kau tak akan mengubah apa-apa hanya karena membacaku.”

“Dek, ayo bangun. Kau pasti tak tidur lagi semalaman.”

Ibu selalu membangunkanku dengan kalimat yang sama setiap harinya, dan kecurigaan itu pasti selalu kubalas dengan satu kalimat yang juga sederhana.

Dayana kesepian Bu. Aku harus tetap menemaninya.”

Pagi ini akan dimulai dengan pertengkaran-pertengkaran yang nyaris sama setiap harinya. Ibu akan mulai berceramah tentang kesehatanku dengan berkata “Ibu tak melarangmu membaca. Perhatikanlah waktu istirahatmu.” Ibu memang tak melarangku membaca karena ia seorang pembaca ulung, yang juga menghabiskan waktu luangnya untuk membaca setelah lelah mengajar di kampus.

Ibu adalah seorang dosen jurusan sastra di sebuah kampus swasta yang juga suka mengoleksi buku. Tapi tentu tak sebanyak punyaku. Setelah Ayah meninggal beberapa bulan lalu. Ibu jadi seorang pendiam yang selalu rutin membelikan aku buku. Aku menangkap banyak kesedihan dalam matanya. Hanya aku dan Dayana yang tahu seberat apa beban di tulang punggungnya. Ia yang harus menahan malu karena terlilit banyak hutang.

Ditambah Si kampret, Ayahku, yang mati beberapa bulan kemarin itu tak meninggalkan apa-apa setelah disita petugas pajak. Ia meninggal karena serangan jantung saat sidang terakhirnya berlangsung. Hakim memvonis Ayah bersalah karena telah “mencuri uang rakyat” kata Ibu suatu waktu. Ayah pingsan dan meninggal setelah bunyi ketiga palu sidang.

Tapi kematian tak selalu tentang ironi. Kematian memberi kita semacam perenungan setelah berkabung dalam kesedihan. Aku tak merasakan apa-apa setelah si kampret itu mati. Karena kejahatannya lebih banyak membawa petaka, pikirku. Korupsi adalah bukti bahwa manusia bisa jatuh dalam kedangkalan moral yang jijik. Orang-orang mungkin akan berdiskusi panjang tentang itu. Tapi sudahlah kematian Ayah masih menyisakan satu tugas berat yang harus kugeluti setiap harinya.

Menghibur Ibu dengan diskusi-diskusi kecil di pagi hari. Memintanya untuk merekomendasikan bacaan-bacaan bagus. Aku dan Ibu akan melakukan ibadah diskusi itu di ruang tengah bersama dua gelas teh panas dan beberapa camilan yang sudah ia siapkan sebelum berangkat ke kampus. Ritual ini akan dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggoda nalar.

Kentang goreng melompat ke dalam mulutku dengan gembira.

“Dek, menurutmu kemanakan Ayah akan pergi?.”

Ibu memberi pertanyaan itu dengan segaris senyum yang pura-pura. Ia tahu betul jawabanku. Seperti kombinasi cacian dan humor.

“Ayah pasti pergi ke tempat para kampret itu biasa mengopi di bawah hujan tusukan, meminum nanah yang busuk, memakan daging dari tubuhnya sendiri, di mana lagi jika bukan ke neraka.”

Ibu juga akan berpura-pura marah dengan kata-kata yang selalu kudengar seperti semut-semut yang lewat.

“Berhentilah membencinya. Tak bisakah kau membayangkan hal-hal baik untuk Ayahmu. Ayah tetaplah Ayah.” katanya.

Ritual yang sama juga akan terjadi ketika Ibu membawa pulang buku-buku bagus setelah pulang dari kampus. Ibu akan memberiku sedikit pengantar setelah itu membiarkanku tenggelam dalam arus bacaan yang menegangkan semalaman, dan tentu akan berakhir dengan kemarahan yang sama di pagi hari.

“Pikirkan kesehatanmu dek, Ibu tak akan melarangmu membaca.”

Aku hanya seorang yang gemar membaca. Kecelakaan yang menimpaku beberapa tahun lalu membuatku bukan hanya gemar tetapi gila membaca. Biasanya aku akan menghabiskan beberapa buku dalam sehari. Bukan dengan membaca keseluruhannya.

Aku suka membuat puzzle-puzzle atau pola acak setelah menemukan hal-hal baru. Mula-mula aku akan membuat catatan-catatan pendek dari setiap buku yang kubaca setelah itu menggabungkannya satu-persatu sambil memperhatikan kesesuaian topiknya. Ini akan menjadi permainan yang menegangkan dan menyita banyak waktu untuk bisa menyelesaikannya. Membaca dengan cara yang tak biasa ini telah kugeluti beberapa tahun terakhir. Tak ada aktivitas  yang membuatku merasa produktif untuk melewati hari-hari duduk yang melelahkan bersama Dayana. hanya membaca.

“Dek sepertinya kursi rodamu rusak, Ibu akan memanggil pamanmu untuk membawanya ke bengkel untuk diperbaiki.”

Itu adalah kursi yang telah membantuku selama ini. Empat tahun yang melelahkan. Setelah kecelakaan yang membuat tubuh bagian bawahku layu. Aku lumpuh setelah kecelakaan naas malam itu. Aku membenci harus menceritakan peristiwa konyol itu lagi. Cerita yang akan terus membuatku berbasa-basi ketika kebetulan kerabat berkunjung ke rumah.

Lagi pula itu bukan sesuatu yang menarik menurutku. Itu hanya karena ketentuan Tuhan yang kebetulan singgah dalam sejarah perjalanan hidupku. Agaknya, akan jadi percuma jika merenungi sesuatu yang telah jauh berlalu. Awalnya, kemalangan ini memang terasa seperti sebuah siksaan yang memilukan, tetapi lambat laun ini hanya menjadi sesuatu yang biasa saja ketika diceritakan berulang-ulang.

Ustaz selalu menceramahiku tentang betapa pentingnya menerima takdir sebagai sebuah kebaikan yang Tuhan berikan. Tapi bukankah itu hanya hal konyol lain yang harus aku percaya. Dengan percaya pada tuhan saja tak membuatku bisa berjalan lagi. Lagi pula aku sudah terlanjur nyaman bersama Dayana. Surga kecilku itu.

Ustaz Salim adalah seorang guru mengaji di dekat rumah. Ibu selalu mengundangnya ke rumah untuk mengajakku berbincang. Aku tahu itu hanya cara Ibu untuk mengimbangi kebiasaan membacaku yang terlampau berlebihan.

Hanya sekedar meredam amarahku jika  sedang bosan minum obat. Tapi ustaz Salim adalah orang lain selain Ibu yang berani kuajak bercerita. Ia biasanya akan mengutip satu dua buah ayat dalam kitab suci untuk menasihatiku yang sudah menganggap semuanya biasa saja. Bahkan terkadang buang-buang waktu.

Bukan tak percaya pada cerita-cerita itu. Ustaz Salim selalu punya senyuman khas untuk menceritakan kisah-kisah heroik para utusan tuhan. Atau ironi-ironi yang membuat para nabi itu secara ajaib bisa melewatinya.

Awalnya aku merasakan ada semacam kedamaian dalam perbincangan itu. Tapi lagi-lagi, hanya seperti semut-semut hitam yang lewat. Tak berarti apa-apa. Kelumpuhan ini menciptakan semacam kegilaan dalam benakku.

Entahlah, Dayana masih menjadi kenyamanan yang membuatku tenang. Aku terlampau tak percaya pada kata-kata yang turun dari langit dan masuk ke dalam kepala dan meluncur keluar dari mulut Ustaz, menombak  keyakinanku yang telah rapuh, lebih lagi kenyamananku. Dengan percaya pada takdir dan masa lalu  hanya akan membuatmu manja pada kenyataan yang sebenarnya.

“Tuhan sudah mati. Dia tak datang di malam celaka itu.” Tegasku pada Ustaz.

“Perbanyaklah mengingat tuhan mungkin bisa menenangkanmu.” Sergahnya.

Ustaz mengakhiri percakapan dengan senyum seadanya. Karena setelah mengaji Dayana pasti telah menunggu. Kerajaan kecilku. Surga yang bukan milik Tuhan, selalu kurindukan.

Ibu mengantar Ustaz keluar dengan sepenggal kalimat yang menyerempet sisi pintu yang hampir tertutup. Dari dalam kamar kudengar.

“maafkan anakku ustaz. dia memang punya obsesi-obsesi yang berlebihan. Datanglah lagi Jumat depan,” kata Ibu.

“Baiklah.”

Lalu pintu depan rumah akan tertutup dengan suara tangisan yang bernada pelan. Itu bukan tangisan Ibu, pikirku.

***

Suara ribut jatuh dari langit dan mengenai atap rumah. Aku memeluk bantal bersama Dayana di sebelah rak buku dan bergumam dalam hati, hujan bukan hanya rahmat, hujan juga merupakan gangguan bagi orang-orang yang lebih nyaman dalam keheningan. Orang-orang sial sepertiku.

Keributan itu berlanjut dengan suara salam seseorang yang sedang tergesa-gesa di depan pintu rumah. Kudengar Ibu menjawab dan dengan langkah cepat membuka pintu.

“Hujan sederas ini, mengapa tak menunggu sampai hujan berhenti.”

Itu adalah paman Novanto yang datang membawa kursi rodaku yang telah selesai diperbaiki. Ibu menjemput paman dengan sebuah pertanyaan.

“Bukannya hari ini adalah sidang terakhirmu?.”

“Aku harus cepat-cepat kesini memberi kursi rodanya.” Kata paman Novanto.

Seperti ada yang tersedak di kerongkongannya. Ia kemudian melanjutkan,

“ Ada yang perlu aku bicarakan dengan anakmu.”

Ibu merapikan mantel paman Novanto lalu membiarkan mantel itu tergeletak begitu saja di atas lantai yang sudah basah dan penuh dengan tanda kaki, becek mengotori lantai. Setelah membuatkannya teh. Ibu tiba-tiba bertanya,

“Apa lagi yang ingin kau bicarakan dengan anakku. Belum puaskah kau mengantar suamiku ke neraka.”

Di tengah pembicaraan itu aku berdehem dari dalam kamar, menandakan kalau aku juga mendengar apa yang dibicarakan. Paman Novanto mungkin tahu bahwa kehadirannya tak lagi diinginkan keluarga ini, itu bisa kudengar jelas dari dalam kamar.

Ibu menyuruh paman pergi. Ada semacam ketakutan yang kudengar. Lalu dengan setengah berteriak. Aku memanggilnya,

“Tunggu paman. mana kursi rodaku. Apa pun itu masuklah.”

***

Aku baru menyelesaikan satu dari tiga buku baruku dan melamun di atas kursi roda ketika paman Novanto datang. Buku ini memang sudah beberapa bulan aku tunggu. Judulnya Crime and Punishment karya Fyodor Dostoyevsky. Ada beberapa hal yang masih sulit dipahami dari karya ini tapi kuputuskan untuk terus membaca. Seorang teman pernah bercerita bahwa ini novel yang berat dan butuh waktu berminggu-minggu untuk dipahami.

Tapi setelah membacanya sampai selesai, aku justru suka dan membacanya berulang kali. Karena masih belum puas dengan jawaban mengapa Raskolnikov tokoh utama dalam novel itu; nekat membunuh Alyona Ivanovna, wanita tua lintah darat yang tinggal sendiri di flat tak jauh dari tempat kosnya.

Sebuah skema cerita yang melenturkan batas antara keadilan dan kegilaan. Dan ini menjadi semakin menarik karena memberiku kesadaran tentang takdir, hukum dan ketidakadilan. Imajinasiku berhenti seketika. Aku tak menyadari kehadiran paman Novanto yang telah lama melihatku melamun.

“Apa yang kau lakukan dek, Cobalah untuk mendengar. Ibumu sudah kuberitahu.” Paman tergesa-gesa,

“Apa itu. Katakanlah. Aku bukan anak kecil lagi paman.”

“Paman telah melakukan dosa besar karena menjadikan Ayahmu kambing hitam.”

“Apa … ?”

“Iya dek. Ayahmu sebenarnya tak bersalah. Dia mati hanya karena tak mau paman dipenjara”

“Maafkan pamanmu dek, tak ada lagi yang tersisa selain pengakuan ini”

Aku menerbangkan suara tawa itu dari dalam kamar. “Dayana lihatlah orang ini sedang melakukan pengakuan dosa pada seorang pesakitan dan lumpuh. Ia kira dengan begitu Ayahku akan hidup lagi. Ayah yang terlanjur kusebut kampret dan telah kumaki-maki setiap kali mengingatnya. Lihatlah Dayana bagaimana tuhan memainkan sandiwara konyol ini berkali-kali. Karena takdir, Ayah mati, dan karena takdir pula pamanku jadi seorang pendosa kesiangan.

Dayana kegilaan macam apalagi yang akan kita temui nanti. Tuhan memang sedang bercanda. Setelah melumpuhkan tubuhku. Dia masih saja bermain-main dengan kejutan-kejutan yang konyol ini.

Aku memang benar telah membunuhnya. Tuhan memang telah mati dan kegilaan-kegilaanlah yang mampu menjelaskan itu. Menjelaskan cara tuhan mengatur dunia dengan ironi dan misteri yang pada akhirnya akan kita percaya sebagai takdir yang membelenggu.

Jika aku harus gila untuk menerima kenyataan. Maka tak salah jika kehidupan yang benar-benar baik untukku harus kurebut dari tangan-Nya. Kita berhak atas kebahagiaan Dayana, bahkan jika harus merenggutnya dari tangan takdir. Kita telah melakukannya Dayana.

“Pulanglah paman. Kau hanya akan membuatku terbahak-bahak.”

Paman Novanto terheran-heran lalu pulang dengan wajah yang mengerut. Ia mungkin mengira aku sudah gila.

Seminggu kemudian aku mendengar kabar kematian itu dari Ibu. Paman divonis hukuman mati karena korupsi dan konspirasi yang disutradarainya akhirnya terungkap. Setelah bunyi ketukan palu yang ketiga. Paman meregang nyawa, nyaris mirip dengan kematian Ayah, yang sedikit membedakannya hanyalah gumpalan busa yang ikut serta keluar dari mulutnya.

Pagi ini aku bangun dengan isi kepala yang segar. Setelah membersihkan sebagian tubuhku yang telah layu. kuseret tubuh yang hanya setengah berfungsi ini untuk merapikan buku-buku. Ini mungkin saja melelahkan tapi selalu membahagiakan. Karena hari ini adalah hari yang telah dijanjikan Ibu. Dua buku terakhir yang akan melengkapi Dayana itu telah terbungkus manis dengan ucapan selamat ulang tahun untukku.

“Membaca adalah merawat kewarasan. Jadilah  anak yang tegar dan kuat dek.” Pesan Ibu pada secarik kertas yang terselip di ikatan Kado.

Kado itu berisi dua buku yang telah lama kutunggu. Novela yang bertajuk Orang-orang gagal karya Dazai Osamu. Setelah menyelesaikan halaman terakhir. Aku tertidur dengan mimpi yang tak biasa. Aku melihat Ayah sedang duduk di sebuah kursi goyang dengan suasana yang gaib. Ayah menghisap cerutu andalannya sambil melambaikan tangan. Kesan yang kutangkap adalah ia sedang menyeruku untuk berbahagia.

Dalam mimpi yang sama Ibu terlihat memiliki sayap yang memancarkan cahaya seperti gambar-gambar malaikat yang pernah kulihat. Tapi bisa kupastikan itu bukan kupu-kupu, malaikat atau apa pun. Itu Ibu. Aku berlari mengejar kedua makhluk indah itu. Dalam mimpi itu aku berlari, berlari sekuat tenaga mengejar gambaran itu. Sosok yang telah keliru kumaki-maki selama ini. Ayah seperti memberiku pesan “Berdiri dan berlarilah Nak! Kau pantas berbahagia.”.

Aku terbangun dari tidur magis itu. Itu hanya mimpi, pikirku. Tiba-tiba kurasakan sesuatu yang hidup merasuki sebagian tubuhku yang lumpuh. Ada gerak-gerak yang tak bisa kurasakan sebelumnya, seperti gigitan semut. Mungkin ini pertanda bahwa aku akan sembuh dan berjalan lagi secara ajaib, layaknya cerita para utusan tuhan yang pernah kudengar dulu ketika mengaji. Tapi kewarasan membuatku menunda anggapan itu. Aku menyadari hal-hal telah kulakukan sebelumnya. Namun tak sedikit pun memberi kesempatan untuk memahaminya lebih lama. Lebih dalam.

Dengan kursi roda aku mendatangi kamar Ibu. Membangunkannya. Memeluknya. Dan kukatakan ingin membersihkan diri dan bersiap-siap mendirikan Shalat. Entah apa yang terjadi dalam mimpi itu. Tapi yang pasti.

Aku hanya ingin mengenakan kemeja milik Ayah. Sarung dengan katun yang lembut yang sering dipakainya ketika beribadah, tak lupa kopiah putihnya. seperti bisikan yang tak bisa kutolak.

Dari kursi roda. Sekali lagi aku melambungkan doa-doa untuk membangunkan tuhan yang telah kubunuh sebelumnya. Merayunya dengan mesra. Menceritakan kedunguanku. Menangisinya. Secara ajaib Dayana; kamar ini. ikut serta melengkapi kebahagiaanku. Seperti hendak merayakan sesuatu. Perayaan yang telah lama kutunggu-tunggu.

***

Dari luar rumah terdengar bisikan-bisikan di tengah riuh rendahnya tangisan pelawat.

“Anak di kursi roda itu mati gantung diri,” kata seseorang.

“Tapi, bagaimana ia melakukannya?” kata seseorang yang lain.

Dalam secarik kertas di kantung kemeja putih milik Ayahnya tertulis.

“Ini maut yang telah kurayakan Ibu. Bahagialah. Aku telah sembuh.”

728×90 Ads