Membaca Realitas
728×90 Ads

Tangis di Balik Skripsi: Mahasiswi Khairun Bangga Ayahnya Ditangkap karena Membela Tanah Adat Dari PT Position

Kalesang – Awan kelabu menggantung di langit Ternate sore itu, seolah menjadi pertanda akan sebuah duka yang tidak biasa. Bagi Wahyuni Sahrudin, mahasiswi semester akhir Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Khairun, mendung itu bukan sekadar cuaca. Ia seperti cermin dari hatinya yang berat sejak video penangkapan ayahnya beredar luas di media sosial.

Dalam video berdurasi beberapa menit itu, tampak sebelas warga Maba Sangaji, Halmahera Timur, digiring oleh aparat kepolisian. Mereka disebut menghalangi aktivitas pertambangan milik PT Position. Di antara tubuh-tubuh yang digelandang itulah, Wahyuni mengenali wajah yang sangat ia kenal.

“Awalnya saya tidak percaya. Tapi saya tahu betul, itu Bapak saya,” ujarnya pelan saat ditemui tim jurnalis Aliansi Kawal Maba Sangaji, Sabtu (20 Juli 2025) di kosnya di Ternate.

Yang menyayat hati Wahyuni bukan hanya karena ayahnya ditangkap. Tapi karena kabar itu bukan datang dari keluarga, bukan dari kepala desa, bukan pula melalui surat resmi melainkan dari video viral yang beredar di jagat maya. Panik, ia langsung menghubungi sang ibu yang tinggal di kampung. Namun jawaban sang ibu justru menambah kebingungan.

“Mama bilang, ‘tidak mungkin, Bapakmu ada di kebun.’ Tapi saya tahu benar itu Papa,” tutur Yuni, sambil menatap kosong.

Setelah mengirimkan potongan video kepada ibunya dan menanti dengan cemas, akhirnya jawaban itu datang. Lirih. Penuh duka.

“Iya, ternyata benar…”

Itulah awal dari kesedihan panjang dalam hidup Wahyuni.

Wahyuni adalah anak tunggal dari pasangan Sahrudin Awat dan almarhumah Maskura Ibrahim. Ia dibesarkan dalam keluarga sederhana yang sangat menjunjung tinggi nilai pendidikan dan adat.

Sepeninggal ibunya, Wahyuni meneruskan kuliah dengan sokongan sang ayah yang bekerja serabutan di desa. Kini, setelah ayahnya ditahan, hidupnya ditopang oleh tantenya di Ternate.

“Kalau bukan karena Tante, saya mungkin sudah berhenti kuliah. Saya tidak punya siapa-siapa lagi,” ucapnya.

Dua adik tirinya yang masih kecil kini tinggal bersama istri kedua ayahnya, dalam suasana yang juga tidak pasti.

Di tengah tekanan batin, Wahyuni tetap mencoba menuntaskan skripsi. Tapi ia mengaku kehilangan makna dari perjuangan akademiknya.

“Saya tidak mengerti lagi apa arti keadilan,” ujarnya sambil menghapus air mata.

Tangannya tetap mengetik di atas keyboard laptop. Tapi pikirannya melayang ke hutan, ke sungai, ke tanah adat yang terus diusik atas nama investasi. Ia merasa ironis, belajar tentang ekologi dan konservasi di bangku kuliah, sementara keluarganya justru dihukum karena menjaga hutan.

“Papa tidak merusak, tidak mencuri. Papa hanya menjaga hutan yang diwariskan leluhur. Saya bangga Papa ditangkap karena itu.”

Meski kerap menangis di malam hari, Wahyuni bertekad menyelesaikan kuliahnya. Ia ingin menjadi guru.

“Saya ingin ajarkan ke anak-anak bahwa hutan bukan untuk dijual. Tanah adat bukan untuk dirampas.” tegasnya.

Kepala Desa Maba Sangaji, Kasman Mahmud

 

Sementara keluarga Wahyuni meratap dalam ketidakadilan, di sisi lain, Kepala Desa Maba Sangaji, Kasman Mahmud, memilih bersikap dingin. Dalam wawancara bersama jurnalis, ia seolah mengambil jarak dari warga yang kini mendekam di balik jeruji.

“Orang itu bertindak sendiri, ya tanggung sendiri,” katanya datar.

Saat ditanya apakah mendukung aksi warganya yang memprotes aktivitas tambang tanpa izin komunitas adat, jawabannya justru normatif.

“Kami sudah koordinasi dengan perusahaan. Kalau warga bilang itu tanah mereka, ya silakan. Tapi saya tidak bisa pastikan itu tanah adat.”

Salah satu sumber kemarahan warga adalah harga kompensasi tanah adat yang ditawarkan: Rp2.500 per meter persegi. Namun sang kepala desa menyebut itu hasil kesepakatan.

“Kami sepakat, dua desa sepakat. Kalau ada yang minta lebih, itu oknum,” ujarnya.

Namun fakta di lapangan menunjukkan banyak kebun pala, kelapa, dan sagu yang telah dihancurkan. Bagi warga, itu bukan sekadar tanah. Itu kehidupan.

Kasman juga menyebut perusahaan menjanjikan “tali asih” sebesar Rp10 miliar yang akan dibagi dalam dua tahap.

“Yang di Wailukum sudah terima. Di sini masih tunggu termin kedua.”

Namun transparansi soal pembagian dan penerima dana masih buram.

Kasman tak menampik banjir kini lebih sering terjadi. Tapi ia menyebut hal itu bukan semata akibat tambang.

“Perusahaan baru mulai. Sungai memang dari dulu suka banjir.”

Namun warga punya cerita lain. Air sungai kini keruh, ikan mati, tanaman terendam lumpur. Mereka tak bisa lagi mengambil air bersih seperti dulu.

“Ikan memang mati. Tapi itu biasa kalau ada perusahaan besar,” kata Kasman enteng.

Wawancara ini membuka tabir luka yang lebih dalam: hilangnya keberpihakan pemerintah desa terhadap warganya sendiri. Alih-alih melindungi, kepala desa justru membenarkan langkah perusahaan.

Sementara itu, di balik layar kehidupan, Wahyuni dan keluarganya terus menanti keadilan.

“Kami bukan penghambat pembangunan. Kami hanya ingin hidup bermartabat di tanah sendiri,” pungkasnya.

Reporter: Tim Redaksi

Editor: Wendi Wambes

728×90 Ads