Membaca Realitas

Putus Cinta Karena Deadline Berita

Oleh: Yunita Kaunar

 

 

“Jam dinding bergetar, hari-hari ku menghitung waktu dan mencatat rindu berhamburan, lelah serta gelisah berkecamuk dalam benak.”

(Oktober, 2022)

Setelah resmi berpacaran di tahun 2020, memperjuangkan rasa begitu dalam hingga lupa berapa sosok menaruh perasaan. Satu-satunya cara berdamai dengan rindu adalah memejamkan mata dan membayangkan sosok dicinta, begitulah kata hati berbicara.

Walaupun telah resmi mengungkapkan cinta, kami sepasang kekasih sering menutup mata jika berpapasan di waktu-waktu tertentu. Layak tidak ada rindu yang tumbuh, rumitnya kisah percintaan hingga aku sendiri pun tak mampu memahaminya.

Kadang pula, aku harus memendam sendiri ego dan membiarkan sosok yang ku cinta berbagi waktu bersama teman-temannya. Terasa waktu terbagi setelah aku resmi menjadi pewarta dengan kesibukan mencari berita.

Ternate, pukul 15.00 WIT

Aku sering menghabiskan waktu di warung kopi, menatap bingkai foto para tokoh-tokoh seperti Che Guevara seorang pejuang revolusi asal Argentina dan pemimpin besar revolusi Bung Karno berjejer rapi di dinding cafe.

Mata ku tertuju pada deretan buku berwarna coklat, ya benar penulis novel Fiersa Besari, salah satu penulis menjadi idola ku, di sela-sela waktu senggang kadang ku habiskan waktu berjam-jam untuk mencerna isi kepala lewat karyanya.

Aroma kopi robusta menusuk hidung. Sedang asyik menikmati suasana, aku dikejutkan dengan sebuah tangan menepuk tepat pundak kiri ku.

“Dini, kamu sendirian ? mana Rio pacarmu yang tinggi berambut cepak itu,”serunya sambil tersenyum.

“Ah ! kamu Lin, buat kaget saja, iya nie aku sendiri saja, gabung yuk!!,” Dini mengernyitkan dahi.

Setelah kedatangan Lin, topik pembahasan seputar dunia jurnalis. Maklum Lin juga seprofesi dengannya.

“Kamu, liputan dimana saja..ah sesekali tinggalkan pekerjan dan bersama pacar biar pikiran fresh,” tukasnya.

Aku hanya terdiam, menatap langit-langit cafe. Walau pacarku masih satu daerah tetapi kita sulit bertatap muka, lantaran ia masih aktif sebagai mahasiswa dengan rutinitasnya.

“Malas bahas soal Rio, bahas lain saja,”kata Dini dengan nada kesal.

Pukul 17.00 WIT

Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Kopi hangat yang ku pesan sebelumnya tanpa di sentuh itu akhirnya ku teguk perlahan-lahan. Cafe ini menjadi favorit. Sebab sedikitnya para perokok. Dini memutuskan untuk pamit karena ia tahu sebentar lagi kekasih Lin akan tiba di cafe.

Sesampainya di rumah, seperti biasa Dini harus melakukan rutinitas layak seorang ibu rumah tangga mengurusi rumah dan mempersiapkan bekal untuk ayah ketika berkebun. Hal ini ia lakukan pasca ditinggal selamanya sang ibu pada sepuluh tahun lalu di usia masih muda dan saat ini beranjak dewasa di usia 20 tahun. Dini harus mengambil peran ibu dengan tulus.

“Cintailah pekerjaanmu, maka semua akan terasa mudah. Jika telah buat suatu keputusan setidaknya menghargai sebagai proses.” begitulah pesan ayah terus diucap sebelum ia tertidur pulas.

Benar kata sang idola bahwa ada sihir dalam setiap kata, buktinya setiap keputusan akan diambil selalu terngiang-ngiang kata ayah dalam pusaran imajinasi.

Usai memanjakan mimpi semalam, jarum jam telah menunjukan pukul delapan lewat, Dini sesegera mungkin mempersiapkan sarapan ayah.

Pukul 09.00 WIT

Dini, mulai melakukan aktivitasnya sebagai pencari berita mendatangi beberapa instansi dan kali ini kesibukannya amat padat. Selain isu yang sudah di gagas semalam, ada juga isu tambahan dari pimpinan redaksinya.
Belum lagi, kabar dari tetangga lewat via  handphone menghujam jantungnya.

Bahwa ayahnya pingsan di kebun dan ditemukan warga sekitar dibawakan ke rumah. Pikirannya kacau, mana harus diutamakan tugas atau orang tuanya lagi sakit. Belum menyelesaikan tugas dari pimpinan, ia memberanikan untuk meminta izin sebentar untuk melihat ayahnya.

Setelah kembali ke rumah dan mengurusi ayahnya dan usai ayahnya terlihat membaik, Dini pun meminta izin kembali meliput. Pasca meliput dan belum mengetik berita, tiba-tiba handphone berdering.

“Dini, kamu di mana? sebentar kita ketemuan di cafe biasa kamu nongkrong,” kata Rio
tanpa mendengar penjelasan dari Dini, ia pun menutup handphone.

Padahal, Dini memiliki kesibukan padat, belum lagi deadline untuk memasukkan berita di redaktur yang harus ditaati.

Langit tiba-tiba hitam, hujan disertai petir dan angin kencang, alhasil Dini saat itu tengah mengendarai kendaraan roda dua terpaksa berhenti untuk mencari keteduhan.

Waktu berjalan tanpa pamrih, desakan memasukkan berita ke redaktur dan bertemu sang kekasih pun menjadi bayang-bayang. Handphone milik Dini pun berdering kembali.

“Aku sudah menunggu beberapa jam lalu loh !! belum juga datang,” nada kesal Rio.

Dini pun membuka suara, bahwa ia memiliki kesibukan padat belum lagi batas memasukkan berita. Rio pun tak menerima alasan, ia pun mengambil keputusan menyakitkan.

“Ya…sudah kita putus saja,”kata Rio, sembari menutup handphone.

Dini pun seketika lesu dan tak bersemangat seperti dihujam badai samudra. Ia menarik nafas perlahan-lahan sambil membuka file foto saat masih bersama sang kekasih. Tiba-tiba air mata mengalir bersama derasnya hujan.

Dini mencoba mencari ketenangan jiwa, tak sengaja jarinya menyentuh aplikasi musik dan salah satu lagu muncul layar handphone lirik lagu dengan judul “Cinta Putih” – Kerispatih, ada sebuah kata..”Betapa kupasrahkan hatiku.” hati Dini seperti disayat sembilu.

Setelah suasana hati mulai tenang, ia pun menyalahkan dirinya sendiri, mencintai seseorang namun tidak saling memahami adalah kesalahan dalam sebuah percintaan. Dini, mulai menguatkan hatinya dengan tidak lagi membuka hati yang lebar agar tidak mudah didalami kaum adam. (***)