Membaca Realitas
728×90 Ads

Pertarungan

Oleh: Junaidi Drakel 


Andreas harusnya pulang di tahun ini. Kedua kakaknya termasuk orang ternama di kota ini, mereka adalah Hayati dan Sudarso. Orang tua Andreas sudah lama meninggal. Selama ini mereka berdua yang membiayainya sekolah hingga ke Eropa.

Andreas, adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Ia lahir dan besar di Kota Maju Mundur. Kota ini sangat kecil, kebanyakan dari masyarakat hidup di atas kemiskinan. Andreas beruntung lahir dari keluarga kaya raya.

Orang tua mereka sewaktu masih hidup, merupakan pengusaha terbesar di Kota Maju Mundur. Ketika ayah dan ibu sudah tiada, kedua kakak Andreas yang melanjutkan usaha tersebut.

Keluarga Andreas bukan asli dari kota ini, tapi berasal dari tanah Arab. Kakek dan neneknya adalah pedagang yang terdampar di kota ini. Di kota ini, meski kebanyakan orang miskin, namun anak-anak banyak yang bersekolah.

Anak-anak di kota ini banyak yang pintar-pintar. Ada yang sekolah hingga menjadi doktor. Tetapi sayang, kota ini tidak ada yang berubah. Masih kusam dan tertinggal.

Sudah empat tahun Andreas tidak pulang di Kota Maju Mundur. Ia dengar di tahun ini kedua kakaknya, Hayati dan Sudarso akan bertarung merebut kursi raja. Ia terkejut mendengar hal itu.

“Apakah di kampung kita sudah tidak ada orang lain yang mau merebut kursi raja,” tanya Andreas saat telepon teman dekatnya di kampung, Santo.

Kota ini, sewaktu masih gelap gulita, orang-orang berjuang dengan darah dan air mata agar bisa merasakan cahaya terang. Orang tua Andreas bukan bagian dari tokoh perjuangan.

Di saat kota ini telah diakui oleh kota-kota tetangga, orang-orang berkelahi merebut kursi raja. Tetapi ayah Andreas lebih memilih perbesar usahanya. Ayah Andreas tidak pusing dengan kekacauan yang terjadi di kota.

21 Mei 1991, Andreas akhirnya menginjakkan kaki di Kota Maju Mundur. Ia menutup mulutnya dengan masker. Bukan mau bersembunyi dari orang-orang yang mengenalnya, tapi menjaga agar debu tidak masuk ke dalam mulutnya.

Ketika di bandara, tak ada yang menjemput Andreas. Ia naik ojek menuju ke rumahnya. Orang-orang di sekitar sudah berkumpul menanti kedatangan Andreas. Terutama teman masa kecilnya.

“Andreas, Andreas telah tiba,” teriak Santo sambil mengambil tas di tangan Andreas.

Orang-orang sangat merindukan Andreas. Sebab dari semua keluarganya, hanya Andreas yang berhati baik. Perlakukan orang lain selayaknya manusia. Tidak seperti ayah, ibu dan kedua kakak Andreas.

Selama hidup, Andreas tidak pernah berperilaku sebagai keluarga cendana. Ia seperti almarhum kakeknya. Sementara ayah, ibu dan kedua kakaknya seperti diktator. Tidak pernah hargai orang-orang kecil.

Suatu malam, di saat semua orang sudah tidur, Andreas mengajak Santo minum kopi di lantai tiga rumahnya Andreas. Mereka berdua bicara banyak hal. Tetapi di malam itu, Andreas lebih banyak mendengar. Karena Santo berbicara tentang situasi di kampung, maupun keadaan kota.

Santo mengaku, di lima tahun belakangan ini, wajah kota dan kampung tidak banyak banyak berubah. Yang berubah hanya mental masyarakat. Persaudaraan antar sesama jadi rusak lantaran politik.

“Orang-orang saling menjatuhkan. Tua muda tak lagi saling menghargai.” Ucap Santo sambil buang asap rokok.

Teman-teman yang pernah sekolah di perguruan tinggi, ada yang memilih pulang kampung, ada yang mencari pekerjaan di daerah lain. Di kota ini ekonomi semakin hari semakin sulit.

Setiap kali momentum politik, para terpelajar jadi garda terdepan. Kebanyakan dari mereka hadir bukan untuk pencerahan kepada masyarakat. Tetapi malah menghancurkan situasi.

“Aku kasihan melihat teman-teman kita yang sekolah. Mereka tidak tahan dengan kesulitan ekonomi, akhirnya mau tidak mau mereka menjadi ‘pelacur’,” keluh Santo kepada Andreas.

Teman-teman yang memilih politik praktis, mereka berada di bawah kedua kakak Andreas. Mereka sadar bahwa kedua kakak Andreas ini hanya mengandalkan uang, bukan kecerdasan.

Andreas tidak bisa berkata apa-apa ketika mendengar semua cerita dari Santo. Tatapannya kelihatan kosong. Sudah lima batang rokok dihabiskan. Kopi hitam sudah tiga kali ditambah.

“Aku sebenarnya ingin bicara banyak hal. Ingin marah kepada kedua kakakku. Aku merasa kedua kakakku sudah berlebihan. Mereka terlalu sombong dengan uang yang mereka punya,” kata Andreas.

Andreas berjanji akan melawan kedua kakaknya jika di tahun ini bertarung merebut kursi raja. Dengan segala cara. Ia merasa harus bertanggung jawab atas semua ini. Karena kekacauan kampung dan kota ini akibat ulah dari kedua kakak Andreas.

“Jika kita hidup berlimpah harta, tidak serta-merta perlakukan orang lain seperti binatang. Kita adalah manusia segala kelimpahan diberikan oleh sang kuasa. Kita mati tidak bawa apa-apa,” kata Andreas kepada Santo mengakhiri pertemuan mereka di malam itu.

Tiba waktunya pemilihan raja, ternyata ada salah satu pemuda, Samaun yang beranikan diri untuk bertarung melawan kedua kakaknya Andreas. Orang-orang di kota itu meremehkan Samaun.

Samaun merupakan anak petani kopra yang tidak begitu kaya raya. Tetapi nyali dan semangatnya seperti kakeknya yang bukan lain adalah pemimpin dalam pemekaran kota.

Orang-orang di Kota Maju Mundur tidak menyangka jika pemuda lulusan kampus kecil itu bisa memenangkan pertarungan raja. Sebab masyarakat sudah bosan dan jenuh dengan kedua kakak Andreas. Samaun kemudian menghamburkan uang di hampir seluruh masyarakat.

Uang yang dibagi-bagi ke masyarakat bukan miliknya. Kedua kakak Andreas bertanya-tanya dari mana Samaun mendapatkan uang sebanyak itu. Ternyata, ia tidak berjuang sendiri.

“Aku yang memberikan Samaun uang. Aku sengaja mengalahkan kedua kakakku. Jika tidak begitu, mereka berdua akan menjual kota ini.” Kata Andreas kepada Santo.

 

 

Cerita Fiksi

728×90 Ads