Membaca Realitas
728×90 Ads

Cerita yang Tidak Selesai

Cerpen
Oleh: Achmad Gani Pelupessy

__________
Sore saat jemari hendak menulis sepotong cerita ini, berbagai kisah yang sudah-sudah tentang Mayangsara pergi bak tiada ingin meninggalkan pikiran.

Rumit, tapi sudah harus tiada semua kisah singkat ini. Sebab simpanpun tiada beruntung bagi saya. Meski adapun tiada bagus untuk dikenang.

Lalu saat sekian rintikan hujan sore ini, saya, yang sudah lama termangu akhirnya senantiasa berterus terang. Bahwa cerita tentang Mayangsara harus diakhiri.
Sebab sadar, Mayangsara bukan serupa puisi-puisi yang saya tulis. Bukan seperti cerita-cerita romantis yang saya ukir.
Betul, Mayangsara ialah bunga, tapi bukan bunga di akhir abad.

Ia hanya salah satu dari banyaknya bunga-bunga indah.

Sampai kepada awal paragraf ini ditulis, berhenti jemari saya menulis. Liar kedua mata saya pandangi hujan, seakan mencari sesuatu ingatan tentang hujan yang pernah ditulis pula.

“Menerka Hujan”, ingatku pada tulisan kemarin yang sudah selesai.
Sambil tertawa bodoh, kedua kakiku terangkat tuk bersila sembari menggeleng kepala.

“Untuk apa semua tulisan-tulisan itu?” Tanyaku membatin. “Bukankah tak sedikitpun dia membacanya?”

Atas sadar itu, bukan berarti cerita tentang Mayangsara memang sudah harus usai. Semua puisi dan cerita yang pernah ada ialah untuk semua tahu Mayangsara, ialah untuk semua mengenal nama Mayangsara.

Tapi usai cerita Mayangsara adalah harus. Saya tiada sekalipun menyesali tulisan yang saya buat kepadanya. Semuanya akan saya rayakan sebagai arsip, sebagai rekaman kisah, sebagai usahaku kepada waktu, kepada hujan, kepada bunga akhir abad, kepada puisi-puisi.

Mengakhiri cerita tentang Mayangsara berarti berhenti menulis segala tentangnya. Tiada lagi puisi, tiada lagi cerpen.

Bukan apa-apa, memang sudah semestinya usai. Sebab selalu sulit bila Mayangsara masih tinggal di tulisan. Untuk bahagia saya, sore sewaktu hujan ini, airnya harus bisa bersihkan nestapa, hapuskan kedukaan, lalu alirkan kebohongan yang dia buat jauh-jauh. Tiada boleh satu risau yang tinggal.

Lalu kepada angin sore ini, batinku mendengung, “Kisah yang membosankan selalu usai dengan cara yang membosankan. Sampaikanlah!.”

Harap angin dapat embuskan dengung ini sampai telinganya.

Berhenti dengungan saya saat hujan harus deras terjatuh. Kepada derasnya saya tatap lamat-lamat, jauh pikir saya tentang cerita dan derita.

Lalu pada sepotong kalimat Jokpin, saya genggam sederas hujan, “Derita dapat tertanggungkan bila menjelma jadi cerita.”

Sederas hujan di dalam genggaman tak bisa utuh, ia mengalir mengosongi genggaman tiada sisa.

Begitulah air, bukan serupa benda padat yang berbentuk. Wujudnya yang cair, ditugasi semesta untuk mengaliri dan mambasuh semua perihal kotor; keji, patah hati, luka-lara.

Tapi bukan tentang air, perihal hujan selalu tentang kisah manusia yang senantiasa membasuh.

Seperti cerita ini, Mayangsara ialah luka-lara yang harus dibasuh. Cerita tentangnya biarlah digenggam, tapi derita olehnya harus dilepas.

Hilir air hujan sudah sampai di tepian. Segenggam tadi kosong hanya tinggal basahan.

Tak bosan dengan hujan, pandangan saya masih mengamati sembari mengingat lagi cerita-cerita dahulu. Tangan yang basah saya sapu pada sepotong kain. Mengambil sebatang rokok yang tersisa, bakarlah khidmat.

Seusai hisapan pertama dan terdalam, embusan asap mengepul mengusir semua arsip di kepala. Betapa derita tertanggungkan, ingat saya kepada Jokpin. Sumringah nampak di senyum ini,”Tak boleh satupun perihal yang membudaki saya. Saya bebas sekarang.” (*)

728×90 Ads