TERNATE (Kalesang) – Terdapat lima provinsi di Indonesia yang masuk dalam indeks kerawan pemilu (IKP) untuk Pemilu 2024, salah satunya Provinsi Maluku Utara.
IKP Pemilu 2024 ini, Provinsi Maluku Utara sendiri berada di urutan ketiga setelah DKI Jakarta yang berada di urutan pertama.
Tentu ini mengagetkan publik Maluku Utara, sebab indikator menyusun IKP menggunakan sumber pelaksanaan Pemilu sebelumnya. Ini yang menjadi sumber data yang digunakan Bawaslu RI untuk menetapkan Maluku Utara masuk urutan ketiga IKP Pemilu 2024.
”Bawaslu harus menjelaskan ke publik kenapa IKP Maluku Utara tinggi nilainya, pakai ukuran atau barometer apa. Padahal di Pemilu terakhir Maluku Utara tergolong sukses dalam penyelenggaraannya.” Kata Direktur Lembaga Studi Pemilu dan Demokrasi (LSPD) Maluku Utara, Alfajri A Rahman, dalam rillis yang diterima pada Sabtu (17/12/2022).
Jika dilihat dari pemaparan Bawaslu RI untuk menetapkan 5 provinsi, lanjutnya, dan salah satunya Maluku Utara yang rawan dan masuk dua dimensi rawan peringkat pertama, yakni rawan tinggi, yaitu Dimensi Konteks Sosial dan Dimensi Kontestasi.
Pertanyaan kemudian, kata Alfajri, apa indikator yang mendasari kemudian menghasilkan kesimpulan bahwa IKP Maluku Utara tinggi. Sebab sumber data IKP tentu menggunakan sumber data pada pelaksanaan Pemilu 2019 dan Pilkada 2020 dan dijadikan ukuran pengawasan untuk pelaksanaan Pemilu 2024.
”Hal yang mengagetkan adalah Dimensi Kontestasi dan Dimensi Konteks Sosial yang paling tinggi dengan nilai kerawanan 100, sebab Dimensi Sosial Politik secara oprasional ditujukan untuk mengukur tingkat keamanan pra pemilu, saat pemilu dan pasca pemilu, otoritas penyelenggara pemilu, integritas dan professional penyelenggara negara dan relasi kuasa di tingkat lokal.” Tegasnya.
Jika dimensi ini di beri ukuran nilai 100, Alfajri menambahkan, maka pertama tingkat kemanan di semua tahapan berpotensi menjdi masalah, kedua penyelenggara pemilu dikendalikan oleh penyelenggara negara dan ketiga, netralitas ASN.
“Kalau ukuran netralitas ASN saya sepakat Maluku Utara termasuk tinggi kasusnya dan ke empat apakah isu primordial menjadi isu penting di Maluku Utara atau tidak.” Terangnya.
Sementara dimensi kontestasi secara oprasional, kata Alfajri, ditujukan untuk mengukur hak politik gender, representasi minoritas dan proses pencalonan. Jika dimensi kontestasi diukur dengan nilai 100, maka tentu jawabanya adalah tidak terpenuhinya kontestasi perempuan atau disebut keterwakilan 30% perempuan di Pemilu 2019, kemudian kelompok minoritas menguasi kontestasi di Malut dan proses pencalonan bermasalah.
Jadi, Mantan Ketua IMM Malut ini memberikan warning kepada penyelenggara. Karena hal ini tentu menjadi tugas Bawaslu untuk menjelaskan kepada publik terkait predikat IKP yang didapatkan biar semua tahu apa indikator dan sumber data dari mana yang digunakan.
“Bawaslu Malut tidak melaksanakan semacam forum FGD untuk mengundang kelempok stakeholder untuk membahas indikator IKP, tiba-tiba kita disodorkan hasil IKP seperti ini, yakni urutan 3 se Indonesia satu prestasi yang buruk sebetulnya.” Sesalnya.(red)
Editor: Junaidi Drakel