Membaca Realitas
728×90 Ads

Politik Balas Dendam: Ancaman Bagi Masa Depan Morotai

Oleh: Fihir Ali
Sekretaris DPD KNPI Pulau Morotai

Pembangunan daerah seharusnya menjadi cerminan keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan. Namun, ketika kebijakan pemerintah dijalankan atas dasar dendam politik atau kepentingan kelompok tertentu, yang terjadi justru adalah kemunduran. Fenomena ini tidak hanya merusak tatanan demokrasi, tetapi juga menghambat kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

Sejarah telah menunjukkan bahwa kebijakan yang lahir dari sentimen balas dendam cenderung mengabaikan prinsip-prinsip good governance. Seperti yang dikemukakan oleh John Locke dalam Two Treatises of Government, “Kekuasaan politik harus digunakan untuk melindungi hak-hak rakyat, bukan sebagai alat balas dendam atau penindasan.” Locke menegaskan bahwa tujuan kekuasaan politik adalah untuk melindungi property—yang mencakup hidup, kebebasan, dan kepemilikan—bukan untuk dijadikan alat pemuas ambisi pribadi.

Ketika pemerintah lebih memilih menghukum kelompok masyarakat karena dianggap tidak sejalan secara politik, yang terjadi adalah ketimpangan pembangunan. Mereka yang seharusnya mendapatkan perhatian dan keadilan justru terpinggirkan hanya karena keberpihakan politik yang berbeda.

Senada dengan itu, Amartya Sen—ekonom peraih Nobel—menyatakan bahwa “Pembangunan adalah proses memperluas kebebasan nyata yang dinikmati oleh masyarakat.” Namun, bagaimana kebebasan bisa tumbuh jika kebijakan pembangunan didikte oleh kepentingan kekuasaan yang sempit? Desa atau komunitas yang menjadi korban politik balas dendam akan mengalami stagnasi, bahkan kemunduran, karena sumber daya lebih banyak digunakan untuk membalas lawan politik daripada untuk kesejahteraan rakyat.

Kita bisa melihat contoh nyata di beberapa daerah: pemberhentian kepala desa, pemutusan beasiswa bagi mahasiswa yang kuliah di luar Morotai, hingga praktik nonjob dan mutasi pejabat yang dilakukan tanpa melalui prosedur sah dari Kemendagri dan BKN. Semua itu diduga terjadi hanya karena mereka dianggap berseberangan dengan kekuasaan. Padahal, pemerintahan yang efektif seharusnya dijalankan berdasarkan rasionalitas birokrasi—bukan oleh patronase atau politik balas dendam.

Jika pemerintah benar-benar serius dengan cita-cita pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, maka setiap kebijakan harus berangkat dari kebutuhan riil masyarakat, bukan dari sentimen atau kepentingan pribadi. Bung Hatta pernah berpesan, “Keadilan sosial harus menjadi pangkal penyusunan kebijakan, agar tidak ada rakyat yang tertinggal.”

Tidak ada ruang bagi dendam dalam pembangunan. Yang ada seharusnya adalah komitmen bersama untuk menciptakan Morotai yang unggul, adil, dan sejahtera.

 

728×90 Ads