YOGYAKARTA (kalesang) – Ahli Hukum pada Fakultas Hukum, Magister Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta, Dr. Hasrul Buamona,S.H.,M.H dihadirkan sebagai saksi ahli, Kamis (30/11/2023).
Hasrul dihadirkan dalam sidang lanjutan permohonan Pra Peradilan dengan objek SP3 melawan Polda D.I Yogyakarta, H. Munawar Sam selaku pemohon melalui Dr. Najib A. Gisymar SH. MH selaku Penasihat Hukumnya.
Kasus ini bermula pemohon melaporkan sangkaan tindak pidana sesuai nomor :LP-B/0037/I/2021/DIY/SPKT tertanggal 16 Januari 2021. Pokok kasus ini terkait dugaan tindak pidana penggelapan 372 KUHP waris dan wasiat, dimana dalam kasus ini seluruh alat bukti dan barang bukti telah penasihat hukum pemohon berikan kepada penyidik Polda D.I Yogyakarta, sehingga kasus pada ranah penyidikan sesuai Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP.Sidik/145/V/2021 tanggal 20 Mei dan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan Nomor : SPDP/140/V/2021 Ditreskrimum, tanggal 20 Mei 2021.
Akan tetapi kasus ini tidak kunjung ada penetapan tersangka, padahal kasus tersebut telah masuk penyidikan. Artinya telah terdapat 2 alat bukti, malah penasihat pemohon diberikan kejutan oleh Penyidik Polda D.I Yogyakarta dengan diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Nomor: B/145.c/VII/2023 yang mana ini sebagai objek dalam pra peradilan ini.
Maka dengan ini, Hasrul dalam keterangan ahlinya menerangkan, bahwa apabila suatu perkara telah masuk dalam wilayah penyidikan, maka secara hukum telah tepenuhi Bewijs Minimum, karena inilah syarat hukum penyidikan tersebut.
Jadi, lanjutnya, perlu diketahui terdapat 4 (empat) fundamental dalam hukum pembuktian, yaitu; 1) bukti harus relevan; 2) admisibble artinya suatu bukti harus dapat diterima; 3) bewijsvoeringartinya bukti yang didapatkan dalam bingkai melakukan penyidikan harus sesuai aturan hukum baik itu KUHAP dan PERKAP 6/2019;dan 4) bewijskracht artinya kekuatan pembuktian, dalam hal ini bukti yang dihadirkan oleh pelapor dan/atau penyidik mengumpulkan alat bukti harus menjawab peristiwa pidana.
“Penyidik dalam kegiatan penyidikan tidak memiliki kewenangan untuk menafsirkan atau menentukan alat bukti, dikarenakan itu merupakan kewenangan hakim di pengadilan sesuai prinsip “Negatif Wettelijke Bewijs Teori”, sesuai Pasal 183 KUHAP “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.” Kata Hasrul.
Setiap tindakan penegakan hukum, lanjut Hasrul, baik itu penyelidikan dan penyidikan sebagaimana diatur dalam KUHAP dan PERKAP Nomor 6 Tahun 2019, merupakan suatu kesatuan bulat dan utuh (integrated criminal justice system) yang tidak bisa dimaknai secara parsial, bahkan tidak bisa dimaknai hanya sebagai sebatas kelengkapan administrasi belaka.
“Apabila kembali melihat norma Pasal 109 ayat (2) KUHAP, maka alasan penghentian penyidikan ada tiga, yakni tidak cukup bukti, peristiwa tersebut bukan tindak pidana dan demi hukum (nebis in idem, daluwarsa, tersangka meninggal).” Ujarnya.
Akan tetapi, menurut Hasrul, apabila suatu perkara telah melalui tahapan penyeledikan yang tujuannya mencari dan menemukan peristiwa pidana, yang kemudian telah masuk pada tahapan penyidikan, maka secara hukum telah terdapat bewijs minimum (2 alat bukti).
Apabila berbicara peristiwa pidana, Hasrul menambahkan, tentu di dalamnya terdapat subjek hukum, baik dalam kapasitas sebagai pembuat delik, korban dari delik, saksi-saksi, dan barang bukti, yang mana ini merupakan wilayah penyidikan itu sendiri.
“Artinya apabila suatu perkara yang telah masuk wilayah penyidikan, maka secara hukum telah terpenuhi bewijs minimum, sehingga secara hukum telah ada pula penetapan seseorang menjadi tersangka. Maka tidak beralasan secara hukum suatu perkara dihentikan penyidikan oleh penyidik.” Tegasnya.
Editor: Junaidi Drakel