Oleh: Asghar Saleh
Saya membayangkan Tomasz akan mati di ujung cerita seturut begitu banyak kekejaman yang telah dilakukan atas nama kebencian. Tetapi Ia hidup dan diterima sebagai seorang “pahlawan”. Prahara demi prahara yang disebarkan menguap begitu saja. Orang-orang yang “diteror” menjadi amnesia. Laku Tomasz dan rasa benci memberi diskripsi yang terang benderang terkait perilaku kekinian yang mewabah. Teror dan kekerasan tak lagi berwujud fisik. Ia menekan lewat jejaring media sosial yang berkelindan dengan kemajuan tekhnologi informasi.
Dalam film “Hater” kita akan menemui cerita yang tak hanya menipu di awal tetapi juga membuat kesadaran akan bahaya seperti terlambat menghampiri. Film besutan sutradara Jan Komasa ini bercerita tentang seorang mahasiswa fakultas hukum yang dikeluarkan dari kampus karena aksi plagiatnya. Masa depannya yang terancam suram berbanding terbalik dengan obsesi serta cintanya pada Gabi, anak gadis keluarga Krasucka yang selama ini memberinya biaya kuliah. Dalam keterpurukan itu, Thomasz Giemza – diperankan dengan natural oleh aktor Polandia, Maciej Musialowski – diterima bekerja di sebuah agensi yang kerap menyebarkan berita palsu. Berbagai propaganda dengan cara licik berhasil dilakukan Thomasz dari belakang layar komputer.
Ia dianggap sukses dan diberi pekerjaan yang lebih krusial. Thomasz diminta menyusup ke dunia nyata dan bermain politik. Targetnya “menghabisi” seorang calon Walikota. Ia tampil bermuka dua. Gimiknya sempurna sebagai pembohong. Lewat banyak akun media sosial palsu, Ia menggerakan kelompok pendukung dan juga penentang secara bersamaan. Dalam keseharian, Ia memamerkan kemampuannya di hadapan calon Walikota sehingga dipercaya sebagai bagian dari tim sukses. Berbekal banyak informasi yang didapat secara langsung, Thomazs menjadikannya sebagai senjata. Sendirian Ia bekerja di ruang privat untuk menyebar teror. Hoaks membunuh kebenaran. Orang ramai diadudomba.
Agar topengnya tetap aman, Ia menggunakan tangan orang lain sebagai eksekutor. “Seni tertinggi berperang adalah menaklukan musuh tanpa pertempuran”. Filosofi perang Sun Tzu dalam “The Art of War” ini digunakan Tomazs secara matang. Melalui pencarian di internet, Ia menemukan tumbal yang tunak. Guzek namanya. Ia sosok yang butuh revolusi untuk melawan kemiskinan karena “setiap pulang ke rumah selalu mendapati empat dinding yang bisu”. Neneknya sakit dan tak bisa ditinggalkan. Kondisi ekonominya buruk. Ia frustasi. Ia dimanfaatkan. Thomazs “melatih” Guzek sebagai pembunuh. Pikirannya direcoki dengan stigma rasialis. Kemiskinan hidupnya disebabkan kaum pendatang yang merampas banyak sumber hidup. Agama ikut dimanipulasi untuk membakar kebencian.
Guzek yang marah lalu diperintahkan untuk menghabisi calon Walikota. Di salah satu plot, sang calon yang tengah berkampanye di sebuah pameran penggalangan dana ditembak mati. Guzek yang kehilangan nalar juga menembak banyak orang. Gabi dan keluarganya ikut terancam. Di saat kritis, Thomazs datang dan membunuh Guzak. Situasi cepat berbalik. Thomazs dipuja. Guzak dihinakan. Ia mati sebagai martir yang bahkan tak pernah tahu jika orang yang merekrut dan melatihnya adalah orang yang sama – yang juga membunuhnya.
Film “The Hater” yang memenangkan penghargaan di Tribeca Film Festival sejatinya adalah fenomena kekinian dalam bersosial media. Banyaknya berita bohong, kebencian rasial dan agama berseliwearan secara bebas di dunia digital. Orang ramai termanipulasi dan ikut menyebarkan kebohongan itu. Pelan-pelan kebencian jadi pemenang. Akibatnya sikap desktruktif yang bertaut erat dengan kesumpekan sosial dan psikologis cenderung memicu kejahatan. Kita bisa menghakimi seseorang tanpa memberinya waktu untuk membela diri. Di situasi kritis ini, orang-orang yang punya kuasa menghidupkan tumbal karena mereka tak ingin reputasinya hancur. Hukum diperjualbelikan.
Dalam buku “The New Digital Age : Transforming Nations, Businesses and Our Lives”, Eric Schmidt dan Jarde Cohen menyebut “dunia digital tidak benar-benar terikat pada hukum terestrial”. Bisa dikata, dunia digital adalah ruang tanpa hukum terbesar di dunia. Detail terbaru dari tekhnologi digital dan kecepatan perubahan yang terus berinovasi menciptakan keadaan-keadaan yang tak terjamah oleh hukum. Meski memiliki seperangkat aturan, sangat sering negara terlambat merespons kemajuan itu. Tak jarang negara yang dikuasai oligarki yang represif ikut bermain secara curang. Mereka memanfaatkan celah hukum yang terbuka dibalik banyak kemajuan era digital untuk melanggengkan kepentingan politik dan ekonomi.
Di masa lalu, kita ingat kiprah Menteri Propaganda Nazi, Joseph Goebbels. Orang kepercayaan Hitler ini bekerja dengan filosofi “argentum ad nausem” atau kebohongan besar. Ia mengamplifikasi berita bohong secara besar-besaran lewat media masa secara masif. Tujuan dari propaganda ini pada akhirnya membuat orang ramai percaya jika yang bohong itu adalah bagian dari kebenaran. Hitler dielukan sekaligus ditakuti. Ia membantai enam juta orang Yahudi. Dalam perspektif Horkheimer dan Adorno, “holocaust” adalah hantu teror yang dilahirkan oleh masyarakat yang kapitalis dan liberal. Masyarakat yang menghamba pada kekuatan modal. Setiap individu berhubungan dalam sengkarut persaingan. Manusia direduksi ke dalam egoisme dan secara sadar mengabaikan solidaritas, kesetaraan, kebebasan dan saling menghormati.
Cerita yang nyaris sama kita temui dalam kasus pembunuhan Brigadir Yoshua di rumah dinas polisi. Seorang Jenderal tak hanya terlibat tapi juga merencanakan kejahatan itu. Ia juga berkomplot dengan banyak polisi untuk menyebarkan kabar bohong terkait pembunuhan yang disembunyikan selama tiga hari itu. Polisi secara resmi menyebut Yoshua tewas setelah aksi tembak menembak antar sesama ajudan. Beberapa orang bersaksi mendukung cerita bohong yang dibagikan secara ajeg. Namun kecurigaan atas ketidakberesan mengemuka seiring banyak fakta baru yang ternyata tak sesuai keterangan polisi. Tempat kejadian perkara telah “dibersihkan”. CCTV di lokasi itu diberitakan rusak. Tak ada jejak apapun.
Berhari-hari cerita bohong itu mendominasi pemberitaan media massa dan juga media sosial. Hingga seorang pelaku berbalik arah. Ia bersaksi lewat tulisan tangan di atas kertas bermaterai di hadapan sejumlah petinggi kepolisian bahwa kasus pembunuhan itu sejak awal direkayasa. Tak ada tembak-menembak. Polisi bergerak cepat menahan banyak pelaku. Mereka yang terlibat diberhentikan secara tidak hormat. Namun drama ini belum usai. Perang opini dan kepentingan masih terus berlanjut. Deretan pelaku yang terlibat pembunuhan maupun yang bertindak secara sadar menghalangi keadilan – obstruction of justice – bisa saja bertambah. Kita tak tahu apakah ujung semua ini adalah kebenaran ataukah kebohongan. Yang pasti, dalam kasus ini kita adalah tumbal yang dikibuli secara berjamaah.
Saya ingat sebuah kalimat bijak “dimana tak ada kebenaran, di situ tak ada kebaikan”. Pernyataan ini diungkapkan oleh Rav Nachman, pemimpin gerakan Hasid dari Breslov di Ukraina pada abad 17 yang mendorong pengikutnya untuk menjadi “tzadik im” – menjadi “orang yang benar” melalui pengabdian yang kuat kepada Tuhan. Nachman menegasi jika kebaikan hanya ada di tempat yang menyemai kebenaran. Dengan itu, kita akan sepakat jika musuh terbesar kemanusiaan adalah kebenaran yang disembunyikan.