Membaca Realitas

Eksepsi Muhaimin Syarif Ditolak, LBH Limau Tidore Soroti Tanggapan JPU KPK

Kalesang – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Limau Tidore menyoroti pendapat serta tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap eksepsi atau keberatan terdakwa Muhaimin Syarif dalam kasus suap eks Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba, sebesar Rp4.477.200,000.

Sebelumnya, JPU KPK menolak eksepsi Muhaimin Syarif pada Jumat 18 Oktober 2024 itu lantaran penasehat hukum terdakwa terlalu prematur dalam menyimpulkan suatu peristiwa tanpa memberikan kesempatan kepada JPU untuk membuktikan dakwaan kepada terdakwa. Padahal, Pasal 156 Ayat 1 KUHAP tentang keberatan eksepsi tersebut jelas telah masuk dalam pemeriksaan pokok perkara.

Direktur LBH Limau Tidore, M. Sanusi Taran mengatakan, setelah mencermati eksepsi penasehat hukum terdakwa pada 16 Oktober 2024 dan tanggapan jaksa atas eksepsi pada 18 Oktober 2024 dalam sidang dengan nomor 24/Pid.Sus-TPK/2023/PN.Tte itu menarik untuk dikaji berdasarkan pasal 156 ayat 1 KUHAP.

Menurut Sanusi, penasehat hukum terdakwa  dalam eksepsinya menggunakan empat argumentasi. Salah satu alasannya cukup menarik dan hendaknya menjadi perhatian majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar dapat dipertimbangkan, karena dakwaan penuntut umum dinilai tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap (obscuur libel).

Kata dia, hal itu karena surat dakwaan penuntut umum tidak didasarkan pada hasil penyidikan, penuntut umum tidak cermat menguraikan surat dakwaan karena mengabaikan prinsip penyertaan mutlak perlu (noodzakelijke deelneming) pada delik suap atau delik suap berpasangan, dakwaan tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap dalam menguraikan waktu dan tempat.

Kemudian, penuntut umum tidak menguraikan unsur-unsur dari Pasal 64 ayat (1) KUHP yang dipadukan dengan uraian perbuatan materiil dan uraian dakwaan penuntut umum saling bertentangan. Adapun tanggapan JPU KPK pada pokoknya adalah, eksepsi tersebut timbul bukan hanya disebabkan perbedaan sudut pandang antara penuntut umum dan penasehat hukum namun karena ketidakcermatan penasihat hukum terdakwa dalam memahami maksud dari ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP tentang maksud surat dakwaan, cermat dan lengkap.

“Bahwa yang dimaksud surat dakwaan secara tidak cermat, jelas dan lengkap dalam mengenai tindak pidana yang didakwakan memang tidak dijelaskan secara detail di KUHAP, namun demikian menurut pendapat ahli, M. Yahya Harahap menjelaskan cara terdakwa melakukan tindak pidana cukup disebutkan garis besarnya saja, asal dari uraian itu terang dan jelas mengungkapkan bagaimana cara tindak pidana dilakukan.” Ucapnya.

Hal ini, lanjut Sanusi, diperkuat dengan yurisprudensi MARI tanggal 23 Agustus 1969 No. 36K/kr/1968 yang menyatakan walaupun surat tuduhan tidak menyebutkan fakta dan keadaan yang menyertai perbuatan dituduhkan secara tidak lengkap tergambar, tidak dengan sendirinya mengakibatkan batalnya putusan.

“Bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsi serta wewenangnya melakukan penuntutan terhadap suatu perkara pidana, penuntut umum dilengkapi dengan asas dominus litis, yang dalam pelaksanaan asas tersebut jaksa memiliki indenpedensi dalam hal penerapan pasal yang didakwakan terhadap terdakwa. Disamping bahwa Pasal sangkaan pada berkas perkara tidak mengikat penuntut umum untuk mengikutinya.” Ujar Sanusi.

Karena mengacu pendapat ahli, Andi Hamzah menyatakan bahwa, setelah meneliti hasil pemeriksaan dan sudah dipandang cukup tetapi pasal sangkaan tidak tepat, maka penuntut umum bisa merubah pasal tersebut karena jaksa bertanggung jawab atas kebijakan penuntutan penuntut umum dominus litis dalam hal penuntutan sehingga bebas menetapkan peraturan pidana mana yang akan didakwakan.

“Penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan sepanjang tidak bertentangan dengan BAP pada tingkat penyidikan dan merupakan subtansi tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Oleh karena itu, terhadap alasan keberatan penasihat hukum terdakwa sebagaimana tersebut diatas bukanlah termasuk materi eksepsi atas surat dakwaan karena sudah masuk kepada pemeriksaan pokok perkara.” Tegasnya.

Sanusi menjelaskan, apabila mencermati uraian eksepsi dakwaan penuntut umum tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap (Obscuur libel) dan tanggapan JPU KPK maka, pihaknya sependapat dengan penasihat hukum terdakwa. Dimana pada Pasal 140 ayat (1) KUHAP, penuntut umum wajib menyusun surat dakwaan berdasarkan hasil penyidikan dan apabila tidak berdasarkan hasil penyidikan maka adsurat dakwaan dianggap tidak benar serta tidak dapat dipergunakan untuk mendakwa terdakwa.

Oleh karenanya, surat dakwaan kabur dan harus dinyatakan batal demi hukum. Hal ini juga diperkuat sebagaimana putusan MARI tanggal 8-1-1983 No. 492.K/kr/1981 yang menyatakan bahwa, pengadilan tinggi telah tepat dengan mempertimbangkan bahwa tuduhan yang samar-samar atau kabur harus dinyatakan batal demi hukum.

“Putusan yang dimaksud adalah putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 18/1981/Pid.S/PT/Bjm tanggal 20 April 1981, Jo. Putusan MARI Nomor 600/K/Pid/1982 tanggal 9 November 1983 Jo. Putusan MARI Reg. No. 808 K/Pid/1984 tanggal 29 Juni 1985 Jo. Putusan MARI Reg. No.33 K/Mil/1985 tanggal 15 Februari 1986.” Jelasnya.

Terkait dengan hal Tersebut, Sanusi menambahkan bahwa, uraian penasihat hukum terdakwa juga menguraikan adanya 16 saksi dalam dakwaan No 68/TUT.01.04/24/09/2024 tidak pernah diperiksa dan didengar keterangannya sebagai saksi pada proses penyidikan, namun dicatut sebagai pihak yang menerima pemberian uang dari terdakwa atas perintah AGK.

Bahkan, dalam uraian penasihat hukum terdakwa terdapat adanya perubahan atau pergeseran penerapan pasal dari proses penyidikan ke proses penuntutan yaitu, pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau pasal 13 UU TIPIKOR Jo. Pasal 65  ayat (1) KUHP kemudian berubah dalam surat dakwaan menjadi Pasal 5 Ayat (1) huruf b Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP atau Pasal 13 UU TIPIKOR Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

“Ini terlihat jelas mencerminkan ketidakkonsistenan dan adanya keragu-raguan penuntut umum dalam perkara aquo sehingga perubahan konstruksi pasal yang dikenakan kepada terdakwa saat penyidikan diterapkan Pasal 65 ayat (1) KUHP adanya perbarengan perbuatan (concursus) bergeser menjadi Pasal 64 ayat (1) KUHP yaitu adanya perbuatan berlanjut dengan begitu maka delik suap masuk dalam delik berpasangan (noodzakelijke deelneming) atau penyertaan mutlak yang harus adanya pemberi dan penerima yang keduanya dikualifikasi sebagai pelaku sehingga harus selaras dengan uraian suap oleh AGK dalam dakwaannya.” Ungkapnya.

Namun, Sanusi mengungkapkan, faktanya dalam dakwaan AGK sama sekali tidak diuraikan dan tidak terdapatnya fakta penerima suap baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lain yang diberikan terdakwa kepada AGK secara langsung maupun tidak langsung, baik yang berkaitan dengan proyek pengadaan barang dan jasa maupun pengurusan rekomendasi WIUP.

Selain itu, juga tidak terdapatnya penguraian unsur-unsur Pasal 64 ayat. (1) KUHP yang dipadukan dengan perbuatan materil tentang perbuatan berlanjut dilihat dari unsur adanya satu kehendak yang sama, sedangkan uraian surat dakwaaan penuntut umum dalam perkara aquo dirumuskan bukan untuk satu tujuan tapi melainkan dua tujuan yang berbeda.

“Oleh karena itu, kami tetap menghormati putusan hakim nantinya, dan berharap agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara aquo agar lebih jeli dan cermat untuk mempertimbangkan eksepsi terdakwa sebagai bagian dari keyakinan hakim demi terwujudnya sebuah keadilan bagi diri terdakwa dengan cara mengadili bukan menghakimi atau menjaksai terdakwa, agar jangan sampai penuntut umum menafsirkan pasal suap secara keliru dan berlebihan (overcriminalization). Apalagi terhadap pemberian sumbangan terdakwa diranah sosial keagamaan.” Tandasnya.

Reporter: Djuanda

Editor: Redaksi