Membaca Realitas
728×90 Ads

Harapan dan Luka

Tak seorangpun dari kita maupun komunitas manusia bukan tak menginginkan suatu kehidupan mencerahkan di masa depan. Atau apa yang disebut sebagai harapan tentang masa depan. Bagi evolusionis alas harapan akan pencerahan masyarakat manusia didasarkan melalui proses bertahap hingga puncak tertinggi: pemajuan. Asumsi dasarnya poros kehidupan ditentukan oleh hukum perkembangan manusia yaitu hukum adaptif.

Suatu hukum yang oleh penganutnya dibenarkan dapat memprediksi masa depan dan nyaris dianut seantero negara dunia. Landasan harapan positif yang bila diuji secara faktual sebenarnya justru memprediksi benang kusut, masa depan berbalut kabut. Sebab dalam tahapan perkembangan kerap memicu pergolakan, segmentasi, konflik dan bahkan—harapan pemajuan tertinggi justru dibalut pemunduran signifikan.

Di sana disiplin sosiologi dan antropologi dalam dimensi historis memiliki andil cukup besar—baik secara konsepsi maupun realitas rasionalitas jadi lahan perkembangan aturan-aturan biadab kolonialisme politik. Parahnya lagi, tempat menggantung harapan nyaris tidak ada, sumber daya kultural, sosial, ekonomi dan politik dalam keadaan mandek disumbat oleh daulat birokrasi, hukum positif atau status guo (Habermas, 2006).

Sagea Dalam Senjakala Perusahan Tambang

Eksistensi pertambangan di bumi fagogoru, Halmahera Tengah menghadirkan besarnya harapan memperoleh hak pembangunan berkeadilan, perbaikan kondisi hidup, kemakmuran serta kemajuan signifikan bagi kehidupan komunitas masyarakat tempatan. Kemajuan adalah harapan yang hakiki tatkala perusahan tambang beroperasi di daratan Halmahera Tengah.

Harapan komunitas masyarakat di bumi fagogoru seirang waktu, perlahan-lahan lunak, mandul, sirna, dibikin luluh lantak oleh system konspirasi: system negara dan kapital. Masri Anwar (2022:28) dalam bukunya: “Petani dan Keinginan Merebut Kembali Tanahnya” menjelaskan, kehilangan tanah perkebunan penduduk disebabkan penguasaan hak kepemilikan oleh perusahan tambang (PT. Weda Bay Nickel) sama berartinya mendekatkan masyarakat pada kemiskinan.

Kehilangan tanah perkebunan adalah kehilangan sumber penghidupan dan kesempatan kerja. Mereka yang dulunya bekerja sebagai petani, sekarang dipaksakan untuk menjadi buruh tambang dan dengan bayaran kecil (Masri Anwar, 2022). Kapitalisasi tanah pedesaan dan problem kemiskinan beberapa abad yang lalu telah dijelaskan oleh Karl Marx dalam bukunya: Kapital I yang disebut akumulasi primitif.

Harapan masa depan lebih baik justru menyisakan luka begitu menganga. Fenomena penyimpangan, ketidakadilan, eksploitasi berbalut luka pernah telah saya jelaskan dalam artikel saya bertajuk: “Kemerdekaan, Luka dan Perjuangan Orang Hiri” yang dipublikasikan di laman perspektif cermat.co.id.

Sehingga tak perlu lagi dijelaskan, dan di sini saya hanya hendak menegaskan kembali bahwa penguasaan, perampasan, penyimpangan, ketidakadilan dan kehilangan itu sangat teramat melukai. Sebab semua itu berhubungan erat dengan hak asasi dan kedaulatan komunitas masyarakat yang tak bisa diganggu gugat oleh siapapun—termasuk negara maupun kekuatan luar manapun.              

Bahkan lebih melukainya lagi adalah sebagian kawasan hutan Halmahera Tengah yang beberapa tahun terakhir telah dieksploitasi, dirusaki, dihancurkan—dan kini perusahan tambang menargetkan perusakan lebih lanjut di kawasan hutan Sagea. Fakta yang cukup mengejutkan adalah sungai Sagea mengalami perusakan ekologis cukup parah.

Informasi yang dihimpun Adlun Fiqri (Koalisi saveSagea, 2023) memperlihatkan dua bulan terakhir (14 Juli, 02 Agustus hingga 14 Agustus) sungai Sagea mengalami pencemaran akibat aktivitas pertambangan. Informasi tersebut pun menjelaskan…aktivitas pembukaan lahan oleh tambang di bagian hulu terindikasi penyebab tercemarnya sungai Sagea.

Menggunakan interpretasi satelit Mei 2023, mereka menemukan adanya bukaan lahan untuk pembuatan jalan dalam konsesi tambang PT. Halmahera Sukses Mineral dan PT. Weda Bay Nickel yang mengarah pada ke bagian hulu DAS Ake Sagea. Perusakan fungsi ekologi kawasan sungai Bokimoruru menghadirkan ancaman serius penghuni komunitas tempatan. Adalah sebagai alarm bahwa saat ini Sagea—Gua Bokimoruru berada dalam pusaran senjala perusahan tambang.

Dampak lebih jauh beroperasinya system akumulasi kapital secara ekologi adalah akan terjadi kerentanan ekonomi (kemiskinan) penduduk tempatan. Kohei Saito dalam buku Marxisme dan Ekologi (Foster, dkk 2021:126) menegaskan kapitalisme jauh lebih elastis karena sistem sosial ini kemungkinan besar akan bertahan dan terus mengakumulasi modal bahkan jika krisis ekologi semakin dalam menghancurkan seluruh planet dan menghasilkan kemiskinan… massal di seluruh dunia.

Sehingga tak ada alasan untuk tidak mengatakan bahwa kehidupan kekinian adalah sebuah skenario biadab hukum adaptif, aturan-aturan rasionalitas. Rasionalitas yang justru meluluh lantakkan fondasi dan harapan hidup komunitas masyarakat tempatan. Pada konteks ini meskipun kita memiliki keyakinan, harapan, tetapi jangan pernah ditaruh pada pundak kuasa manusia. Sebab berharap pada manusia (relasi kuasa) adalah seni terbaik untuk menaruh luka. Ali bin Abi Thalib mengatakan…semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia.

Harapan: Ideologi Perjuangan

Sekalipun pahit dan luka akan tetapi, tetaplah berharap. Althusser (2004) mengatakan berharaplah, sebab harapan yang akan menjagamu tetap hidup. Kepercayaan kepada harapan, kepada makna hidup, kepada keberhargaan semua tindakan yang dilakukan, kepada tujuan-tujuan mulia yang terbentang di depan. Penjelasan tentang hubungan antara kepercayaan akan harapan dan kenyataan: melalui pemikiran serta tindakan subyek yang disebut ideologi perjuangan.

Harapan yang saya maksud adalah lebih pada konsentrasi pematangan perkembangan subyek dan kelompok yang memiliki misi bersama yang disebut sumber daya. Tanpa pengerahan sumber daya, tindakan resistensi (ideologi perjuangan) terhadap segala bentuk ketidakadilan dan kejahatan—terutama kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh penguasa dan kapital, maka sulit mewujudkan pemajuan.

Pengerahan sumber daya untuk menciptakan apa yang disebut Amitai Etzioni sebagai masyarakat aktif. Masyarakat aktif adalah masyarakat yang mampu mengendalikan dirinya sendiri menuju perubahan yang lebih baik (societal Self control). Masyarakat aktif menurut Etzioni memiliki tiga aspek untuk melakukan perubahan.

Pertama adalah pengetahuan, penting untuk memahami problem dan mengetahui tindakan apa yang tepat dilakukan. Kedua pengambilan keputusan, karena tindakan memerlukan sebuah keputusan dari sebuah resistensi. Ketiga adalah kekuasaan untuk bertindak dan mengarah pada perubahan. Perlu dicatat bahwa, masyarakat aktif harus mampu mengetahui kemampuannya sendiri dalam melakukan perubahan, jika tidak, maka yang terjadi adalah kehancuran dalam masyarakat itu sendiri.

Pengetahuan dan pamahaman (kemampuan sendiri) yang dimiliki yakni dalam mendeteksi penyebab suatu masalah—perampasan hak, kehilangan pekerjaan serta perusakan lingkungan. Sehingga ada upaya pengerahan kekuatan resistensi terhadap ketidakadilan. Tindakan perlawanan terhadap hukum adaptif, aturan-aturan positif, rasionalitas tujuan yang cenderung melegitimasi kejahatan serta melukai kehidupan masyarakat.

Tanpa kesadaran, pengerahan kemampuan sendiri sebagai ideologi perjuangan dan resistensi—maka, yang ada, adalah kemunduran dan luka seperti kenyataan saat ini yang terjadi di Sagea: krisis ekologis dan kemiskinan. Kedua persoalan ini berakar kuat pada fakta perampasan tanah dan konsentrasi akumulasi kapital oleh perusahan tambang tanpa batas.***

 

 

728×90 Ads