Membaca Realitas
728×90 Ads

Tarian Cakalele; Wujud Perlawanan Masyarakat Galela

oleh : Ardian M Djauna

(Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Khairun Ternate)

“Indonesia negeriku”. Kita semua telah ketahui bahwa ada banyak sekali keanekaragaman yang ada di Indonesia ini mulai dari etnis, ras, suku, bahkan budaya yang terdapat di negara ini. Dengan keberagaman yang ada, sehingga menjadikan negara Indonesia berbeda dengan negara-negara yang ada di seantero belahan dunia.

Dilansir dilaman resmi KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), https://kkp.go.id menjelaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang mencakup lebih dari 17.508 pulau, hal ini menjadi acuan bahwa berbagai keanekaragaman akan lahir dalam negeri ini. seperti suku, bangsa, dan budaya yang beragam hal lain yang paling fundamental juga meliputi tarian daerah, pakaian adat, rumah adat dan lain sebagainya.

Tentang tarian yang tumbuh subur di Indonesia selalu mengalami transisi dari tarian tradisional hingga tarian moderen. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa tarian adat yang sekarang telah mengalami kemajuan yang signifikan sehingga mulai dari nada ataupun instrumentnya telah di improvisasi.

Tarian adat akan tetap berkembang dan tumbuh jika, terus dilestarikan oleh masyarakat, atau bahkan bisa sebaliknya. dikutip dalam laman antarnews.com ungkapan Maestro Tari asal Kota Solo Eko Supriyanto yang berkomitmen teguh didalam dunia tarian mengatakan bahwa “kita harus membuka wacana baru tentang ragam budaya agar patut dikenal dalam kanca internasional”.

hal yang diungkapkan oleh Maestero Tari Mas Eko sangatlah patut diikuti perihal budaya yang harus terus di lestarikan. salah satu pertunjukan tari yang mendunia adalah Cry Jailolo yang didalamnya berisi pesan-pesan kepada semua orang untuk selalu melindungi lingkungan. Bagaimana bisa kita tidak bangga dengan ini.?

Spesifik di Maluku Utara, tak kalah dengan daerah yang lain, Maluku Utara juga ikut ambil bagian dalam hal ini. Khususnya Kabupaten Halmahera Utara, Kecamatan Galela Selatan. Tarian adat pun ikut berkembang di Galela seperti tarian cakalele dan tarian tide-tide.

Dalam kanal Facebook Muhammad Diadi  menjelaskan Adapun sejarah dari Tarian Cakalele yang berawal pada akhir abad ke-17 dan abad ke-20, ketika para pria Galela melakukan pembajakan dilaut (canga) mereka menari cakalele sebelum ekspedisi dimulai. Itu bemakna agar membuat para pria dalam perjalanan suasana hati agar tetap tenang untuk menunjukan ketangkasan, kecepatan, dan kekuatan mereka.

Para lelaki Galela menari diiringi Gosoma lamo (tifa besar) dan lipa (gong). Para penari melompat dari kaki satu ke kaki yang lain, kadang-kadang jarak jauh mereka menari dengan parang (taito) dan salawako (perisai) serta tombak (kamanu) berpasangan ( C.F.H. Campen, 1883:181-182). Ketika upacara-upacara pelepasan para bajak laut (canga) dilakukan di sebuah rumah pemujaan, semua anggota keluarga harus hadir dan memberikan dukungan kepada anggota ekspedisi dalam upacara ( O horu ) pelepasan para bajak laut (canga) ini para Gomahati (seorang tetua) mengadakan upacara pemangilan Roh leluhur (Dilikini) yang akan melindungi para bajak laut ini.

Arwah dilikini yang dipanggil itu kemudian dimasukan dalam sebuah keranjang yang selanjutnya akan dibawa selama ekspedisi, yang diperlakukan sebagai pelindung atau jimat. Selama ekspedisi itu tidak ada orang yang di perkenankan memasuki rumah pemujaan tersebut setelah rombongan kembali, maka arwah dilikini itu dilepaskan oleh sang Gomahati.

Dalam e-journal tahun 2021 dari Universitas Khairun Ternate yang berjudul Pelaksanaan Tari Cakalele di Desa Togawa Kecamatan Galela Selatan oleh Irwan Abbas, Rustam Hasim, dan Syamsul Hi. Usman. Berdasarkan hasil penelitian di Desa Togawa Kec. Galela Selatan Kab. Halmahera Utara Bahwa tari cakalele pada generasi muda pada desa Togawa, Kec. Galela Selatan Kab. Halmahera Utara tidak mempunyai prsepsi terhadap kesenian tari tradisional tari cakalele, karena mereka tidak pernah diajari seni tari cakalele oleh orang tua dan orang-orang disekitar mereka.

Sehingga generasi muda cenderung menganggap kesenian tradisional daerahnya merupakan sesuatu yang kuno dan ketinggalan zaman, sehingga lambat laun timbul sifat generasi muda yang kurang bahkan tidak mencintai keseniannya sebagai masyarakat Galela Selatan yakni sejarah dan makna dari setiap tarian adat, terlebihnya tarian cakalele.

Dewasa ini generasi muda masyarakat Galela menganggap tarian cakalele sebagai sesuatu hal yang kuno. Adalah satu kesalahan yang tumbuh di benak generasi muda masyarakat Galela. Kini generasi makin acuh tak acuh bahkan tidak mau belajar dan mengembangkan tarian tradisional yang ada di daerahnya khususnya di Galela baik itu tarian cakalele, dan tide-tide.

Hemat saya, globalisasi kini menjadi ancaman buat lestarinya satu budaya, karena globalisasi mampu menimbulkan berbagai masalah dalam bidang kebudayaan. Bisa dikatakan bahwa globalisasi menjadi instrumen untuk mengantikan budaya lokal ke budaya barat yang memang akan melahirkan kontradiksi pada nilai kebudayaan sebab, budaya barat sangat bertentangan dengan norma-norma leluhur yang telah ditetapkan.

Pengaruh globalisasi terhadap budaya diantaranya seperti; punahnya budaya asli suatu daerah, melencengnya nilai-nilai budaya, dan hilangnya kebiasaan gotong-royong. Padahal nilai-nilai kebudayaan dalam masyarakat tentuya akan melahirkan embrio cinta kasih dan sifat kekeluargaan dalam lingkungan masyarakat itu sendiri.

Besarnya harapan dari saya sebagai generasi muda mengajak kepada generasi agar tetap mencintai, menjaga, dan melestarikan budaya yang memang telah diwariskan kepada kita. Karena bagi saya sejatinya “budaya adalah harga diri” tanamkan dalam pikiran kita untuk belajarlah malu kepada leluhur.

728×90 Ads