Oleh
Muhammad Fadly Jufri
Rentetan jejak empat Mursyid
Menancapkan tiang kearifan di Jazirah Al-Mulk
Lahirlah kerajaan-kerajaan dengan Bala Ma Cou yang purna
Patuh pada idin kolano-kolano titisan wali
Ngara telah dibuka, Ngura-Ngura siap berdendang
Menghitung angka kejayaan masalalu?
Berbangga diri memupuk juang.
Ini tanah perjanjian
Hablum Minannas melebur Hablum Minallah
Ini tanah perjanjian
Leluhur menitip tanda pada marga tuk memikul adab dan peristiwa.
Liga perang saling suling aturan gila
Bunyi bambu pertanda lagi gali liang
Harusnya mereka ketakutan memandang riwayat
Hakekat, tercium parfum kematian tanpa kagum.
Mengunyah takdir pergi membunuh
Mempertahankan tanah-tanah dari tuan menir bedebah
Mantra mentah tak pernah mundur selangkah
Sementara bara-bara dupa dalam dadanya
Masih saja terus memandang pusara bertuliskan innalillah.
Kunfayakun terjadi bila syair tua dolabololo berngaum merapi gapi
Terwujud di sisi teratai perbatasan formosa pulau penjaga rahasia.
Adakah disana? Apakah ada?
Anak-anak darah kapita yang menarikan arwah dan doa
Pantang tumbang, meski mendung, leluhur langitkan cinta di Kalaodi
Pelangi tanpa hujan memberi syarat diri tak lagi di kekang tali.
Kini saatnya, sudahi perdebatan, kita bunyikan Rababu petikan malaikat
Pembangkit listrik dan batuk masyarakat setempat
Papaceda sebentar lagi dikuliti tanahnya
Kita mesti bertindak, mesti merontak!
Sejarah tak boleh hilang,
Tanah barakat tak boleh terus di dulang
Tanda pengenal, identitas kala berpulang
Hutan, tempat dimana adat kita dilahirkan
Laut, tempat membasuh peluh pada alam.
Kepalan yang gagu merekat geraham tetap bungkam
Sepatah duri-duri janji dipaksa tertelan
Sebagai gula-gula yang luruhkan detak janin kewajaran sikap
Kita gugur, kita gugur, bila tak mau melawan!
Kemudian, sebelum rentetan makian itu menuju degradasi
Kereta perang membawa tanda baca dibalik tinta
Ada sebilah sumpah kapita di mata parang
Maka suara terlempar dari bobato akhirat
LAWAN…LAWAN…ATAU HUTAN DAN LAUT AKAN DISULAP
Dan mereka akan bersorak dengan geliat telanjang.
Aku, berkaca pada Jou Kota
Bahwa Toa Do Re adalah kita
Terpantul kaca pun pada Geboca
Mencintai rumah harkat perjuangan tanpa
Sabua Romtoha, banyak yang melupa
Tapi tidak dengan kita, memupuk cinta
Daerah membesarkan Dodomi pada rasa
Bersama bak Bunga Rampe, pulang ziarah
Ke makam yang tak pernah berdusta pada aksara.