Membaca Realitas

Tangisan Pertama

Asera namanya, gadis berusia lima tahun itu terlahir sebagai seorang difabel. Di tengah sawah buah tangan ayah, ia dibesarkan. Tanaman mereka begitu subur, tanpa dicampuri pupuk.

Terlahir dalam keluarga serba kecukupan, membuat Asera tak bisa bersekolah seperti anak pada umumnya. Namun itu tidak pernah dikeluhkan sama sekali. Ia begitu bahagia dengan kehidupannya.

Setiap pagi, Asera selalu membantu ibunya memetik sayuran untuk dijadaikan sarapan. Sesekali juga mengikuti ayahnya mengumpulkan kayu bakar sembari berlarian bersama kucing peliharaannya.

Jarak kebun mereka tidak begitu jauh dari perkampungan warga, namun Asera jarang mengunjungi kampung yang menjadi tempat kelahiran ayah dan ibunya itu.

Meskipun ayah sering mengajaknya untuk mengunjungi kampung sambil membeli bahan makanan buat keperluan mereka di kebun, tapi Asera jarang menerima tawaran itu.

Ia seakan tak kuasa meninggalkan rumahnya. Namun seperti biasa, Asera selalu menitip pesan kepada ayah membelikan pensil dan buku gambar ketika bepergian keluar membeli bahan makanan.

Bahkan, kebiasaan itu sudah dihafal betul oleh ayahnya. Sehingga ketika balik dari kampung, peralatan itu selalu menjadi permintaan pertama ketika sedang membuka barang bawaan sang ayah.

Asera begitu gemar melukis gunung dan rentetan pepohonan yang dilihatnya. Tak lupa juga dihiasi dengan warna kesukaannya, yakni warna hijau, sehijau perkebunan yang sedang mengelilinginya.

Kegemaran itu ia dapatkan dari ayahnya yang sering mengajarkan. Meskipun hanya ditemani sebuah pelita kecil, tapi Asera tidak bosan-bosan melakukan aktivitas itu setiap malam tiba.

Asera begitu dekat dengan ayahnya. Bahkan mereka selalu duduk berdua di bangku panjang depan rumah, usai melakukan aktivitas menggambar. Banyak hal yang mereka bicarakan.

Perbincangan mereka itu terkadang hingga sampai larut malam. Bahkan Asera sering tertidur di dalam pangkuan sang ayah. Kenyamanan itu jarang sekali ditemukan oleh anak-anak lainnya.

Asera adalah anak yang paling dimanjakan oleh ayahnya, mungkin ia merupakan putri satu-satunya dari keluarga petani itu, sehingga tidak pernah dibuat sedih, apalagi sampai menangis.

Hingga suatu saat, ketika ayahnya sedang keluar membeli mata cangkul di kampung, karena alat cangkul yang lama sudah tidak bisa dipakai lagi. Tentu tidak lupa membeli pesanan Asera. Di situ, lelaki itu tiba-tiba mengeluarkan batuk darah.

Bercak merah itu begitu kental dan sangat anyer. Saat itu pula kebetulan ada seorang lelaki yang merupakan saudara dari ibu Asera melihat hal tersebut, sehingga ia sempat menawarkan agar sebaiknya menginap semalam di kampung.

Namun lelaki polos itu enggan menerima tawaran tersebut. Sebab ada sang buah hati yang sedang menunggu kepulangannya di rumah. Karena saat itu juga sudah hampir pukul 17:00 WIT.

Kepulangan sang ayah, tentu sangat dinantikan oleh Asera, karena ia begitu hafal kalau ayahnya akan tiba di kebun sore hari jika balik dari kampung. Ia kemudian duduk di depan pintu sembari menunggu.

Sementar hari sudah begitu sore, sebentar lagi malam akan tiba. Asera sedari tadi masih menunggu ayahnya. Bahkan sudah hampir sejam lebih, tapi ayahnya belum juga kembali dari kampung.

Merasa penasaran, ia lantas menanyakan kepada ibunya, namun jawaban yang didapatkan tidak mampu menutupi rasa cemas yang selalu timbul di dalam pikirannya.

Namun dalam benak Asera, ia begitu ketakutan, sebab kebiasaan ini belum pernah ia alami. Rasa takut itu terus menghantuinya. Bahkan semakin lama semakin menjadi-jadi.

Akhirnya, Asera memutuskan untuk pergi menunggu ayahnya di depan pagar kebun. Betapa kagetnya, dari jarak 10 meter Asera melihat sosok tak dikenal terbaring di atas akar pohon samping kebun mereka itu.

Dalam hati Asera mulai bartanya-tanya, siapakah sosok itu. Berkali-kali ia memanggil orang itu, akan tetapi tidak ada balasan. Karena takut, Asera kembali dan memanggil ibunya.

Dari kejauhan, ia berkali-kali meneriaki ibunya tapi tidak juga ada jawaban. Sialnya, saat itu entah ibunya pergi ke mana. Kepanikan terus menghantui gadis kecil itu.

Merasa tidak ada pilihan lain, Asera lalu kembali dan melihat sosok tersebut. Namun masih juga belum bergerak. Dengan tenang, ia mulai mengumpulkan keberanian mendekati orang itu.

Ketika berjalan semakin dekat, Asera mulai mengenali baju berwarna abu-abu itu. Baju itu seperti yang dikenakan ayahnya sejak pagi tadi saat keluar ke kampung. Namun dalam hati tidak mungkin ayahnya.

Saat berjalan mengitari melihat wajah orang itu, Asera langsung syok. Pasalnya orang yang tergeletak itu merupakan ayah kandungnya yang sangat ia sayangi.

Dengan penuh kesedihan, Asera lalu duduk sembari merangkul ayahnya dan menangis sekeras mungkin. Ini merupakan tangisan pertama Asera selama ia hidup.

Sementara, di mulut ayahnya terus mengeluarkan darah yang sangat kental. Asera begitu takut sehingga emosinya tidak lagi terkontrol. Ia begitu larut dalam kesedihan. Tangisan mulai menggema di hutan itu.

Rupanya, ayahnya sudah meninggal dari sejam yang lalu. Itu dibuktikan saat Asera mulai memeluk sosok yang dicintai itu dan melihat bahwa ayahnya sudah tidak lagi bernafas dan wajahnya begitu pucat.

Kesedihannya tidak lagi terbendung. Sebab sosok yang dicintai telah pergi meninggalakan ia selama-lamanya. Itu yang membuat Asera tak berhenti mengeluarkan air mata.

“Ayaaahhh banguuunn!!
Sera tidak mau kehilangan ayah. Jangan pergi ayahhh. Ayah kan sudah berjanji mau menyekolahkan Sera. Ayaaaaaahhhh.” Teriak Asera.