Membaca Realitas
728×90 Ads

Dari Desa Baskom ke Panggung Pengabdian: Kisah Sosok Ayah Hebat

Oleh : Ni’mal Mufidah, Siswa MAN-IC Halbar

Di sebuah desa kecil bernama Talaga, yang terletak di puncak Pulau Tidore dan dikelilingi hamparan hijau perbukitan, lahirlah seorang anak laki-laki pada tanggal 1 Juli 1972. Masyarakat dari luar sering menyebut desa itu dengan ejekan, “Desa Baskom,” seakan meremehkan kehidupannya yang jauh dari gemerlap kota. Namun siapa sangka, dari tempat yang dipandang sebelah mata itulah, lahir seorang anak yang kelak menapaki jalan panjang penuh perjuangan. Anak itu bernama Arsad Suni, ayah kami.

Masa Kecil: Singkong dan Popeda

Kediaman ayah masih dijaga hingga saat ini (foto : Ni’mal Mufidah)

Masa kecil Ayah jauh dari kata berkecukupan. Hidup dalam keterbatasan membuat hidangan sehari-hari seringkali hanya berupa singkong rebus atau popeda. Lauknya pun sederhana: ikan kering ditumbuk dengan cabai dan disiram minyak kelapa, yang oleh orang Tidore disebut “Rica Tutu”. Bahkan, tak jarang ketika persediaan habis dan pasar belum buka, mereka harus makan tanpa lauk sama sekali.

Bulan Ramadan adalah masa yang berat. Untuk sahur, mereka hanya mampu menyantap popeda atau “suami” sebutan orang Buton untuk singkong parut. Ayah kecil, dengan tubuh mungil dan hati yang masih rapuh, pernah duduk di depan piring sambil menahan tangis.

“Kenapa harus makan ini lagi?” pikirnya kala itu. Tapi meskipun pahit, beliau tetap menelannya karena hidup telah mengajarkan keteguhan bahkan sebelum ia paham arti kata itu.

Namun dibalik kekurangan, selalu ada celah cahaya. Sejak kecil, Ayah sudah ikut membantu orang tuanya di kebun menanam padi, jagung, dan singkong. Dari hasil kebun itulah, kehidupan perlahan membaik. Ayah masih ingat, ketika mulai masuk sekolah dasar tahun 1980, keluarganya tak lagi hanya makan popeda. Mereka sudah bisa menikmati nasi padi Tidore dan jagung, atau yang oleh orang Tidore disebut “Tela Gule”. Bagi orang lain, itu mungkin hal biasa. Tapi bagi Ayah kecil, itu adalah kemewahan yang luar biasa.

Pelajaran dari Orang Tua: Kejujuran dan Pendidikan

Dari kedua orang tuanya, Ayah mewarisi dua pelajaran yang menjadi kompas hidupnya hingga kini. Pertama, tentang kejujuran. Sejak kecil beliau diingatkan:

“Mansia na due, ngone na due. Orang punya tetap orang punya, torang punya tetap torang punya.” Sebuah nasihat sederhana, tapi mengakar dalam: menghormati hak orang lain dan menjaga integritas diri.

Kedua, tentang pentingnya pendidikan. Almarhum Kakek selalu berkata:

“Papa kase sekolah ngoni (kalian) tinggi-tinggi, biar orang tra kase bodoh dan pandang enteng papa pe anak cucu.” Kalimat itu melekat kuat di hati Ayah. Ia bertekad membuktikan bahwa meskipun berasal dari keluarga sederhana, ia mampu berdiri sejajar, bahkan lebih, lewat ilmu dan kerja keras.

Langkah Awal: Pendidikan dan Kepemimpinan

Seiring waktu, Ayah tumbuh menjadi pribadi yang aktif dan penuh semangat. Semasa SMP di Muhammadiyah Soa-Sio Tidore, ia aktif dalam kegiatan Pramuka. Saat melanjutkan ke SPK Depkes Ternate, ia dipercaya sebagai Ketua OSIS, posisi yang mulai mengasah kemampuan kepemimpinannya.

Perjalanan pendidikannya kemudian berlanjut dari: Diploma III Keperawatan di Tidung Makassar, Sarjana Keperawatan Ners di Universitas Airlangga Surabaya, hingga Magister Keperawatan di Universitas Hasanuddin Makassar. Sebuah perjalanan akademik panjang yang penuh pengorbanan tapi juga penuh kebanggaan.

Olahraga: Disiplin dalam Hobi

Di luar dunia akademik, Ayah adalah pecinta olahraga. Mulai dari bulu tangkis, tenis meja, bola voli, hingga sepak bola. Beliau bahkan pernah menjadi Asisten Pelatih Voli di Klub Putra Utara Ternate, dan saat kuliah, meraih medali Top Scorer di tim sepak bola Akper Tidung Makassar. Baginya, olahraga bukan sekadar hobi, tetapi sarana untuk belajar sportivitas, disiplin, dan kerja tim nilai-nilai yang kelak mewarnai perjalanan hidupnya.

Keluarga: Cinta yang Menjadi Kekuatan

Bersama keluarga saat kembali ke Talaga. (Foto: Ni’mal Mufidah)

Tahun 2001 menjadi babak baru dalam hidup Ayah. Pada tanggal 3 Juni, ia menikah dengan Yumna Hormati, perempuan asal Loloda Pulau yang kemudian menjadi sahabat sekaligus pendamping setia dalam suka dan duka. Dari pernikahan itu lahirlah tiga buah hati yang menjadi cahaya hidupnya: Ni’mal Mufidah (Fina), Muhammad Faqih Tafazzul (Faqih),
Niswah Fildzah Izzati Arsad (Filza). Kehadiran kami, anak-anaknya, menjadi sumber semangat Ayah untuk terus melangkah, meski jalan yang dilalui tak selalu mudah.

Karir: Dari Perawat ke Pendidik dan Pemimpin

Karier Ayah dimulai pada 1 Maret 1992, saat ia diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Ia memulai sebagai Perawat Pelaksana di RSUD Ternate, lalu menjadi Instruktur Laboratorium Keperawatan di Poltekkes Ternate, sebelum akhirnya mengabdikan diri sebagai dosen sejak 2006.

Berbagai jabatan pernah diembannya: Sekretaris Jurusan, Ketua Jurusan, Wakil Direktur I Bidang Akademik Poltekkes Ternate (2019-2023). Kini, Ayah mengemban tanggung jawab sebagai Ketua DPW PPNI Provinsi Maluku Utara (2022-2027), Ketua MPKU PWM Muhammadiyah Maluku Utara (2022-2027). Semua ini adalah buah dari kerja keras, kejujuran, dan dedikasi tiada henti.

Warisan Perjuangan

Bila menoleh ke belakang, Ayah selalu berkata: “Hidupku adalah bukti, bahwa kemiskinan bukanlah akhir, melainkan awal dari perjuangan.”Dari seorang anak desa yang dulu sering menangis saat sahur karena hanya ada singkong di piringnya, kini ia berdiri sebagai pendidik, pemimpin, dan teladan.

Terima kasih telah mengajarkan kami makna jujur, sabar, berjuang, dan mencintai dengan tulus. Terima kasih karena telah terus melangkah, meski dunia sering kali tidak berpihak. Kami bangga padamu, Ayah. Dan kami berjanji: Doa, harapan, dan perjuanganmu akan kami lanjutkan.

 

728×90 Ads