Membaca Realitas

Sepenggal Cerita Pak Hatti, Pedagang Kerajinan Anyaman Antar Daerah

TERNATE (Kalesang) – Sabtu (21/5/2022) siang itu, terik matahari menyengat Kota Ternate Maluku Utara. Sosok pria paruh baya menyandarkan tubuhnya di pagar Masjid Al-Mujahidin Kelurahan Mangga Dua.

Matanya memandang kian kemari menyaksikan laju lambatnya kendaraan yang membelah jalanan sibuk Ternate.

Meski ‘terpanggang’ terik matahari, pria 53 tahun itu tetap tersenyum saat ada pelintas yang tertarik untuk melihat barang daganganya.  Ia adalah Hatti pedagang perabotan rumah tangga serta kerajinan dari bahan anyaman asal Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah yang sehari-hari menggunakan gerobak untuk menjajakan dagangannya.

Kepada kalesang.id, Hatti mengaku sejak 8 tahun terakhir ia mengantungkan hidupnya dengan berdagang bahan anyaman. Berbagai jenis kerajinan, mulai dari perabot rumah tangga seperti tutup saji, cap lampu, kipas sate, hingga miniatur gerobak dan sepeda onthel semua terbuat dari kayu.

Dua bulan terakhir Pak Hatti berdagang di Kota Ternate, Ia mengontrak rumah di bilangan Kelurahan Santiong. Sebelum ke Ternate, Pak Hatti pernah mencoba peruntungan berdagang di Kota Manado, Sulawesi Utara.

“Saya keluar dari jam 10 tadi, Alhamdulillah sudah ada yang beli.” Ucap Pak Hatti kepada dengan wajah berseri.

Dengan logat Jawa yang kental pria itu menjelaskan apa yang dijualnya. “Dagangan saya ambil dari Jawa dan banyak jenisnya.”Beber Hatti.

Barang-barang itu dikirim dalam jumlah banyak melalui kapal laut dan membutuhkan waktu hingga sepekan untuk sampai ke Ternate. Ada sekitar 40 jenis kerajinan.

Namun Pak Hatti bukanlah pemilik usaha, ia hanya bekerja kepada salah satu pengusaha di kampungnya. Mereka terbagi dalam 4 kelompok. Tiap kelompok beroperasi di daerah yang berbeda. Setiap kelompok diberikan waktu untuk berdagang selama 4 bulan.  Setelah itu dipindahkan ke lokasi lain.

“Sebelum berjualan keluar daerah atau keliling provinsi, saya berjualan di Kota Purbalingga.”Ucapnya.

Menurutnya lebih enak jika berdagang di kampungnya, karena bisa berkumpul bersama keluarga, namun disana banyak saingan, hingga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari terkadang sangat sulit.

“Makanya saya dan anak sulung saya mencoba keluar dari Jawa untuk merubah nasib.”Ungkapnya tersenyum.

Sesekali pemicaraan kami terpotong dengan pertanyaan pelanggan yang hendak membeli dagangannya. Diakhir pembicaraan seorang pemuda datang dari arah selatan, tak berbeda dengan Pak Hatti, ia juga mendorong gerobak jualan. Pemuda ini  mengenakan caping atau topi yang sering digunakan petani.

Saat melewati kami, pemuda itu berhenti dan berbicara dengan Pak Hatti kemudian melanjutkan perjalanannya. “Itu anak kandung saya, Mahfudin namanya, dia putus sekolah kelas 2 SMA dan ikut berdagang dengan saya.”Ujar Hatti sambil melihat ke arah anaknya yang berlalu.

Ada sepeggal kisah sedih yang pernah dialami Pak Hatti saat berdagang. Ketika sedang menjajakan dagangannya di Kota Manado ia terjaring razia petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Alasannya, Pak Hatti berdagang di lokasi yang tidak semestinya. Parahnya lagi bukan hanya dagangan yang diamankan, Pak Hatti juga terpaksa seminggu menginap di ‘hotel prodeo’ Pol PP Manado. Ujung-ujungnya ia dipaksa menguras tabungannya sebesar Rp1,2 juta agar bisa bebas.

“Katanya uang itu masuk ke kas negara, saya dimintai macam-macam, surat keterangan dari desa, keterangan domisili juga surat kesehatan.”Bebernya dengan senyuman getir.

Namun ia mengaku ikhlas karena itu adalah resiko yang harus diterima sebagai pedagang keliling antar daerah. (M-01)

 

Reporter: Rahmat Akrim

Redaktur: Wawan Kurniawan