Membaca Realitas

Inefektivitas Gerakan Mahasiswa Hari Ini

Oleh: Fajjin Amiiq

 

​Dewasa ini, kita melihat pelbagai macam gerakan mahasiswa di perkotaan hingga ke daerah dan desa. Gerakan juga dapat diartikan sebagai aksi, begitu juga sebaliknya hal ini sejalan dengan penggunaan terhadap dua kata yang berbeda, namun sama secara pemaknaan. Seperti yang diketahui bersama gerakan sengaja nyatanya dibangun dengan kekuatan masa yang fariatif, tidak jarang kita melihat gelombang massa yang kecil hingga besar sengaja dikerahkan demi mencapai tujuan dari gerakan yang dibangun. Dalam beberapa warsa ke belakang kita menyaksikan ada afair besar yang terjadi di Provinsi Maluku Utara. Dalam tulisan singkat ini saya akan coba mengajak kita semua kembali melihat berbagai aspek yang mempengaruhi gerakan mahasiswa, sehingga tidak lagi efektif dan progresif saat ini.

​Seperti yang kita ketahui bersama, gerakan mahasiswa ialah aktivitas intra dan extra yang terjadi di lingkup mahasiswa akibat dari wujud responsive atas problema yang terjadi dini hari, dengan kata lain gerakan mahasiswa merupakan wujud ketidaksesuaian harapan mahasiswa sebagai agent of control terhadap kondisi social yang terjadi, ketidak puassan ini acapkali di representasikan lewat gerakan-gerakan yang di bangun. Kelanjutannya gerakan mahsiswan bukan lagi tarafnya berbicara mengenai konseptual teoritis, akan tetapi sudah merangkap masuk dalam wujud yang berbeda, wujud responsive, wujud tindakan, wujud dari tanggapan atas semua isu atau problem yang terjadi di tengah-tengah masyarakat luas atau bahkan dalam tubuh mahasiswa itu sendiri.

Namun apakah gerakan hari ini akan tetap sama dampaknya dengan gerakan-gerakan di negara yang telah melahirkan perubahan? Akankah sama saat Indonesia dalam posisi revolusi 1998? Akankah sama efektifnya gerakan hari ini dengan gerakan Kopra oleh mahasiswa Maluku Utara kemarin? Mari kita lihat apa saja yang mempengaruhi keefektivan dan masifnya gerakan-gerakan itu.

​1998, mahasiwa disibukkan dengan berbagai macam masalah yang terjadi di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari masalah sosial, ekonomi, korupsi di mana-mana, disinyalir menjadi akar dari semrautnya kepemimpinan yang dibawahi Soeharto. Ketidakpuasan mahasiswa sebagai agen of control menjadikan gerakan saat itu tanpa dipicu sudah menjadi isu yang berkembang di kalangan mahasiswa se-Indonesia, universitas dan berbagai organisasi external memiliki kesepahaman, tak ada bedanya, mahasiswa dihadapkan dengan pilihan, bergerak dan lahirkan perubahan tapi berisiko, atau diam dan biarkan semua tetap merdeka di bawah ketidakbebasan yang represif.

Dari banyaknya problem yang terjadi dalam dekadensi Suharto, mahasiswa dari berbagai elemen sepakat untuk meniadakan egoitas-egoitas latar belakang (ego organisasi atau kelompok komunitas), melebur membumi bersama masyarakat, mencoba melakukan perlawanan atas asas keresahan yang sama. Tanpa disadari kesatuan yang solid ini menghantarkan mahasiswa saat itu menuju pada keberanian sejati, menuju pada hasrat kebebasan yang ideal. Tanpa memaksa, tanpa dipaksa, setiap mahasiswa menjadi aktivis atas nama dirinya sendiri. Inilah menjadikan gerakan saat itu begitu besar, begitu berpengaruh, dianggap menghasilkan sesuatu, revorma telah disimpulkan mencapai paripurnanya.

​Jika kita tarik proses gerakan semacam ini di Provinsi Maluku Utara, maka sebagian dari kita akan mendapati pergerakan yang dibangun oleh mahsiswa di tanggal 19 November 2018 sebagai tolak ukur di hari ini. Bukan tanpa alasan, pasalnya aksi inilah yang terhitung efektif dan dekat dengan dewasa ini. Hal ini juga memudahkan kita menentukan apa yang menjadi faktor kemunduran gerakan mahasiswa di hari ini. Kemasifan gerakan yang di juluki “Aksi Kopra” itu tidak terlepas dari faktor-faktor yang sangat mendasar dalam gerakan-gerakan yang dibangun.

Jika kita melihat gerakan kopra yang dibangun di Provinsi Maluku Utara saat itu nyatanya kita akan menjumpai satu indikator penting yang menjadi alasan dari masifnya gerakan yang melibatkan ribuan massa aksi, faktor pertama yang menjadi penentu dari kemasifan gerakan yang terjadi di hari Senin itu adalah “kesadaran”, kesadaran menjadi solid foundation dari kemajuan dan masifnya gerakan yang dibangun dalam kurung waktu nyaris kurang dari 2 minggu itu. Hal ini menjadi main determining faktor dari kokohnya formasi yang dibangun, jika kesadaran menjadi salah satu faktor penentu dari keberhasilan gerakan aksi kopra, maka di hari ini kesadaran menajdi salah satu sumber daya yang sangat perlu dihadirkan kembali di tengah-tengah kegersangan dalam tubuh kemahasiswaan itu sendiri.

​Pada faktanya hari ini kita diperhadapkan langsung dengan kemeroosotan nilai-nilai kemahasiswaan, inilah yang seharunya menjadi titik utama fokus aksi sesungguhnya, jika dalam indikator dari keberhasilannya aksi dan gerakan yang dibangun pada 1998 dan 2018 yang secara subyektif disukseskan oleh kesadaran yang berdiri di tiap-tiap jiwa manusia yang berhamasiswa, maka hari ini kita akan melihat kesadaran itu sebagai hal tak benda yang wajib dipertanyakan eksistensinya. Jika kesadaran dianggap sebagai suatu yang tidak diperlukan lagi pada hari ini, ditambah lagi dengan mekanisme pembelajaran yang diteraapkan kampus yang hari ini tidak menjadikan mahasiswa sebagai pelaksana yang berasaskan kesadaran, ini nantinya akan menghantarkan mahasiswa dalam lelapnya gerakan-gerakan di tubuh kemahasiswaan.***

 

728×90 Ads
%d blogger menyukai ini: