Oleh : Arsad Suni, S.Kep. Ns., M.Kep
(Dosen Pendidikan & Budaya Anti Korupsi Polkester)
Pendahuluan
Korupsi merupakan masalah kompleks yang telah menggerogoti berbagai aspek kehidupan, baik di tingkat individu, keluarga, kelompok maupun masyarakat yang dapat merugikan bangsa dan negara. Dampaknya tidak hanya dirasakan dalam dimensi ekonomi dan politik, tetapi juga mempengaruhi sendi-sendi sosial dan moral. Dalam konteks yang lebih mikro, keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat, ternyata juga tidak luput dari ancaman praktik korupsi. Bentuknya mungkin tidak selalu berupa penyelewengan dana dalam skala besar, tetapi bisa berupa tindakan-tindakan kecil yang jika dibiarkan akan membentuk budaya koruptif.
Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama bagi individu untuk mempelajari nilai-nilai, norma, dan etika. Bagaimana nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan integritas yang ditanamkan dalam keluarga akan sangat mempengaruhi perilaku anak-anak ketika berinteraksi dengan masyarakat luas. Oleh karena itu, pemahaman dan pencegahan korupsi harus mencakup lingkup keluarga.
Penulisan ini bertujuan untuk mengkaji peran orangtua terhadap pendidikan anti korupsi dalam keluarga, dengan menganalisis berbagai bentuk praktik korupsi yang mungkin terjadi dalam lingkungan keluarga, penyebabnya, serta upaya-upaya pencegahan yang dapat dilakukan. Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif dan membuka ruang diskusi tentang peran orangtua dalam keluarga untuk menumbuhkan kesadaran generasi anti korupsi.
Pandangan Umum Tentang Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa latin, yaitu corruptio yang secara harfiah dapat diartikan sebagai “sesuatu yang busuk, jahat, dan rusak. Istilah Korupsi yang telah diterima dalam pembendaharaan kata bahasa Indonesia, adalah “kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran”. Sementara Poerwadarminta (1976), menyatakan korupsi dapat diartikan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.
Berbagai defenisi korupsi telah tersebar oleh beragam media, diantaranya “Korupsi” didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, yang mencakup perbuatan tidak jujur, tidak etis, atau ilegal, di mana pejabat pemerintah atau individu yang memiliki kekuasaan, menyalahgunakan kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri atau korporasi dengan merugikan masyarakat atau organisasi yang mereka layani.
Berbagai faktor bervariasi dan beraneka ragam telah menjadi penyebab tindakan korupsi, akan tetapi secara umum dapat dirumuskan sesuai dengan pengertian korupsi itu sendiri yang bertujuan mendapatkan keuntungan pribadi/kelompok/keluarga/golongannya sendiri. Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Boulogne atau sering disebut GONE Theory bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi adalah 1) Greeds (keserakahan); 2) Opportunities (kesempatan); 3) Needs (kebutuhan); dan 4) Exposures (pengungkapan). Faktor Greeds dan Needs berkaitan dengaan individu pelaku (aktor) korupsi, baik dalam organisasi maupun di luar organisasi yang melakukan korupsi dan merugikan pihak korban. Sedangkan faktor Opportunities dan Exposures berkaitan dengan korban perbuatan korupsi, yaitu organisasi, institusi, masyarakat yang kepentingannya dirugikan.
Adapun jenis-jenis korupsi telah diidentifikasi oleh para ahli, diantaranya Syed Hussein Alatas menyebutkan ada tujuh kelompok jenis/tipe korupsi, yaitu: 1) Transactive Corruption (adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pembeli dan pihak penerima); 2) Extortive Corruption ( pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya); 3) Investive Corruption (pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dari keuntungan tertentu); 4) Nepotistic Corruption (penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan); 5) Defensive Corruption (perilaku korban korupsi dengan pemerasan); 6) Autogenic Corruption (korupsi yang dilaksanakan oleh seseorang seorang diri); dan 7) Supportive Corruption (korupsi tidak secara langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk lain).
Peran Orangtua dalam Pendidikan Anti Korupsi
Sebelum diuraikan tentang bagaimana peran orangtua terhadap pendidikan anti krupsi, penulis mencoba mengulas kembali korupsi dalam perspektif keluarga yang mencakup perbuatan tidak jujur, manipulatif, atau penyalahgunaan kepercayaan dalam lingkup keluarga. Sebagai contoh korupsi dalam keluarga adalahi ketika salah seorang anggota keluarga secara sistematis menggunakan kekuasaannya untuk memanipulasi situasi demi keuntungan pribadi, tanpa memperhatikan dampak negatifnya bagi keluarga secara keseluruhan, yaitu dapat berupa penyalahgunaan keuangan, penipuan, atau pemerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga tertentu untuk mendapatkan keuntungan pribadi, tanpa memperhitungkan dampaknya pada stabilitas dan keharmonisan keluarga.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa yan menjadi faktor pemicu korupsi dalam linkup keluarga, diantaranya ketidakseimbangan kekuasaan antara anggota keluarga, komunikasi yang buruk, kurangnya nilai-nilai moral, tekanan ekonomi dan sosial, kurangnya pendidikan dan kesadaran, pola asuh yang tidak tepat; serta kurangnya pengawasan dan pertanggungjawaban dalam pengelolaan keuangan keluarga. Sedangkan tipologi korupsi dalam lingkup keluarga meliputi: 1) Korupsi uang saku (anak meminta uang lebih dari yang seharusnya, memanipulasi orang tua untuk mendapatkan uang tambahan); 2) Korupsi nilai (anak mencontek dalam ujian, menyalin pekerjaan rumah, atau berbohong untuk mendapatkan keuntungan pribadi); dan 3) Korupasi hubungan (anak bersikap kasar, tidak menghormati orang tua, atau manipulative untuk mendapatkan keinginan).
Dari berbagai faktor pemicu terhadap kejadian korupsi dalam linkup keluarga tersebut, maka penulis ingin menguraikan lebih rinci tentang bagaimana peran orangtua terhadap pendikan anti korupsi dan pencegahan perilaku koruptif dalam tatatan keluarga. Berikut adalah peran orangtua terhadap pendikan anti korupsi:
1. Role Model
Role model orang tua adalah teladan bagi anak-anaknya, karena anak-anak cenderung akan meniru perilaku orang tuanya. Orang tua harus menjadi teladan dengan bersikap jujur, bertanggungjawab, dan berintegritas. Perilaku dan sikap orang tua akan memengaruhi pembentukan karakter anak. Itulah mengapa orang tua disebut sebagai garda terdepan dalam pencegahan korupsi, terutama sang ibu.
Ibu memiliki peran yang sangat penting dalam pendidikan dan pembentukan karakter anak.
Teringat bait-bait seorang penyair kenamaan asal Mesir, yakni Hafizh Ibrahim; “Al ummu madrasatul ula idzaa a’dadtahaa a’dadtu sya’baan thoyyibal a’roq”, artinya “Ibu adalah madrasah atau sekolah pertama bagi anaknya, jika engkau mempersiapkannya dengan baik maka engkau telah menyiapkan sebuah generasi yang mulia.” Maka dari sini dapat kita pahami bahwa betapa wanita memegang peranan penting dalam menghasilkan generasi-generasi yang hebat dan mulia. Untuk itu, para wanita atau calon-calon ibu di masa depan harus banyak belajar dan membekali diri mereka dengan ilmu terlebih lagi ilmu agama yang baik dan berusaha untuk memperbaiki dirinya.
Karena bagaimana mungkin seorang pendidik ini bisa mendidik jika dia sendiri tidak berpendidikan, bagaimana mungkin seorang ibu bisa mendidik anaknya menjadi orang yang baik jika dia sendiri tidak memiliki kebaikan tersebut dalam dirinya? Maka kebaikan dan ketakwaan seorang ibu sangat menentukan keberhasilannya dalam mengarahkan anak-anaknya kepada kebaikan.
Selain ibu sebagai sekolah pertama bagi anaknya, ayah juga punya peran yang tak kalah penting yakni sebagai pemberi arahan kepada sang ibu dalam mendidik, arahan yang diberikan sang ayah harus berdasarkan dari panduan Al-Qur’an dan As-sunnah dimana cara mendidik anak sudah sangat lengkap dibahas disana, maka dari itu ayah tentunya juga harus memahami dengan baik terkait dengan arahan dalam pendidikan anak yang benar. Jika ayah salah dalam memberikan arahan atau tidak turut serta dalam pendidikan anak maka hal ini akan gagal karena mendidik anak membutuhkan kekompakkan dan kerjasama yang baik antara kedua orangtua.
Sehingga dalam hal ini orang tua harus menampilkan sikap dan tingkah laku yang baik di depan anak, seperti sikap jujur, adil, bertanggungjawab dan berintegritas. Hal ini disebabkan jiwa manusia itu lebih mudah mengambil teladan dari contoh yang terlihat di hadapannya.
Mendidik nilai-nilai Interitas.
Orang tua perlu menanamkan nilai-nilai moral, etika, dan kejujuran kepada anak-anak sejak dini, hal ini sangat penting sebagai upaya pencegahan korupsi di masa depan. Annak-anak yang tumbuh dengan pemahaman yang kuat tentang kejujuran dan tanggung jawab akan lebih cenderung menjadi individu yang berintegritas.
Menciptakan komunikasi terbuka.
Membangun komunikasi terbuka dan jujur dengan anak-anak berupa mendengarkan dan memahami perspektif mereka. Hal ini sangat penting untuk menanamkan nilai kejujuran dan mencegah perilaku koruptif di masa depan. Anak-anak yang merasa didengar dan dihargai akan lebih terbuka dalam berkomunikasi tentang apapun, termasuk kesalahan mereka, tanpa merasa takut dihukum secara berlebihan.
Mendidik anak-anak tentang Nilai Antikorupsi
Pada aspek ini orangtua dapat memainkan perannya dalam bentuk ceritra, permainan, atau berupa contoh.
Cerita: Orangtua bisa menceritrakan tentang tokoh-tokoh yang jujur dan berintegritas serta dampak negatif dari korupsi. Misalnya oran tua berceritra tentan kisah Rasulullaah shalallahu ‘alaihi wassallam yang menjadi teladan terbaik bagi seluruh umat Islam di dunia, atau kisah para sahabat yang terkenal karena kejujuran dan integritasnya seperti Abu Bakr As-Sidiq.
Permainan: Orangtua bisa menggunakan permainan edukatif untuk mengajarkan nilai-nilai antikorupsi, seperti jujur dan adil. Misalnya, permainan ular tangga antikorupsi (Latantisa), dimana permainan ini menggunakan papan ular tangga yang dimodifikasi dengan gambar-gambar yang berkaitan dengan antikorupsi. Dengan begitu, dapat membantu anak-anak memahami nilai-nilai antikorupsi, seperti kejujuran dan disiplin.
Contoh: Orangtua bisa memberikan contoh perilaku jujur dan bertanggungjawab, serta tunjukan konsekuensi buruk dari tindakan korupsi, seperti mengakui kesalahan; menepati janji; bertanggungjawab atas tugas dan kewajiban; Mengembalikkan barang yang bukan milik kita; dan lain sebagainya.
Selain memainkan peran tersebut, orangtua juga diharapkan mampu melakukan langkah-langkah konkrit tentang menangkal korupsi dalam keluarga, antara lain: 1) Pendidikan (meningkatkan kesadaran keluarga tentang bahaya korupsi dan pentingnya integritas); 2) Pencegahan (mencegah perilaku koruptif di keluarga dengan membangun komunikasi yang jujur dan terbuka serta penanaman nilai-nilai integritas sejak dini); dan 3) Pemulihan (membantu keluarga dengan membangun komunikasi dan mengajarakn nilai-nilai integritas yang baik dan benar), sehingga. keluarga dapat menjadi benteng utama dalam menanamkan sikap antikorupsi.
Kesimpulan
Korupsi merupakan tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau kepercayaan untuk memperoleh keuntungan pribadi, baik dalam ranah keuangan, politik, maupun kehidupan sosial lainnya. Korupsi dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti suap, nepotisme, dan penggelapan dana publik yang merugikan masyarakat serta merusak integritas dan moralitas. Korupsi juga dapat tumbuh di dalam keluarga, umumnya karena ketidakseimbangan kekuasaan, komunikasi buruk, dan ketidakharmonisan nilai-nilai moral memicu tindakan manipulatif yang merusak kesejahteraan keluarga.
Korupsi dalam tatanan keluarga, tentunya peran orangtua terhadap pendidikan antu korupsi menjadi hal penting dan utama dalam menentukan perilaku anak sebagai generasi anti korupsi masa depan. Beberapa peran orangtua terhadap pendidikan anti korupsi terebut adalah role model, mendidik nilai interitas, menciptakan komunikasi terbuka, serta mendidik anak-anak tentan nilai anti korupsi melalui ceritra pendek, permainan, maupun contoh-contoh.
Semoga dengan menjalankan peran orangtua tersebut, dapat menciptakan atau meningkatkan kesadaran diri setiap individu dari semua anggota keluarga terhadap penguatan nilai-nilai moral untuk mencegah perilaku koruptif dan terhindar dari praktik tindak pidana korupsi.