Membaca Realitas
728×90 Ads

Yang Tersisa yang Dirusak, Cerita dari Kampung Sagea Halmahera Tengah

Oleh: Ismunandar

(Pemuda Halmahera)

 

Sejauh perjalanan menyusuri kampung-kampung di Halmahera, Sagea adalah salah satu kampung paling indah di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara.

Dari atas bukit laut terhampar, telaga besar dikelilingi bakau, gunung kokoh menopang, dan satu makam bersejarah ada di situ. Orang-orang Sagea menyebut itu sebagai makam Sultan Jailolo.

Kampung ini berada di sebelah utara kampung Sakam, dilatari oleh gunung di belakangnya dan yang paling mewah dari seluruh hidangan alam itu, adalah goa Boki Maruru.

Penelusuran peneliti Prancis hanya bisa mencapai perjalan memasuki sungai goa itu baru sekitar 9 kilo meter. Orang-orang kampung juga tidak ada yang tahu di mana sungai goa itu berhulu.

Sebagian orang mengatakan bahwa menebus beberapa sungai yang ada di wilayah Halmahera Timur, tepatnya di hulu kali Waci.

Yang pasti jejak kehidupan di situ dapat dibaca dari cerita rakyat mengenai perempuan dengan mata yang selalu berkaca, dari lagu tentang Boki Maruru sebagai tempat menenangkan pikiran dari leluhur orang Sagea. Dan upacara adat yang biasa dilakukan orang-orang dulu sebagai rasa penghargaan atas alam atau kampung.

Kini, goa Boki Maruru dikelola oleh pemuda Sagea sebagai obyek wisata, dengan pendapatan Rp150 jutaan di musim liburan hari raya.

Sebagaimana kampung-kampung lain, keindahan alam di Sagea dengan kemewahan alam Boki Maruru sama sekali tidak menjadi bahan pertimbangan bagi pembatasan ekspansi tambang yang merusak itu.

Goa Boki Maruru dan hamparan gunung yang menopangnya kini menjadi kawasan pertambangan PT Pasifik Mining. Tak lama lagi kawasan itu akan berubah menjadi pertambangan terbuka.

Boki Maruru oleh beberapa orang di Sagea memang sedang diperjuangkan sebagai kawasan wisata dengan maksud melindung sungai dan kawasan Boki Maruru dari pengrusakam yang sedang direncanakan oleh perusahaan dan pemerintah.

Namun, dengan menyaksikan bentangan alam yang ada di situ, rasa-rasa langkah itu tidak akan cukup menjamin terbebasnya Boki Maruru dari kehancuran, karena rencana kegiatan pengrusakan melalui pertambangan nikel mengelilingi kawasan Boki Maruru itu.

Salah satu pengunjung Boki Maruru sedang nikmari fasilitas wisata

Ekspansi ekonomi ekstraksi memang berjalan gila-gilaan, merusak seluruh rencana tata ruang yang lebih masuk akal bagi daya dukung alam dan ekonomi yang  berkelanjutan.

Dihitung dari segala hal, kampung Sagea dan kawasan Boki Maruru sebenarnya tidak perlu lagi dirusak. Untuk alasan penyerapan tenaga kerja, PT IWIP sudah lebih dari cukup memenuhi kebutuhan kerja warga.

Sebab di IWIP, sebagaimana dituturkan karyawan, hampir setiap saat penerimaan karyawan itu dilakukan dalam jumlah besar..

Sehingga, menyerahkan kampung Sagea dan seluruh bentangan gunung yang mengelilingi kampung itu kepada perusahaan tambang adalah satu bentuk penghancuran tanpa pertimbangan yang wajar dan masuk akal..

Namun, arus pembebasan lahan yang dilakukan PT IWIP sebelumnya, menjebak warga Sagea ke dalam pilihan yang serupa, sebagaimana dilakukan orang-orang Sakam, Lelilef, dan kampung-kampung sekitarnya bagi hasrat memanfaatkan putaran uang dari IWIP melalui pembangunan kos-kosan dan jasa transportasi.

Demikian, sehingga area yang sebelumnya menjadi wilayah pemukiman dan perkebunan yang berada sekitar 500 meter di belakang kampung Sagea, oleh warga dijual ke PT Pasifik Mining.

Kini luasan cadangan pemukiman warga yang tersisa  tidak lebih dari 10 hektare dengan tren pertumbuhan penduduk yang makin padat akibat imigrasi manusia mencari putaran yang dari PT IWIP.

Sagea kini menjadi kampung dengan sisa kawasan yang tak lagi bisa menampung satu generasi, ditambah seluruh bukit yang mengelilingi kampung itu menjadi wilayah konsesi PT Pasifik Mining yang setiap saat bisa dirusak.

Tragisnya, pengurus publik Halteng seperti tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kampung Sagea, Penjabat Bupati Halteng, Ikram Sangadji justru membuka kemungkinan pengrusakan kampung itu dengan memberi pilihan kepada masyarakat untuk memilih moda ekonomi mana yang lebih menguntungkan.

Padahal, menghadapkan masyarakat Sagea pada pilihan antara tambang dan pertanian adalah sama saja dengan menyetujui pengrusakan kampung melalui tambang secara tidak langsung.

Sebab kita dapat menebak alam pikir masyarakat dan pilihan apa yang akan diambilnya bagi hasrat mendapatkan uang secara instan. Orang Sagea tentu akan lebih memilih ekonomi ekstraksi ini, karena hasrat mendapatkan uang besar melalui pembebasan lahan tanpa merenungkan lebih jauh segala dampak buruk atas ruang hidup mereka.

Pengurus publik setempat seperti tidak punya imajinasi pembangunan lain yang bisa menjamin keselamatan kampung dan bentang alamnya, dan lebih suka menggenjot pendapatan daerah dengan cara menyajikan kampung-kampung sebagai jajanan bagi pemburu bahan mineral secara serentak dan besar besaran. Pengurus publik alias pemerintan laksana pedagang buta huruf yang tak bisa berhitung.

Jiwa dari pada pengurus publik tidak mengakar pada kampung sebagai ruang hidup bersama dengan seluruh layanan alam yang begitu berlimpah dan mewah, juga sejarahnya bagi pemetaan tata ruang yang lebih masuk akal dan dapat melindungi alam dan kampung-kampung yang tersisa dari gempuran pengrusakan perusahaan tambang.

Pikiran  hampir semua pengurus publik mulai dari tingkat provinsi hingga desa, kini sedang melayang-layang dibawa oleh khayalan pertumbuhan melalui ekonomi ekstraksi semata-mata.

Dalam istilah lokal, pengurus publik sedang menghinggapi penyakit yang disebut gurumin hilang atau pikiran “tara di badan”, atau bahkan sekadar menjadi pot bunga, sekadar hiasan buruk di rumah pemburu bahan mineral.

 

 

728×90 Ads