Membaca Realitas
728×90 Ads

Tambang Nikel PT Priven Lestari Didesak Angkat kaki Dari Pegunungan Wato-wato 

KALESANG – Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-Wato (AMBPW) terus berupaya melindungi Pegunungan Wato-wato dari aktivitas tambang nikel, PT Priven Lestari. Upaya perlindungan ini dilakukan sebab pegunungan tersebut merupakan sumber penghidupan yang tersisah.

Pada Senin, 13 Januari 2025, AMBPW kembali mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Halmahera Timur (Haltim) untuk menggelar audiens. Pertemuan ini, dihadiri oleh Pimpinan DPRD, juga hadir Kepala Bagian Hukum, Kepala Badan Lingkungan Hidup, serta pihak Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah Haltim.

Dalam pertemuan itu, AMBPW menegaskan, menolak segala bentuk aktivitas PT Priven Lestari di atas Pegunungan Wato-wato. Pun meminta, Pemerintah Haltim agar segera menindaklanjuti aspirasi warga dengan menyampaikan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) guna meninjau ulang serta mencabut izin operasional PT Priven Lestari.

AMBPW juga meminta Bupati Haltim agar memberi arahan kepada pemerintah tingkat kecamatan sampai terhadap para Kepala Desa se-Kecamatan Maba agar menyampaikan kepada warga lainnya, untuk tidak melakukan proses jual-beli lahan pada kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) kepada PT Priven Lestari.

Juru Bicara Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-Wato, Said Marsaoly, mengatakan bahwa pihak PT Priven Lestari saat ini terus berupaya melakukan bujuk rayu agar pemilik lahan menjual tanah kepada mereka. Lahan milik warga itu sebenarnya berada di dalam kawasan APL, yang mana berdasarkan RTRW 2010 – 2029 serta Rekomendasi Penyesuaian Tata Ruang, tidak diperkenankan melakukan kegiatan penambangan.

“Penambangan di atas lahan APL itu, akan berdampak buruk pada perkembangan kawasan permukiman Buli. Dan berdasarkan pemanfaatan dan peruntukan ruang dalam RTRW, tidak boleh ada kegiatan tambang,” tegasnya.

Berdasarkan hasil overlay, konsesi tambang nikel PT Priven Lestari itu telah mencaplok 547,7 hektare kawasan APL dan 2.672 hektare adalah kawasan Hutan Lindung. Dengan demikian, kami memandang perlu, Bupati untuk menugaskan dinas terkait agar melakukan sosialisasi Perda RTRW di Buli.

“Kami juga meminta, DPRD Haltim untuk memfasilitasi pertemuan antara Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-Wato dengan DPRD Provinsi Maluku Utara, Dinas ESDM, Dinas Kehutanan dan Dinas Lingkungan Hidup Malut, guna membahas permasalahan ini secara lebih menyeluruh,” ungkapnya.

Karena, pada beberapa kawasan hutan yang berada dalam kawasan Pegunungan Wato-wato sudah ditetapkan sebagai peruntukkan perhutanan sosial dalam skema hutan desa. Pun juga telah dikeluarkan keputusan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup pada 2021 dan 2022 yang mengesahkan status hutan desa tersebut.

“Itu bisa dijadikan sebagai dasar pengusulan pencabutan IUP PT Priven Lestari,” katanya.

Selain itu juga, menurut Said, wilayah Buli saat ini sudah menjadi korban dari sederet operasi tambang nikel, mulai dari perusahaan plat merah, PT Aneka Tambang hingga korporasi nikel swasta. Dari trauma itu, kami kemudian bertekad melindungi ruang hidup tersisah ini.

“Dari pengalaman yang kami saksikan, perusahaan sebesar Antam yang konon katanya telah mendapat sertifikasi ISO dalam manajemen lingkungan pun tetap saja kewalahan menangani pencemaran di Teluk Moronopo. Lalu bagaimana dengan PT Priven Lestari yang kantornya perwakilannya saja tidak jelas,” bebernya.

Atas itu, Said kembali menegaskan, komitmen aliansi adalah pada kecukupan bukan keserakahan. Oleh karena itu Pemda Haltim harus berani merekomendasikan pencabutan IUP PT Priven Lestari.

Senada dengan itu, Dinamisator JATAM Maluku Utara, Julfikar Sangaji mengatakan, Pegunungan Wato-wato yang persisnya berada di balik pemukiman warga Buli tersebut, sesungguhnya erat hubungannya dengan nafas hidup warga di Buli. Sebabnya, pada bentang alam tersebut tersedia sungai-sungai yang airnya dipakai oleh warga.

“Sungai yang membentang, memiliki peran vital dalam melayani kebutuhan air bersih warga setiap hari. Karena itu, warga pasti marah jika sumber air bersih sebagai sumber penghidupan mereka akan lenyapkan oleh operasi tambang. Namun ironisnya, Pemerintah Haltim tidak melihat tambang itu sebagai ancaman serius dalam keberlangsungan warga,” jelasnya.

Jika Pemerintah Haltim memandang Wato-wato sebagai sumber penghidupan yang penting untuk dilindungi maka sewajibnya, mereka dapat mengambil langkah yang lebih tegas. Seperti berani mengeluarkan rekomendasi pencabutan izin tambang terhadap PT Priven Lestari dengan melayangkan surat resmi ke kementerian ESDM.

“Jika itu dilakukan maka Pemerintah Haltim bekerja untuk rakyat, bukan melayani korporasi tambang. Pun sebaliknya,”pungkasnya.

 

300×600
728×90 Ads