Oleh: Ismunandar Marsaoly
(Warga Halmahera Timur)
Mula-mula kami berfikir bahwa Pemda memang sama sekali tidak memiliki kewenangan apa-apa setelah segala pengurusan perizinan tambang itu ditarik kembali oleh Pemerintah Pusat.
Belakangan kami mulai mengerti bahwa itu tidak sepenuhnya benar, sebab ada satu bagian yang dimiliki Pemda Halmahera Timur yang sebetulnya sangat kuat untuk melindungi gunung Wato Wato dari pengrusakan yang telah dan sedang dilakukan PT Priven Lestari.
Bagian itu adalah Perda Tata Ruang yang di dalamnya secara tegas menyatakan bahwa area gunung Wato Wato ditetapkan sebagai kawasan cadangan pemukiman, dan bukan kawasan pertambangan terbuka maupun tertutup.
Sejatinya itu adalah dasar hukum paling kuat bagi Pemda Haltim untuk mempertahankan Wato Wato dari kerusakan melalui penambangan terbuka. Hanya saja, belakang kami baru mengerti bahwa Pemda Haltim sejak tahun 2018 telah mengelurkan satu keputusan bernama rekomendasi penyesuaian tata ruang. Dimana sebagian area gunung Wato Wato yang di dalam Perda Tata Ruang itu ditetapkan sebagai cadangan pemukiman, kemudian dirubah menjadi wilayah penambangan sesuai permohonan PT Priven Lestari yang disampaikan ke Pemda Haltim.
Apa sesungguhnya alasan di balik perubahan peruntukan kawasan dari wilayah pemukiman ke area penambangan terbuka tersebut?
Yang pasti, Perda Tata Ruang Haltim adalah satu produk hukum yang sah, kuat, sakral, dan mengikat sebab ia diputuskan secara sakral pula melalui rapat paripurna yang melibatkan Pemda Haltim dan perwakilan rakyat Haltim dan tetap berlaku selama tidak ada Perda tata ruang baru yang menggantikannya.
Perda itu juga tegas menerangkan sebagaimana di dalam pasal ketentuan peralihan, bahwa segala aktivitas pada kawasan yang telah ditetapkan peruntukannya di dalam Perda hanya berlaku bagi aktifitas yang sesuai dengan peruntukan kawasan. Jika Wato Wato sebagain wilayahnya diputuskan sebagai kawasan pemukiman, maka kegiatan dan izin atas segala kegiatan hanya mengenai pembangunan pemukiman, dan hal-hal lain yang sesuai dengan peruntukannya.
Dikatakan pula bahwa kegiatan lain yang telah diizinkan dan atau telah dijalankan sebelum Perda tata tata ruang disahkan, maka ia harus diizinkan sepanjang bersesuaian dengan pola dan peruntukan ruang, dan harus ditertibkan atau dibatalkan jika tidak sesuai dengan peruntukan ruang sebagaimana di dalam Perda tersebut.
Lalu bagaimana status rekomendasi penyesuaian tata ruang yang diberikan Pemda Haltim ke PT Priven Lestari? Apalagi rekomendasi itu diberikan setelah Perda disahkan dan apalagi rekomendasi itu bertentangan dengan tata ruang yang sebagaimana telah dituliskan di muka bahwa gunung Wato Wato di Kecamatan Mababditetapkan sebagai kawasan cadangan pemukiman?
Merujuk pada beberapa pasal di dalam Perda tersebut, terutama pada pasal mengenai ketentuan peralihan, dapat disimpulkan bahwa rekomendasi penyesuaian yang dikeluarkan Pemda Haltim (Bappeda) kepada Priven yang merubah kawasan pemukiman di sebagian area gunung Wato Wato menjadi kawasan pertambangan terbuka adalah produk ilegal yang bertengan dengan Perda Tata Ruang Haltim.
Tegasnya, satu ruang yang secara tegas telah ditetapkan peruntukannya melalui perda RT RT tidak boleh dan tidak bisa dibatalkan oleh satu keputusan hukum di bawahnya (rekomendasi), sebab status RT RT itu lebih tinggi dan apalagi belum terdapat Perda RT RT baru yang disahkan.
Lebih daripada itu, apakah Pemda melalui Bappeda tidak pernah tahu bahwa sejak izin konsesi Priven itu diterbitkan, telah ada penolakan tegas dari masyarakat?
Apakah juga Pemda tidak tahu bahwa merombak seluruh fungsi ekologis Wato Wato itu sangat mengancam keselamatan orang di Kecamatan Maba?
Apakah Pemda itu tidak tahu bahwa Buli adalah kampung tua yang perlu dijaga keselamatan, kehormatan, dan identitas Sosio historisnya? Sebab jika Wato Wato dirusak, maka sejak saat itu juga segala kehormatan orang Buli akan ikut rusak seiring hadirnya segala bala ekologis dan sosial yang menyertai kerusakan Wato Wato itu?
Demikian sehingga pihak yang secara sengaja mengelurkan rekomendasi tata ruang yang karenanya memberi legitimasi pengrusakan kepada PT Priven harus bertanggung jawab secara hukum, karena kebijakannya melanggar Perda sebagai acuan hukum bagi pembangunan d Kabupaten Haltim dan wajib bertanggung jawab secara moral kepada orang di dua suku, yakni Buli-Maba yang sejak dahulu mendiamai kampung ini, yang gigih menjaga keselamatannya dari kepungan kolonialisme Belanda, konflik SARA di tahun 1998, dst.
Terakhir, agar supaya Pemda Haltim segera mencabut rekomendasi penyesuaian tata ruang tersebut, karena itu lebih baik bagi keselamatan bersama khusunya orang di Kecamatan Maba yang sepenuh kehidupannya bergantung pada layanan alam dari gunung Wato Wato.***