KALESANG – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara dinilai bungkam terkait penanganan sejumlah kasus korupsi yang telah merugikan keuangan negara hingga ratusan miliar. Sorotan itu disampaikan praktisi hukum Maluku Utara, Bahtiar Husni lantaran hingga kini Kejati enggan merilis penanganan perkara korupsi di akhir tahun 2014.
Bahtiar menegaskan, apabila Kejati Maluku Utara enggan menyampaikan progres penanganan kasus korupsi maka tentu ini perlu dipertanyakan. Karena Kejati terkesan diam dan stagnan yang berujung pada ketidakjelasan kasus korupsi yang sedang ditangani. Kepala Kejati harus lakukan evaluasi kepada penyidik.
“Kami minta Kajati agar lakukan evaluasi kepada penyidik untuk bisa sampaikan program penanganan kasus kepada publik, dari sejumlah kasus yang ditangani seperti halnya kasus dugaan korupsi anggaran makan minum (Mami) dan perjalanan dinas sekretariat wakil kepala daerah (WKDH).” Tegasnya.
Selain itu, lanjut Bahtiar, dugaan korupsi pemotongan Tambahan Penghasilan Pegawai (TTP) ASN dan non-ASN di Rumah Sakit Umum Daerah (RUSD) Chasan Boesoirie Ternate, dan sejumlah deretan kasus korupsi lainya yang hingga sampai sekarang belum ada kejelasan hukum.
“Kalau kasus Mami dan WKDH itu alasan Kejati tunggu hasil audit, tetapi sampai sekarang tidak jelas, begitu juga dengan kasus korupsi lain. Untuk itu, Kejati Maluku Utara harus benar-benar melakukan evaluasi kepada penyidik sejauh mana progres penanganan kasus. Jangan terkesan jalan ditempat.” Bebernya.
Bahtiar menyatakan, deretan kasus yang ditangani Kejati Maluku Utara ini publik juga pasti mengawal itu, sehingga Kejati harus benar-benar serius dan terbuka kepada khalayak umum. Kalau rilis akhir tahun saja tidak bisa disampaikan bagaiman publik mau menaruh kepercayaan kepada Kejati.
Sebelumnya, Herry Ahmad Pribadi, selaku Kajati Maluku Utara juga ikut bersikap dalam hal penanganan kasus korupsi yang ditangani lembaga Adiyaksa tersebut. Itu disampaikan pasca dirinya memegang tongkat Kejati Malut dari tangan Budi Hartawan Panjaitan pada 13 Juni 2024.
Saat itu, Herry Ahmad mengaku bahwa siap menangani berbagai kasus korupsi yang ditinggalkan pejabat sebelumnya seperti halnya kasus Mami dan kasus lainnya. “Pada garis besarnya, saya selaku Kajati baru akan meneruskan pekerjaan yang sudah dilakukan pejabat sebelumnya.” Singkatnya.
Sementara itu, Kasi Penkum Kejati Maluku Utara, Richard Sinaga juga mengatakan bahwa penanganan kasus di Kejati Maluku Utara pastinya tetap diproses. Seperti kasus Mami dan WKDH. Dimana kasus tersebut masih dalam proses penyidikan. “Masih penyidikan. Nanti kita sampaikan lagi.” Ujarnya.
Ketika disentil apakah dalam waktu dekat bakal diumumkan tersangka, Richard menuturkan bahwa penetapan tersangka nanti dilihat. Pada prinsipnya mereka tetap sampaikan kepada publik. Kita bakal sampaikan.” Pungkasnya.
Berikut sejumlah kasus dugaan korupsi yang ditangani penyidik Kejati Maluku Utara:
1. Kasus dugaan korupsi anggaran Makan minum (Mami) dan perjalanan dinas sekretariat wakil kepala daerah (WKDH). Kasus tersebut melekat di sekretariat WKDH Maluku Utara tahun 2022 senilai Rp13,8 miliar. Kurang lebih 20 orang saksi sudah dimintai keterangan dan penyidik Kejati Malut juga sudah menerima Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari BPK-RI.
2. Kasus penggunaan dana pinjaman Pemkab Halmahera Barat 2017 senilai Rp 159,5 miliar. Dimana anggaran itu bersumber dari pinjaman ke Bank Maluku-Maluku Utara. Hingga saat ini, ada 10 orang diperiksa sebagai saksi oleh Tim Penyidik Pidsus. Kasus tersebut telah resmi ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan.
3. Kasus dugaan korupsi pemotongan Tambahan Penghasilan Pegawai (TTP) ASN dan non ASN di Rumah Sakit Umum Daerah (RUSD) Chasan Boesoirie Ternate. Dalam menangani kasus ini, sudah 23 orang dimintai keterangan, termasuk mantan Direktur RSUD Chasan Boesoirie, Dr. Samsul Bahri dan Wakil Direktur (Wadir) RSUD Chasan Boesoirie, Fatimah Abas.
Pemotongan anggaran TPP selama 15 bulan itu milik para sejumlah dokter, perawat, ASN dan non ASN yang bertugas di rumah sakit milik Pemerintah Provinsi Maluku Utara dengan temuan tunggakan mecapai Rp 200 miliar lebih yang saat ini sementara dalam proses diaudit.
4. Kasus dugaan korupsi pembangunan Masjid Raya di Halmahera Selatan yang menelan anggaran sebesar Rp 109 miliar. Diketahui, proyek tersebut mulai dikerjakan pada tahun 2016 dan diperkirakan selesai 2021.
Kasus itu, Kejati Maluku Utara masih menunggu penghitungan kerugian negara dari BPKP Maluku Utara. Berdasarkan dokumen kontrak pekerjaan Masjid Raya Halmahera Selatan tahun 2016 tersebut dianggarkan kurang lebih sebesar Rp 50 miliar.
Tetapi, dalam perjalanan terjadi refocusing sehingga tersisa sebesar Rp 29 miliar, begitu juga dianggarkan pada tahun 2017 dan 2018. Masing masing sebesar Rp 29 miliar sekian yang dikerjakan PT Bangun Utama Mandiri. Pada tahun 2019 dikerjakan perusahan berbeda yaitu, CV Minanga Tiga Satu dengan anggaran sebesar Rp 9 miliar sekian.
Sedangkan, tahun 2021 dikerjakan oleh PT Duta Karya Pratama Unggul dengan anggaran sebesar Rp 11 miliar sekian. Sehingga, proyek pembangunan masjid raya memakan anggaran sebesar Rp 109 miliar lebih. Namun pekerjaan pembangunan masjid tersebut belum selesai dikerjakan sampai sekarang.
5. Kasus dugaan korupsi pengadaan dua kapal penangkap ikan (Billfish) milik Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku Utara. Kedua kapal penangkap ikan itu yakni Billfish 01 dan Billfish 02 yang merupakan bantuan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan atau KKP RI.
Diserahkan melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku Utara pada tahun 2017. Pengadaan Billfish 01 dan Billfish 02 itu awalnya untuk mendukung event Widi International Fishing Tournament di Halmahera Selatan pada tahun 2017.
Namun dengan syarat ketika event selesai maka dua kapal tersebut akan diserahkan kepada masyarakat yang tergabung dalam kelompok nelayan. Akan tetapi hingga event telah selesai, kedua kapal itu tidak diserahkan kepada kelompok nelayan.
Bahkan, penyidik telah memeriksa sejumlah saksi terkait kasus pengadaan dua kapal penangkap ikan milik DKP Maluku Utara itu. Padahal, proyek pengadaan dua kapal yang dikerjakan CV Mandiri Makmur tersebut bernilai kontrak Rp 5,9 miliar.
6. Kasus penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebanyak 22 perusahaan di Maluku Utara. Kasus ini penyidik juga sudah memeriksa Kepala Dinas PMPTSP Maluku Utara, Bambang Hermawan, dan 5 orang lainya. Namun hingga saat ini kasus tersebut belum juga ada kejelasan
7. Kasus dugaan korupsi anggaran Covid-19 di Dinas Sosial (Dinsos) Maluku Utara. Penyelidikan kasus ini awalnya sesuai dengan nomor dan surat perintah (P-2) Print- 616/Q.2/Fd.2/06/2023. Itu berupa kegiatan pengadaan bantuan sosial untuk anak yatim piatu, lansia dan difabel serta program pengadaan jaring senilai Rp 1.784.401.000 pada tahun 2020.
8. Kasus dugaan korupsi penyalahgunaan pengelolaan penyertaan modal PT Alga Kastela Bahari Berkesan oleh Pemerintah Kota Ternate dengan anggaran capai Rp 1,2 miliar.
9. Kasus dugaan korupsi belanja bahan sembako atas kegiatan penyaluran paket bantuan terkait COVID–19 di Biro Kesra Pemprov Malut tahun anggaran 2020 senilai Rp8,3 miliar.
10. Kasus dugaan korupsi pengelolaan dana penyertaan modal dari Pemerintah Kota Ternate ke Bank BPRS Bahari Berkesan tahun 2016 – 2019 senilai Rp11 miliar.
11. Kasus dugaan korupsi pengadaan alat praktik dan peraga peserta didik SMKN 1 Pulau Morotai dan SMKN 4 Kota Ternate pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku Utara pada tahun 2022.
12. Kasus dugaan korupsi anggaran pelaksanaan STQ Nasional ke XXVI tahun 2021. Agenda nasional yang digelar di Sofifi itu menelan anggaran sebesar Rp46 miliar. Dugaan yang mencuat ada indikasi korupsi sebesar Rp20 miliar yang melekat pada tujuh kegiatan di Biro Umum Sekretariat Daerah Maluku Utara.
13.Kasus dugaan korupsi Belanja Tak Terduga (BTT) di Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Sula pada tahun 2021 senilai Rp28 miliar. Kasus tersebut memang masih ditangani Kejari Kepulauan Sula, namun dibantu oleh tim dari Kejati Maluku Utara, setelah dikeluarkan Sprindik baru.
Dalam kasus tersebut, Muhammad Bimbi selaku Ketua PPK telah menjadi tersangka tunggal dan sudah divonis 2 tahun kurungan penjara denda Rp200 juta oleh Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ternate, Khadijah dan didampingi dua hakim anggota lainnya.
Atas hal itu, kuasa hukum Muhammad Bimbi mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Maluku Utara, namun Muhammad Bimbi kembali vonis menjadi 3 tahun penjara dan denda Rp200 juta, sehingga pihaknya bakal mengajukan kasasi.
Sementara, tersangka lainnya atas nama M. Yusril selaku Direktur Utama PT. HAB Lautan Bangsa sampai sekarang masih bebas berkeliaran. Kejari Kepulauan Sula dan Kejati Maluku Utara terkesan tidak serius dalam menangani kasus ini, karena Yusril telah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) tetapi belum juga bisa ditangkap.
Bahkan, sejumlah fakta yang terungkap di dalam persdiangan di Pengadilan Negeri Ternate itu bahwa seorang oknum anggota DPRD di Kepulauan Sula atas nama Lasidi Leko juga diduga kuat ikut terseret dalam kasus pengadaan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) senilai Rp5 miliar.
Reporter: Djuanda
Redaktur: Wendi