Partisipasi Angka Kerja Untuk Perempuan di Indonesia Masih Rendah
JAKARTA(Kalesang) – Partisipasi angka kerja perempuan masih rendah di Indonesia. Buktinya per Februari 2022 perempuan baru 54,2 persen. Sementara laki-laki mencapai 83,6 persen.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan, kondisi pemberdayaan perempuan di sektor ketenagakerjaan masih menghadapi beberapa tantangan klasik. Pertama, terkait partisipasi perempuan di dunia kerja.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2022 menunjukkan Tingkat Partisipasi Angka Kerja perempuan masih berada jauh di bawah laki-laki, dimana TPAK laki-laki sebesar 83,6 persen dan perempuan hanya sebesar 54,2 persen.
“Hal inilah penyebab hanya 40 persen dari 144 juta angkatan kerja kita yang perempuan. Padahal setengah dari populasi kita saat ini adalah perempuan. Temuan ini sedikit banyak berkaitan dengan budaya patriarki yang masih mengakar dan mengidentikkan perempuan dengan pekerjaan di ranah domestik.”katanya secara virtual dalam acara Women in Leadership, Jumat (29/7/2022) yang lansir Kompas.com.
Tantangan lanjut Menaker, juga muncul dari masih adanya ketimpangan dalam hal pendidikan dan kompetensi yang sebenarnya merupakan modal dasar untuk berdaya. Ida bilang, semakin tinggi pendidikan perempuan maka akan semakin besar proporsinya yang masuk ke pasar kerja.
“Sementara data justru menunjukkan bahwa persentase angkatan kerja perempuan yang berpendidikan rendah lebih besar dibandingkan laki-laki.Selanjutnya, Data juga menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan upah antara pekerja laki-laki dan perempuan. Selain masih konsisten dari tahun ke tahun diskriminasi ini juga ditemukan pada semua tingkatan latar belakang pendidikan, kelompok umur hingga jenis pekerjaan.” tuturnya.
Lebih lanjut lagi kata Menaker, data menunjukkan bahwa tingkat pengangguran perempuan selalu lebih rendah jika dibandingkan dengan laki-laki. Akan tetapi mayoritas perempuan bekerja di sektor informal dengan persentase mencapai 65 persen, jauh lebih tinggi dibanding laki-laki yang hanya 56 persen.
“Bekerja di sektor informal tentu memiliki dampak kepada upah dan perlindungan sosial yang lebih sedikit. Sehingga banyak pekerja perempuan berada dalam posisi yang lebih rentan.”jelasnya.
Menurut laporan United Nations Development Programme (UNDP) pada 2020, Indonesia memiliki skor indeks ketimpangan gender di peringkat 121 dari 162 negara. Indonesia merupakan peringkat terbawah dibandingkan negara-negara G20 lainnya.
Riset McKinsey menunjukkan, Indonesia bisa meningkatkan produk domestik bruto/PDBnya sebesar 9 persen pada 2025, apabila tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan meningkat, lebih banyak perempuan bekerja penuh waktu, dan lebih banyak perempuan bekerja di sektor dengan produktivitas tinggi seperti manufaktur.
Hal ini menurutnya, menjadi semakin penting di era puncak bonus demografi yang sedang dialami Indonesia, dimana jumlah perempuan usia kerja sangat besar dan memiliki potensi yang sangat signifikan bagi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi bangsa.
“Untuk itu, sikap pemerintah termasuk melalui Kemenaker sudah jelas bahwa tidak boleh ada diskriminasi gender karena posisi laki-laki dan perempuan adalah setara. Pengakuan prinsip-prinsip kesetaraan gender telah ada dalam UUD 1945.”tegas Menaker.(tr-02).
Reporter: Karman Samuda