Membaca Realitas

Mengapa Wato Wato Tidak Boleh Ditambang?

 

Oleh: Gustaf Malicang

(Pelajar di Ohio Univercity)

Dalam mitologi, gunung Wato Wato digambarkan sebagai seorang perempuan, begitu akrab tuturan ini di telinga orang Buli, atau orang manapun yang bermukim di Buli.

Saat Belanda memobilisasi pasukan bentukannya memburu Sangaji Maba dan rakyatnya, wilayah Buli dan sepanjang kaki gunung Wato Wato dihuni orang Maba dan Sangaji Maba.

Mengapa Wato Wato tak boleh dirusak?

Orang Buli yang sebelumnya bermukim di sekitar wilayah Mabulan (daerah Labi Labi, Wasiley) diminta Sangaji Maba untuk mengamankan wilayahnya atas serangan tentara bentukan Belanda.

Sangaji Maba dan orang Maba berpindah ke Maba ( kini Kecamatan Kota Maba) supaya keselamatan Sangaji Maba dapat dijamin bagi keberlanjutan perlawanan atas kolonialisme Belanda sebagaimana titah Sultan Nuku.

Beberapa tempat adalah penanda sejarah paling kuat yang hingga kini masih terus dituturkan.

Tanjung Kapala ialah satu lekukan gunung di pesisir Tanjung Buli yang menyimpan ratusan kepala manusia hasil ditepasan pedang Kapita Buli dan pasukannya, ketika pasukan bentukan Belanda itu hendak menyerbu kesangsian Maba di wilayah Buli kala itu.

Hingga Indonesia merdeka, orang Buli lalu menjemput sebagian orang Maba melalui satu prosesi adat yang sangat sakral, agar kembali bersama-sama hidup di Buli. Beberapa orang Maba ditetapkan sebagai kepala kampung, sebagian lagi (Maba-Gotowasi) diangkat sebagai imam bagi orang Buli yang telah memeluk agama Islam.

Demikian sehingga wilayah Buli lalu diberi tanggungjawab oleh Sangaji Maba untuk dihuni, dijaga, dan dilindungi oleh suku Buli sebagai pasukan perang paling berjasa yang selalu setia melindungi Sangaji dan kesangsian Maba.

Sepanjang kaki gunung Wato Wato ialah ruang hidup dengan jejak sejarah yang panjang, menjadi pusat solidaritas dua suku di Halmahera Timur, Maba dan Buli.

Apa bukti kuatnya solidaritas kedua suku ini?

Ketika keduanya dengan ikatan sejarah dan kultural itu mampu menjaga Buli dan Kecamatan Maba dari peristiwa pertikaian SARA di tahun 1998, yang karena itu, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Sosial menetapkan Kecamatan Maba sebagai kampung moderasi.

Segala jejak historis ini tentu tidak dimengerti oleh pemerintah provinsi, dan Pemerintah Pusat di Jakarta, sehingga dengan gampangnya pemerintah menjual gunung Wato Wato kepada perusahaan tambang PT Priven Lestari untuk dirusak.

Bagi orang Buli dan yang bermukim di Buli, merusak Wato Wato tak hanya merusak sumber air bersih, perkebubunan, dan pemukiman, tetapi juga sekaligus menghina kehormatan dan keselamatan dua suku penting di Halmahera Timur itu, yakni Buli dan Maba.

Tidak ada perintah lain dari kedua suku ini, kepada pemerintah provinsi dan Pemerintah Pusat, selain segera mencabut izin lingkungan dan kuasa pertambangan PT Priven Lestari agar keselamatan dan kehormatan suku Buli dan Maba, juga semua suku yang bermukim di bawah gunung Wato Wato dapat terus terjaga dan terpelihara.***