Tak Kenal Siapa-siapa, Suryati dan Keluarganya Nekat Mengadu Nasib di Tidore
TIDORE (kalesang) – Suriyati, seorang perempuan asal Sragen, Jawa Tengah yang bersama dengan suaminya mengadu nasib di Provinsi Maluku Utara (Malut) sejak tahun 2004.
Setiba di Malut, perempuan kelahiran 1971 itu langsung ke Trans Gobe, Lelilef, Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng). Di sana, mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan untuk bisa bertahan hidup.
Pada tahun 2005, pasangan suami istri itu memutuskan untuk pindah ke Weda. Di tanah Fagogoru itu, suaminya bekerja sebagai buruh bangunan di Kantor Bupati Halteng. Suriyati sendiri sebagai tukang masak untuk sejumlah pekerja.
Setelah pekerjaannya selesai, perempuan tiga anak dan suaminya sudah bingung. Sementara mereka harus makan. Di tahun 2006, tanpa kenalan dan sanak saudara, Suryati bersama keluarga dengan sangat berani datang ke Kota Tidore Kepulauan.
“Iya benar, selesai kerja dari Weda, kami nekat pindah di Tidore pada 2006. Waktu itu kami tidak kenal siapa-siapa di Tidore.” Kata Suriyati saat ditemui kalesang.id, Sabtu (4/6/2022).
Ketika tiba di Kota Sultan Nuku, perempuan 51 tahun itu menuturkan, ia bersama keluarga tinggal di Kelurahan Tomagoba, Kecamatan Tidore.
“Saat pindah ke Tidore, suami saya mendapat perkerjaan sebagai tukang becak. Saya hanya mengurus rumah.” Beber Suriyati.
Tentu, lanjut Suriyati, pendapatan sebagai tukang becak pada waktu itu hanya bisa untuk makan. Sementara biaya hidupnya serba bayar, termasuk tempat tinggal. Akhirnya, di tahun 2007 ia memutuskan untuk berjualan cireng, sosis, dan pentolan di taman siswa Kelurahan Indonesiana.
“Saya memutuskan untuk kerja. Jelang dua tahun, suami saya membuatkan gerobak untuk saya berjualan keliling.” Ujarnya.
Suriyati dan suaminya sangat gembira ketika tahu Pemerintah Kota Tidore Kepulauan membangun taman dan jembatan di Tugulufa. Karena menurutnya, pembangunan itu merupakan satu lokasi di mana Suriyati bisa berjualan.
“Jadi selain bisa berjualan di sekolah, kan saya bisa juga berjualan di pantai Tugulufa.” Ucap Suriyati.
Di tahun 2012, adalah tahun di mana Suriyati harus kehilangan suaminya untuk selamanya. Perempuan berdarah Jawa itu benar-benar terpukul. Tetapi, kehilangan suami bukan berarti Suriyati harus berhenti bekerja. Dia tetap semangat.
“Suami saya wafat pada 2012 silam, dan dimakamkan di Kelurahan Tomagoba. Ini gerobak satu-satunya peninggalan suami saya.” Ungkapnya sambil tunjuk gerobak di dekatnya.
Saat suaminya pergi, Suriyati menambahkan, anak perempuannya yang sering membantunya berjualan. Namun, Suriyati sadar kalau anaknya memiliki pilihan tersendiri untuk melanjutkan hidup. Sehingga ia menyuruh anaknya untuk bekerja sesuai keinginannya.
“Awalnya saya dibantu oleh anak saya. Tapi saya sadar kalau mereka punya pilihan hidup. Saat ini anak saya kerja di sebuah toko di Wairoro, Halteng.” Katanya.
Dari hasil penjualannya, Suriyati mengaku bahwa dalam sehari bisa menghasilkan Rp300 ribu. Tetapi kalau sedang musim hujan dan angin kencang, sudah pasti jualannya tidak terlalu laris.
“Biasanya Rp300 ribu itupun kalau tidak hujan. Namanya juga jualan, kadang laris, kadang tidak.” Ucap Suriyati.
Saat ini, Suriyati tinggal seorang diri di salah satu indekost di Kelurahan Indonesiana, Kecamatan Tidore. Dua anak perempuannya berada di Jawa, satunya lagi berada di Halteng.
“Biaya sewa di sini perbulan Rp400 ribu. Iuran TV kabel Rp40 ribu perbulan, ditambah dengan listrik dan biaya lainnya.” Pungkasnya.(tr-04)