Membaca Realitas
728×90 Ads

Teka–Teki Politik Kita

“Jangan terlalu mempercayai teman, tetapi pelajarilah cara memanfaatkan musuh”

Sekilas, kalimat tersebut selalu menari-nari di kepala saya, apabila pembahasan berputar pada topic politik. Kalimat tersebut saya kutip dari bukunya Robert Grenee, The 48 laws of Power,  yang jika di Indonesiakan, berarti 48 hukum kekuasaan.

Dalam buku tersebut, Robert ingin menjelaskan kepada kita semua. Bahwa untuk mencapai sebuah panggung kekuasan, kita harus pandai-pandai dalam menentukan langkah dan mengambil posisi yang tepat dan benar. Karena mungkin saja, orang yang kita percayai sebagai teman baik, bisa saja menjadi musuh paling berbahaya, dan musuh paling berbahaya juga bisa menjadi teman yang paling setia. Semua itu bisa terjadi jika sudah berkaitan dengan kepentingan dan kekuasaan.

Menurut saya, belakangan ini kondisi politik kita sama persis seperti apa yang disampaikan oleh Robbert Grene. Para elit politik di negara ini, sedang gencar-gencarnya mencari panggung dan jaringan untuk mendapatkan kursi kuasa pada Pemilu 2024 nanti.

Fenomena ini, dapat dijelaskan dengan baik oleh Ikrar Nusa Bakti, Tenaga Profesional Bidang Politik Lemhanas  RI dalam opininya yang bertajuk “Akrobatik Politik” yang terbit pada Kompas (25/08/2023). Dalam tulisan tersebut, ia menjelaskan tentang sikap dari Zulkifli Hasan (Zulhas), Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) dan Airlangga Hartanto, Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar).

Zulhas dan Airlangga Hartanto awalnya mejalin hubungan baik dengan pihak Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), terutama Megawati Soekarno Putri dan Puan Maharani. Bahkan pada Juni lalu, Zulhas pernah bertemu dengan Megawati dan mengatakan bahwa PAN akan berlabuh dengan PDI-P apabila Ganjar Pranowo mengambil Ketua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sekaligus Ketua Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Erick Thohir sebagai calon wakil presiden (Cawapres).

Namun, pada Minggu (13/08/2023) kedua tokoh politik ini memilih mendeklarasikan diri untuk bergabung dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang telah diganti namanya menjadi Koalisi Indonesia Maju (KIM), bersama dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), untuk mendeklarasikan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto sebagai calon presiden 2024.

Alasan Airlangga bergabung dengan Prabowo, karena pada masa Orde Baru Prabowo juga bagian dari Golkar. Bagi PAN, karena mereka tidak bergabung dengan PDI-P pada Pemilu 2014 dan 2019 sehingga pada 2024 PAN mengambil jalan yang sama. Namun, apakah betul itu menjadi alasan yang utama?, ataukah karena politik dagang sapi yang tidak disetujui oleh PDI-P, entahlah.

Selain Fenomena di atas, ada juga peristiwa yang mengguncang jagat politik pekan ini. Peristiwa tersebut adalah keluarnya Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar dari KIM di kubu Prabowo dan bergabung dengan kubu Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) bersama Partai Nasional Demokrat (NasDem) yang mengusung Anis Rasyid Baswedan sebagai bacapres dan Cak Imin yang baru bergabung sebagai cawapres.

Perkawinan politik antara Anis dan Cak Imin yang dideklarasikan Ketua Umum NasDem, Surya Paloh, pada Minggu (02/09/2023), menyebabkan perubahan pada koalisi Anis. Partai Demokrat yang awalnya tergabung dalam KPP, kini menyatakan diri untuk keluar dari koalisi tersebut. Mereka menganggap NasDem berkhianat karena mengambil keputusan sepihak tanpa adanya koordinasi terlebih dahulu dengan koalisi yang sudah dibangun secara bersama. Namun, saya masih sedikit binggung. Apakah keluarnya Demokrat karena keputusan sepihak dari NasDem. Ataukah karena Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tidak menjadi cawapres Anis dan menyebabkan Demokrat hengkang dari koalisi, ataukah ada alasan lain?

Keluarnya Demokrat dari KPP juga mendapat respon dari pengurus di daerah. Salah satunya adalah sikap yang diambil oleh M. Rahmi Husen, Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Demokrat Maluku Utara, ia memerintahkan kadernya di daerah untuk mencopot baliho yang mendukung Anis di tempat-tempat yang sudah terpasang, sebagai langkah kekecewaan kepada pihak Anis, bahkan Anis dianggap sebagai pengkhianat koalisi (Detiksulsel,01/09/2023).

Penyebab Teka-Teki

Jika ditelisik pengertian politik lebih jauh lagi, maka penjabarannya akan sangat beragam dari berbagai ahli. Bahkan, para filsuf tak lupa mengambil bagian dalam penafsiran tersebut. Namun, yang menarik perhatian saya adalah apa yang disampaikan oleh Mark Twain, seorang novelis Amerika yang mengatakan bahwa, “Setiap orang tahu politik, tetapi tidak seorangpun memahaminya, sama dengan setiap orang berbicara tentang cuaca, tetapi tak seorangpun bisa berbuat terhadapnya”.

Melihat pandangan dari Mark ini, membuat kita seakan-akan terpukul oleh realitas politik yang terjadi saat ini. Kita seolah-olah paling memahami politik, namun sebenarnya tidak. Bahkan, tak sedikit dari kita yang tidak membayangkan bahwa Anis dan Cak Imin bisa bersatu. Hal ini karena mereka memiliki latar belakang organisasi yang berbeda-beda. Anis besar di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sedangkan Cak Imin terkenal di kalangan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), yang mana kedua organisasi ini suka runtuk saling berdampingan. Namun itu hanya prediksi saya, belum ada penelitian terkait itu. Tetapi jika kita merujuk pada pandangan Grenee yang saya sebut pada awal tulisan, maka tak ada lawan dan teman yang abadi dalam memperebutkan kekuasaan.

Bahkan, ke depannya bisa saja ada kejutan-kejutan baru dari elit politik kita. baik itu dari kubu Anis, Prabowo, maupun Ganjar Pranowo. Karena sederetan teka-teki yang terjadi, hanyalah cara-cara para elit untuk merebut pucuk kekuasan negara. Hakikatnya, kekuasaanlah yang menjadi alasan utama serangkaian akrobatik politik yang kita lihat secara bersama. Namun, yang menjadi harapan saya bahkan harapan kita bersama, semoga kontestasi politik 2024 berjalan secara sehat dan berlandaskan pada gagasan-gagasan pembangunan pada setiap paslon. Bukan hanya mempertontonkan pencitraan semata tanpa ada pembuktian secara pasti dalam masyarakat.***

 

728×90 Ads