Oleh : Arsad Suni, S.Kep,Ns., M.Kep
_______
A. Pendahuluan
Korupsi dalam Perspektif Keluarga mencerminkan pemahaman mendalam terhadap kompleksitas dan multifaktor yang terlibat dalam membentuk pandangan dan perilaku koruptif dalam konteks keluarga. Berbagaipenelitian tentang korupsi telah dilakukan, namun fokusnya lebih sering ditujukan kepada aspek masyarakat dan institusi, maka sangat penting untuk memperluas pemahaman kita terhadap aspek keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat.
Keluarga merupakan agen utama dan memiliki peran krusial dalam melakukan sosialisasi untuk membentuk karakter, nilai, dan sikap individu anti koruptif. Dengan demikian, maka upaya untuk memahami bagaimana lingkungan keluarga dapat mempengaruhi persepsi dan perilaku koruptif menjadi suatu hal yang mendalam dan relevan.
Secara internal, lingkungan keluarga dapat menjadi tempat dimana nilai-nilai moral dan etika ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jika keluarga tidak memberikan penekanan yang memadai pada nilai-nilai seperti kejujuran, integritas, dan tanggung jawab, maka individu yang berasal dari keluarga tersebut mungkin memiliki pandangan yang lebih longgar terhadap perilaku bahkan tindakan koruptif.
Tidak kalah penting perannya adalah pendidikan moral dan nilai-nilai anti korupsi diterapkan dalam keluarga. Jika nilai-nilai tersebut tidak diterapkan atau diterjemahkan dengan benar dalam kehidupan sehari-hari, individu atau sesoarang akan mengalami kesulitan dalam memahami dampak negatif dari perilaku dan tindakan korupsi pada tingkat pribadi dan sosialnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka penting untuk mempertimbangkan pengaruh langsung dari orang tua dan figur otoritas dalam keluarga terhadap pembentukkan karakter baik anggota keluaranya, terutama anak-anaknya.
Jika orang tua memiliki peran penting dalam keterlibatan perilaku dan tindakan koruptif, maka dapat dipastikan dampak negatifnya beruka kerusakan struktur moral dan tata nilai dalam keluarga, bahkan orang tua sulit dipercaya oleh anggotakeluarganya untuk menjadi panutan atau tauladan dalam kehidupan berumah tangga.
B. Defenisi dan Penyebab Korupsi
Berbagai defenisi korupsi telah tersebar oleh beragam media, diantaranya “Korupsi” didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, yang mencakup perbuatan tidak jujur, tidak etis, atau ilegal, di mana pejabat pemerintah atau individu yang memiliki kekuasaan,menyalahgunakan kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri atau korporasi dengan merugikan masyarakat atau organisasi yang mereka layani.
Praktik korupsi yang demikian dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk suap, nepotisme, penyuapan, pencucian uang, penggelapan dana publik, dan praktik-praktik lain yang bertentangan dengan keadilan, integritas, dan moralitas.
Hal ini dapat merusak kepercayaan masyarakat pada institusi pemerintah, menghambat pembangunan ekonomi dan sosial, serta menghalangi proses demokratisasi dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Korupsi secara lebih luas tidak hanya terbatas pada ranah keuangan atau politik, tetapi juga dapat terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam lingkup keluarga, bail dalam bentuk bisnis, pendidikan, maupun sektor lainnya yan dilakukan dengan perilaku tidak jujur, tidak disiplin, tidak adil, tidak bertanggun jawab, tidak berani melapor atau suka kompromi, suka boros dan bermewah-mewahan, serta tidak mandiri atau hidup selalu bergantung pada orang lain yang merusak integritas dan nilai-nilai moralnya.
Korupsi adalah fenomena kompleks yang melibatkan berbagai faktor yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Salah satu faktor utama yang menyebabkan korupsi adalah kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam institusi atau organisasi. Ketika institusi tidak transparan dan tidak memiliki mekanisme akuntabilitas yang memadai, peluang untuk praktik koruptif meningkat secara signifikan.
Kurangnya pengawasan dan pertanggungjawaban memungkinkan individu atau kelompok untuk menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu tanpa takut akan konsekuensi hukum atau sosial yang adil.
Selain itu, tekanan ekonomi dan finansial juga merupakan faktor penting dalam mendorong korupsi. Ketika individu atau kelompok menghadapi kesulitan finansial atau tidak memiliki akses yang memadai terhadap sumber daya ekonomi, mereka cenderung mencari jalan pintas untuk memperoleh keuntungan secara tidak jujur.
Hal ini dapat mencakup menerima atau memberikan suap, memanipulasi dana publik, atau terlibat dalam praktik koruptif lainnya untuk memperoleh keuntungan ekonomi.
Kurangnya etika dan integritas dalam masyarakat atau organisasi juga memfasilitasi penyebaran korupsi. Ketika norma-norma moral dan etika tidak ditegakkan atau dihargai, individu cenderung untuk bertindak sesuai dengan kepentingan pribadi tanpa memperhatikan konsekuensi sosial atau moral dari tindakan mereka. Hal ini memungkinkan budaya korupsi untuk berkembang dan memperkuat dirinya sendiri dalam struktur sosial.
Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi juga merupakan faktor yang penting dalam memfasilitasi tindakan korupsi. Ketika sebagian kecil masyarakat memiliki akses yang tidak proporsional terhadap kekuasaan dan sumber daya, hal itu dapat menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk terjadinya korupsi. Ketidaksetaraan ini menciptakan ketegangan dan ketidakpuasan dalam masyarakat, yang pada gilirannya dapat memperkuat praktik korupsi sebagai cara untuk menyelesaikan ketidakadilan sosial dan ekonomi.
C. Korupsi Dalam Perpektif Keluarga
Korupsi dalam perspektif keluarga adalah tindakan tidak jujur, manipulatif, atau penyalahgunaan kepercayaan yang terjadi di dalam lingkup keluarga. Ini melibatkan praktik-praktik yang merugikan kepentingan keluarga secara keseluruhan demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Korupsi dalam keluarga dapat mencakup berbagai perilaku, seperti penyalahgunaan keuangan, ketidaksetiaan, atau tindakan lain yang merusak integritas dan kesejahteraan keluarga.
Sebagai contoh korupsi dalam keluarga adalahi ketika salah seorang anggota keluarga secara sistematis menggunakan kekuasaannya untuk memanipulasi situasi demi keuntungan pribadi, tanpa memperhatikan dampak negatifnya bagi keluarga secara keseluruhan, yaitu dapat berupa penyalahgunaan keuangan, penipuan, atau pemerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga tertentu untuk mendapatkan keuntungan pribadi, tanpa memperhitungkan dampaknya pada stabilitas dan keharmonisan keluarga.
Berikut adalah beberapa faktor yan dapat sebagai pemicu korupsi dalam konteks keluarga meliputi: (1) Ketidakseimbangan kekuasaan antara anggota keluarga dapat menjadi pemicu utama korupsi, seperti sifat otoritas dari salah satu anggota keluarga yang dominan dapat memanfaatkan kekuasaannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau untuk mengendalikan sumber daya keluarga; (2) Komunikasi yang Buruk, yaitu ketidakmampuan untuk berbicara terbuka tentang masalah keuangan atau secara emosional dapat menyebabkan ketidakpercayaan dan konflik, yang pada gilirannya dapat memicu praktik-praktik korupsi; (3) Kurangnya Nilai-nilai Moral, dimana keluarga yang tidak memiliki fondasi nilai-nilai moral yang kuat cenderung rentan terhadap korupsi. Kurangnya penanaman nilai-nilai seperti integritas, kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan dapat membuat anggota keluarga lebih mungkin untuk terlibat dalam tindakan tidak etis atau manipulatif; (4) Tekanan Ekonomi dan Sosial, yakni anggota keluarga merasa terdorong untuk mencari cara-cara tidak jujur untuk mengatasi kesulitan keuangan atau ketidakstabilan sosial, seperti mencuri uang atau barang keluarga, atau melakukan tindakan-tindakan manipulatif lainnya; (5) Kurangnya pendidikan dan kesadaran, dimana kurangnya pemahaman tentang akibat buruk korupsi dan kesadaran akan nilai-nilai etika dapat membuat anggota keluarga tidak menyadari konsekuensi tindakan koruptif; (6) Pola asuh yang tidak tepat; yaitu pola pengasuhan yang tidak mendukung perkembagan moral dan etika dapat memperkuat perilaku koruptif, seperti pengasuhan yang otoriter atau kurang perhatian terhadap pembentukan karakter anak dan keluarga; dan (7) Kurangnya Pengawasan dan Pertanggungjawaban dalam hal pengelolaan keuangan dan keputusan keluarga dapat memberikan kesempatan bagi anggota keluarga yang tidak jujur untuk melakukan tindakan korupsi tanpa takut akan konsekuensinya.
D. Gerakan Anti Kotupsi di Lingkungan Keluarga
Berbagai cara dan startegi mungkin saja dapat dilakukan sebagai upaya Gerakan Anti Korupsi di Lingkungan Keluarga, namun pada kesempatan ini penulis cukup membatasi dua aspek yang menjadi fokus pembahasan ini, yaitu: (1) Menanamkan Nilai Kejujuran dalam kehidupan dan (2) Penerapan nilai-nilai religius di lingkungan Keluaarga.
Jujur dapat diartikan sebagai lurus hati, tidak bohong, dan tidak curang. Jujur adalah salah satu sifat yang sangat penting bagi kehidupan keluarga, tanpa sifat jujur dalam keluarga diantara suami, istri, anak dan orang tua, tidak akan dipercaya dalam kehidupan sosialnya.
Nilai kejujuran dalam keluarga yang diwarnai dengan rasa kebersamaan dan rasa memiliki satu sama lain sangatlah diperlukan.
Sedangkan penerapan nilai-nilai religius di lingkungan keluarga merupakan salah satu peran utama keluarga dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Gerakan ini harus dimulai dari ayah selaku kepala rumah tangga dengan cara meningkatkan Iman dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar tidak terjerumus dan berniat untuk melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma-norma agama maupun nilai sosialnya.
Keluarga dapat memberikan pendidikan anti korupsi dan mendorong sikap anti korupsi diantara anak-anak.Pendidikan yang diterima dalam keluarga akan digunakan sebagai dasar untuk mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Keluarga juga dapat memainkan peran penting dalam pemberantasan dan penanggulangan korupsi dengan memberikan pemahaman yang benar tentang korupsi kepada masyarakat, khusunya masyarakat awam. Keluarga dapat membantu membangun karakter anak-anak agar terwujud masyarakat dan bangsa yang berakhlak mulia dan berintegritas tinggi.
Untuk menguatkan peran keluarga dalam pemberantasan korupsi, diperlukan regulasi tentang Ketahanan Keluarga sebagai ikhtiar melindungi dan membentuk generasi yang unggul, tangguh dan anti korupsi. Keluarga juga dapat mengoptimalkan fungsi mereka dalam penerapan nilai-nilai anti korupsi dengan memberikan pendidikan karakter yang mengajarkan nilai tanggung jawab dan kejujuran.
E. Kesimpualan
Dengan menciptakan lingkungan di mana nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan didorong, keluarga dapat membantu mencegah munculnya perilaku koruptif di antara anggotanya.mendukung pendidikan yang mendorong nilai-nilai moral dan etika juga penting dalam pencegahan korupsi dalam perspektif keluarga.
Memilih sekolah yang menekankan pentingnya integritas dan kejujuran dapat memperkuat pesan yang diterima anak-anak di rumah tentang pentingnya nilai-nilai ini dalam kehidupan mereka. Terakhir, penting untuk diingat bahwa pencegahan korupsi tidak hanya tanggung jawab keluarga individual, tetapi juga tanggung jawab kolektif dalam masyarakat.
Oleh karena itu, keluarga juga dapat terlibat dalam kegiatan komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan korupsi dan mendorong perilaku yang berintegritas di masyarakat secara lebih luas. (*)