TERNATE (Kalesang) – Keberadaan musik tradisional Gala yang kian tergerus jaman membuat berbagai pihak khawatir. Berbagai upaya telah dicoba agar generasi muda Ternate mau meneruskan warisan budaya non benda ini.
Saat ini yang paling sulit adalah mencari pemain rebab dan suling, tanpa dua alat musik itu, tak ada musik tradisional Gala. Nah, kelompok Musik Gala membutuhkan beberapa orang pemukul Tifa, satu orang penabuh Gong, satu peniup Suling, dan satu lagi mengesek Rebab. Semakin banyak pemain Tifa, semakin kuat bunyi musik dan semakin bersemangat pula para penari.
Rendahnya minat generasi muda akan musik tradsional di Ternate membuat Mukaram Diadi gundah, putra asli Hiri yang baru beberapa bulan lalu dilantik menjadi Lurah Faudu, Kecamatan Hiri, Kota Ternate, Maluku Utara putar otak.
“Saya sudah sejak lama ingin ada anak muda yang punya bakat musik bisa memaikan alat musik tradisional, sebelum semuanya terlambat.”Ucap Mukaram.
Tak hilang akal, Jumat (30/9/2022) Mukaram lantas menggelar acara ronggeng di rumahnya Faudu dan mengundang Ketua DPRD Kota Ternate, Muhajirin Bailussy. Ia berharap Muhajirin bisa lakukan penetrasi DPRD dan Pemerintah Kota Ternate untuk keberlangsungan musik tradisional.
Gayung bersambut, Muhajirin ternyata punya atensi yang sama untuk memajukan musik tradisional. Usai acara ronggeng Mukaram langsung mengutarakan niatnya untuk menjadikan Faudu sebagai pusat musik tradisional dan memiliki semacam padepokan untuk belajar alat musik tradisional.
“Kita sudah punya regulasi tentang budaya, tinggal bagaimana pengejawantahan di lapangan. Usulan ini akan saya diskusikan dengan teman-teman di DPRD dan walikota.”Janji Muhajirin.
Mukaram beruntung di kelurahannya ada Ajon Ame, seniman musik tradisional serba bisa. Om Ajon begitu pria paruh baya bertubuh tambun ini disapa warga, sehari-hari berprofesi sebagai nelayan dan bisa memainkan semua jenis musik tradisional. Mulai tifa, suling hingga rebab.
Bahkan Om Ajon mampu memainkan musik tradisional katreji dengan memadukan hentakan tifa dengan irama gembira harmonika.
Malam itu saat pesta ronggeng, di hadapan Muhajirin dan para tamu, Om Ajon bersama teman-temannya mendemostrasikan kemampuan mereka. Mulai dari ritme tarian Gala yang dinamis, tarian Lalayon yang lembut, Tide-tide, Dana-dana dan Togal yang ceria, hingga kegenitan musik Katreji.
Alat musik yang digunakan milik pribadi Om Ajon, tak ada bantuan pengusaha apalagi pemerintah, tifa dan rebab dibuat sendiri, gong serta harmonika ia beli.
Semua tamu yang ba-ronggeng sudah sepuh, hanya beberapa yang berusia dibawah 50 tahun tahun. Hal ini menjadi alarm jika musik tradisional memang tak punya tempat dihati generasi milenial Ternate.
Meski sepuh, para tamu mampu ba-ronggeng hingga dinihari, tak putus satu lagu ke lagu lain, para pemusik semangat, para tamu gembira. Gesekan rebab yang mengiris malam di tenangnya Pulau Hiri membuat semua bersepakat, musik tradisional harus tetap hidup sebagai jati diri orang Ternate dan seluruh elemen punya tanggungjawab untuk itu. (wawan kurniawan)