Mengenal Albertus Soegija Pranata
Oleh
M Rahmat Syafruddin
Albertus Soegija Pranata adalah seorang uskup yang mendedikasikan dirinya terhadap bangsa Indonesia tanpa memandang golongan maupun etnis. Didalam dirinya tertanam jiwa nasionalis yang amat kental sehingga dalam segala penyampaian-penyampaiannya, beliau selalu mengatakan bahwasanya kemanusiaan adalah satu, kemerdekaan itu adalah satu sebagaimana yang dituangkan dalam tulisannya sendiri.
Albertus Soegija Pranata lahir pada tanggal 25 November 1896 di kota Surakarta dan meninggal pada tanggal 22 Juli 1963. Ia lahir dari keluarga miskin dan memiliki seorang kakek yang menyandang gelar kiyai. Sebuah keheranan bagi para pembaca jika suatu keanehan dalam diri seorang yang memiliki nama lahirnya soegija yang artinya “kaya” ini, menempuh hidupnya yang menuntunnya pindah keyakinan dalam hal ini agama yakni agama Islam ke agama Kristen Khatolik.
Namun, hal ini bukan menjadi perhatian penulis pada kesempatan ini. Bagi penulis, ada hal-hal menarik yang menjadi perhatian penulis untuk menguraikannya pada kesempatan ini yakni tekad dan prinsip hidup yang kuat dari diri seorang soegija sehingga membawa beliau turut terlibat dalam mempertahankan bangsa ini di awal kemerdekaan.
Di tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia, penjajah (Belanda) kembali melakukan gencatan senjata ke Indonesia ialah satu bentuk penindasan yang tidak ada bandingan dimuka bumi ini. Dalam peristiwa ini, mengakibatkan tatanan masyarakat dari beberapa daerah mengalami lemah bahkan berantakan oleh karena pemerintahan dari tiap-tiap wilayah tidak tertata dengan baik. Salah satu dari daerah tersebut adalah Semarang yang dinilai oleh Soegija karena pembacaan politiknya yang sangat baik.
Berlangsungnya peristiwa ini mengakibatkan rakyat Indonesia menderita kelaparan akibat kemiskinan yang melanda karena perampasan ruang hidup oleh pihak penjajah (Belanda). Namun bukan berarti Soegija tinggal diam, beliau memerintahkan salah seorang untuk mengantarkan sebuah surat kepada Perdana Menteri Syahrir yang dalam surat itu menegaskan bahwa segera dibentuk pemerintahan di masing-masing wilayah supaya memantapkan keberlangsungan hidup masyarakat dalam mengorganisir rakyat untuk melakukan perlawanan balik terhadap tentara Belanda.
Bukan hanya itu yang beliau lakukan untuk bangsa ini khususnya dan perikemanusiaan umumnya. Kontribusi terbesar yang pernah beliau berikan kepada bangsa ini adalah pada saat Vatikan mengakui kemerdekaan NKRI sebagai suatu bentuk legitimasi karena memiliki hubungan hierarki kepada pihak penjajah (Belanda) jika kita melihat dari kaca mata histori. Karena kedatangan bangsa-bangsa eropa ke Nusantara juga tidak terlepas dari Vatikan di Roma.
Saat Belanda kembali melakukan agresi militer ke Indonesia yang kedua kalinya, beliau mengirim surat kepada Vatikan supaya mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia dan surat itu berbuah manis. Vatikan mengumumkan pengakuannya terhadap kemerdekaan NKRI dan saat itu Soekarno kembali didaulat sebagai Presiden RI kembali tepatnya pada Tahun 1950.
Baginya kemanusiaan adalah suatu keharusan yang harus dipenuhi, tak memandang golongan, ras, etnis dan lain sebagainya. Tak memandang beliau adalah seorang uskup Khatolik yang memiliki hubungan dengan Vatikan dengan pemutusan kebijakannya harus lewat Vatikan. Seperti yang dikatakan Pramoediya Ananta Toer yang mengatakan bahwasanya ‘’Seorang terpelajar itu sudah bijak sejak dalam pikirannya, apalagi tindakan’’. Soegija benar-benar orang yang tergolong dalam Kata Pram.
Namun begitu, beliau jarang di kenal oleh khalayak masyarakat Maluku Utara khususnya kalangan mahasiswa yang notabene adalah Agen Masyarakat sebagai penyambung lidah rakyat seperti kata bung Karno. Semoga tulisan yang penuh dengan keterbatasan ini bermanfaat dan semoga ketokohan seorang Soegija ini mampu memberikan semangat dan keteguhan prinsip yang dipegangnya dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai manusia terpelajar. Sebab, pikiran beliau tidak didikte oleh siapun bahkan oleh institusi yang memiliki legitimasi yang sangat kuat dalam ajaran khatolik waktu itu, beliau tetap memandang bahwa yang salah tetap salah dan mana yang benar tetap benar.
Mengakhiri tulisan ini meminjam sebuah kata bijak dari salah seorang filsuf yang pernah mengatakan bahwa “berhati-hatilah dengan pikiranmu, karena pikiran dapat menjadi kata-kata. Berhati-hatilah dengan kata-katamu, karena kata-kata dapat menjadi tindakan. Berhati-hatilah dengan tindakanmu, karena tindakanmu dapat menentukan nasibmu”. Maka bijaklah dalam berpikir karena nasibmu di tentukan olehnya.