Oleh: Samsudin Wahab Genvyr
Marwa berusia 26 tahun, ia tumbuh tanpa kasih sayang sosok seorang ayah, ayahnya meninggal ketika dia berusia 3 tahun, Ia dibesarkan oleh ibunya sendiri. Marwa memiliki dua orang adik yang kini semuanya sudah bersekolah. Adiknya Laki-laki sudah kelas IX SMP sedangkan adiknya perempuan sudah duduk di bangku SMA kelas XII dan beberapa bulan lagi mereka akan segera ujian.
Sebagai anak pertama Marwa kini menjadi tulang punggung keluarga, kesehariannya membuat anyaman terkadang masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Ada banyak temannya yang mengajaknya untuk ke kota mencari pekerjaan namun ia selalu punya alasan untuk menolak.
Menganyam sudah menjadi hobinya, baginya menganyam bukan sekadar pekerjaan untuk mendapatkan uang tapi dengan menganyam ia juga sudah bekerja untuk kebudayaan, menjaga paru-paru budaya untuk tetap bernafas.
Di desa kampung Tua pada suatu pagi yang cerah ,kala Marwa sedang asyik menganyam di teras rumah, tiba-tiba datang Andi dan Ayu.
“Maaf mengganggu Kak”. Ujar Ayu.
“Bukan masalah kok, kalian ini selalu saja bersikap seperti kita baru kenal saja”. Ujar Marwa.
“Iya maaf Kak”.
“Tunggu sebentar ya”. Ujar Marwa.
Tak lama kemudian Marwa keluar membawa dua cangkir kopi hangat. “Ah Kakak tidak usah repot-repot la buatin kopi segala”. Ujar Andi. “Iya Kak”. Lanjut Ayu.
“Tidak apa-apa kok, silahkan diminum”.
Saat itu suasana hening beberapa menit. Ayu dan Andi menikmati kopi, sementara Marwa masih sibuk menganyam Saloi dan sosiru yang dipersiapkan untuk pesanan. Tak hanya itu, ia juga biasanya membuat anyaman aya-aya yang digunakan untuk perkakas pembuatan sagu.
“Apa rencana kita selanjutnya untuk mengajak agar pemuda dan pemudi di desa ini tertarik pada literasi?”. Tanya Andi.
“Berbuatlah semampu kalian, tidak masalah meskipun hanya sedikit orang yang mau bergabung dalam kelompok kita”. Jawab Marwa.
“Tugas kita adalah membuat generasi sadar dan peduli terhadap budaya kita yang makin hari hampir punah, tugas kita adalah tugas yang berat sebab kita bekerja keras untuk membangun kesadaran generasi yang hidupnya terperosok dalam nilai-nilai yang bukan berasal darinya, ingat tugas kita adalah melawan. lanjut Marwa panjang lebar.
Kelompok literasi yang didirikan Marwa diberi nama “Literasi Budaya”. Selain membaca dan berdiskusi Marwa juga sering melatih pemuda pemudi untuk membuat anyaman. Marwa tidak kuliah seperti temannya yang lain, namun ia mendapat inspirasi dan pengetahuan tambahan untuk mendirikan literasi dari temannya Aryo yg kuliah di kota.
“Dengan membuat anyaman apakah kakak yakin bisa mencukupi kebutuhan kita, belum lagi apabila kita sudah menikah tentu kebutuhan kita semakin bertambah?”. Tanya Wahyu
“Dengan menganyam kamu tidak akan mati kelaparan sebab kamu bekerja dengan cinta dan kebebasan. Kamu mungkin tidak kaya tapi membuatmu bertahan hidup itu sudah pasti. Ingat kita boleh kehilangan harta tapi kita tidak boleh kehilangan identitas, ketika kita kehilangan identitas, kita akan hidup seperti orang desa yang tinggal di tempat asing”. Jawab Marwa.
Kehidupan berjalan seperti biasanya, kesibukan Marwa yang tidak hanya difokuskan pada pekerjaan untuk menghidupi keluarga, ia juga harus memfokuskan perhatian pada literasi dan generasi yang tergabung di dalam literasi itu. Segala daya dan upayanya untuk membangun dan mengembangkan literasi berwawasan kebudayaan mendapat dukungan dari masyarakat setempat.
Selain dari pemuda pemudi, dukungan yang besar juga datang dari para tetua yang ada di kampung.
Para tetua dan pemuda pemudi sudah sering mengusulkan kepada Marwa untuk membangun lobi ke dinas kota juga perpustakaan kota untuk memberikan donasi berupa buku dan dan sumbangan material yang lain. Namun Marwa masih mempertimbangkan hal itu.
“Kenapa kalian tidak memasukkan proposal ke dinas perkotaan untuk meminta donasi anggaran?”. Tanya seorang tetua.
“Bukannya tidak mau Kek, tapi kekhawatiran kami kalau nantinya kita terbiasa dengan menerima bantuan dari luar maka teman-teman yang lain akan terbiasa dan tidak bisa bekerja mandiri”. Jawab Marwa.
“Lagi pula kelompok kita masih belum terlalu besar juga kok”. Ujar Andi.
“Oh iya, Kakek hanya mengusulkan saja kok. Tapi jangan lupa kalau nanti kelompok ini sudah besar kalian juga harus meminta dukungan dan dorongan dari dinas terkait, itu juga merupakan tugas yang harus diemban oleh mereka”.
“Baik Kek, makasih atas sarannya”. Jawab Ayu dan Marwa barengan.
Sebagian besar teman-teman Marwa yang tergabung dalam literasi hanya menyelesaikan pendidikan pada tingkat SMA, hanya beberapa orang saja yang saat ini sementara masih kuliah salah seorang diantaranya adalah Aryo.
Namun bagi Marwa dan teman-temannya prinsip hidup layak yang sesungguhnya tidak melulu bisa diraih melalui pendidikan formal, buktinya banyak orang yang berpendidikan tinggi namun masih korupsi dan mengambil apa yang bukan menjadi hak mereka .
Ada hal-hal lain yang tidak diajarkan oleh pendidikan formal, seperti kemanusiaan, cara hidup dan cara bagaimana manusia berperasaan. Pendidikan formal nyatanya hanya mengajarkan orang untuk berkompetisi tanpa memperdulikan yang lain.
Hari terus berlalu kelompok literasi masih aktif menjalankan aktifitas seperti biasanya, yaitu membaca buku bersam, diskusi, dan latihan membuat anyaman.
Namun ditengah perjalanan literasi itu bukannya tanpa ada hambatan, buktinya sebagian generasi yang lain masih menganggap Marwa dan teman-temannya yang lain sebagai orang yang tertinggal dan buta terhadap segala kemajuan zaman. Kelompok ini datang dari beberapa teman yang lain yaitu Abdu, Anti, Robi dan Haryati yang juga kuliah di kota dan sekampus dengan Aryo.
“Kenapa sih mereka itu, kan kita tidak punya masalah dengan mereka”. Ujar Ayu kesal.
“Sudah-sudah jangan ambil pusing dengan mereka kita sudah berbuat hal baik, ingat selama kita berbuat baik dan benar alam pun tidak akan membiarkan kita berjalan sendiri”. Ujar Marwa menasehati.
Percakapan singkat tersebut merupakan penutup pertemuan mereka pada malam ini. Setelah selesai latihan membuat anyaman mereka pun pulang ke rumah masing-masing beristirahat untuk melanjutkan aktifitas di hari esok.(*)