Membaca Realitas
728×90 Ads

Hak Perempuan Untuk Mencapai Kesetaraan Gender

Oleh: Winny Zuhrita M. Adjaran

(Sekjen BEM Fakultas Hukum UMMU)

 

Kesetaraan gender (gender equality) adalah pandangan bahwa semua orang harus menerima perlakuan yang setara dan tidak didiskriminasi berdasarkan identitas gender mereka yang bersifat kodrati. Antara laki-laki dan perempuan dalam pemenuhan hak dan kewajiban, seyogyanya budaya patriarki belum bisa diikhlaskan secara menyeluruh. Diskriminasi berdasarkan gender masih sering terjadi pada seluruh aspek kehidupan, di seluruh dunia.

Kesetaraan gender dikembangkan dengan mengacu pada dua instrument internasional yang mendasar, yakni Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada 10 Desember 1948 dalam sidang umum PBB di Istana Chaillot, Paris dengan menuai yakni, menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama.

Dengan merujuk pada deklarasi ini, konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan mencantumkan istilah “hak yang sama untuk laki-laki dan perempuan kesetaraan laki-laki dan perempuan”.

Sosok perempuan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kesetaraan gender yang harus dibicarakan. Perempuan dan kekerasan kini seolah makin nyata sebagai satu kesatuan.

Komisioner Komnas Perempuan menyebutkan, data CATAHU 2022 Komnas Perempuan memperlihatkan kenaikan 83% kasus Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) dari tahun 2020 sebanyak 940 kasus menjadi sebanyak 1.721 kasus. Data yang ada menunjukan bahwa perempuan berada pada posisi yang sangat dirugikan daripada laki-laki.

 

KekerasanFisik

Di Indonesia telah menetapkan Undang-Undang untuk melindungi perempuan dari kekerasan fisik. Akan tetapi, terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih sering terjadi.

Bahkan sekarang yang lagi heboh-hebohnya persoalan tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang dilakukan oleh seorang artis papan atas terhadap istrinya.

Kekerasan yang sering terjadi dikarenakan beberapa alasan baik dalam berbeda pendapat, perselingkuhan, atau bahkan karena istri menolak untuk melakukan hubungan intim dengan suami.

Kekerasan seksual terhadap perempuan adalah kejahatan buruk dan bahkan terus berlangsung dengan seiring perkembangan zaman. Kekerasan seksual terhadap perempuan bukan hanya karena menyandang jenis kelamin sebagai perempuan, tetapi juga karena relasi gender antar perempuan dan laki-laki yang tidak lepas dari relasi kekuasaan.

Bukan hanya kekerasan dalam rumah tangga saja yang menjadi objek, bahkan adahal lain yang menjadi dominan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, pemerkosaan, pencabulan, eksploitasi seksual ( UU PKDRT/UU 23/2004),  trafficking (perdaganganperempuan) untuk tujuan seksual dan pemaksaan aborsi.

 

Perbedaan Gender Dalam Dunia Pekerjaan

Adanya perbedaan jenis kelamin dalam dunia pekerjaan, baik dalam penerimaan dan promosika ryawan yang bersifat diskriminatif atas dasar gender yang membuat perempuan berfokus dalam sector kecil yang umumnya pekerjaan lebih rendah daripada laki-laki.

Budaya patriarki adalah distribusi kekuasaan yang tidak merata antara laki-laki dan perempuan dalam aspek-aspek tertentu dalam sebuah masyarakat (dikutip dari tulisan yang dilansir Women’s Human Rights Eduation Institute) dalam sistem budaya dan social sebagian masyarakat Indonesia, perempuan dipresepsikan dan ditempatkan semata-mata hanya berfungsi reproduktif.

Karena berfungsi reproduktif, perempuan dianggap hanya bisa berada di rumah untuk melanjutkan keturunan dengan melahirkan dan mengasuh anak-anak yang dilahirkan (Lusia, 2020:3). Bahayanya, perempuan yang berada di rumah pun juga harus mengerjakan semua pekerjaan rumah dan hanya bisa dibebankan atau dilakukan oleh perempuan.

Perempuan seringkali diperlakukan dengan tidak baik dalam dunia pekerjaan. Perempuan yang selalu dianggap lemah, dalam dunia pekerjaan diskriminasi berbasis gender terhadap perempuan seringkali terjadi misalnya kesenjangan upah, cuti melahirkan dan bahkan perempuan dijadikan objek pemuas nafsu yang menjadikan kemolekan tubuhsebagai bahan tontonan.

 

Pernikahan Dini Terhadap Anak Perempuan

Konsesus global tentang perlunya penghapusan perkawinan anak, kawin paksa dan perkawinan usia anak semakin mengemuka dalam beberapa tahun terakhir (Lusia, 2020:19). Perkawinan anak diidentifikasi sebagai salah satu fenomena sosial yang menjadi penyebab persoalan besar negara, baik karena sector kemiskinan dan angka pengangguran.

Dalam pernikahan dini dispensasi sering kali terjadi dalam pengadilan dengan alasan bahwa sang anak telah hamil, mengikuti pergaulan bebas dan juga telah berhenti dalam dunia pendidikan. Pernikahan yang dilakukan terhadap anak perempuan atau biasa dikenal dengan pernikahan dini umumnya dilakukan dengan laki-laki dewasa.

Pernikahan terhadap anak di bawah umur dilakukan dengan motif agar anak tersebut memiliki kehidupan yang lebih layak, nyatanya pernikahan dini sangat merugikan bagi seorang anak perempuan karena usia yang lebih kekanak-kanakan mendapat beban besar yang membuat psikologi anak terganggu.

Diharapkan bahwa pemerintah lebih peka akan kesetaraan gender dan keterlibatan perempuan dalam segala sector pelayanan publik baik dalam politik, budaya, sosial dan ekonomi agar tercapainya suatu kesetaraan dari perempuan dan laki-laki. Perempuan bijak berharap tidak menjadi musuh siapapun, wanita bijak menolak menjadi korban dari siapapun (Maya Angelou).***

300×600
728×90 Ads