Membaca Realitas

Kapitalisme dan Kemiskinan

Oleh: Syafrijal Sibua

Mahasiswa IAIN Ternate dan Kader HMI Komisariat Ushuluddin IAIN Ternate

Belakangan ini, berbagai respons dan kritik terhadap sistem ekonomi kapitalis semakin marak digembar-gemborkan. Generasi muda, khususnya mahasiswa menjadi garda terdepan dalam  menentang penerapannya di Indonesia. Kapitalis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ditujukan kepada orang yang punya modal, berduit banyak; orang kaya. Kapitalisme adalah suatu paham yang lebih mengedepankan kebebasan individual dalam sebuah sistem ekonomi.

“Kemiskinan melanda, rakyat menjerit, borjuis semakin mengepakkan sayapnya”. Kutipan ini barangkali tepat untuk melukiskan kondisi Sosio-Ekonomi di suatu wilayah ketika dikuasai ideologi kapitalisme dan ini juga tidak jauh berbeda dengan realitas yang kita lihat di negeri kita, Indonesia.

Salah seorang pakar dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Arie Mooduto, dalam salah satu kesempatan seminar internasional ekonomi dan keuangan Islam di Banda Aceh menyebut, salah satu penyebab banyaknya kemiskinan mayoritas negara di dunia karena negara tersebut menganut sistem perekonomian kapitalisme.

“Banyaknya orang miskin di dunia sekarang salah satu penyebabnya adalah kapitalis dan sistem konvensional”.

Salah satu wujud nyata dari kapitalisme bisa kita lihat dari adanya perusahaan asing yang datang ke Indonesia untuk berinvestasi, dengan kekayaan alam yang begitu melimpah, mendorong para investor asing untuk datang mencicipi, menggarap dan mengambil hasil kekayaan alam yang dimilikinya. Berdasarkan data perizinan terintegrasi secara elektronik/OSS, yang dirangkup Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebut, ada sekitar 25.919 PMA yang beroperasi.

Dengan banyaknya perusahaan asing yang datang menanam modal di Indonesia, tidak menjamin kesejahteraan bagi rakyatnya. Contoh kongkrit dapat kita temukan betapa tidak sedikit masyarakat Indonesia yang menderita kemiskinan, kelaparan, putus sekolah dan sebagainya maka perlu kita pertanyakan untuk apa perusahaan asing datang ke Indonesia?

kekejaman sistem kapitalis ini sudah sejak lama dipraktikkan para pemodal asing di Indonesia. Kalau kita buka kembali catatan sejarah bangsa ini, dahulu di masa pemerintahan Kolonial Belanda pernah diterapkan sistem kerja paksa yang disebut Cultuurstelsel (bahasa Belanda) di bawah pemerintahan Van den Bosch yang menjabat sebagai Gubernur Hindia-Belanda pada tahun 1830.

Penduduk desa dipekerjakan untuk menanam teh, kopi, tebu dan lain-lain sebagai permintaan pasaran dunia. Mereka mewajibkan rakyat untuk menanam seperlima dari tanahnya yang hasilnya kemudian diserahkan dan di ekspor oleh pemerintah Hindia-Belanda. Kondisi ini semakin memburuk saat pemerintah kolonial memaksa penggunaan lahan hingga mencapai setengah bagian ladang, pada perkembangannya tanah yang awalnya digarap petani pribumi dan telah terbebas dari pajak pada pelaksanaannya tetap saja dikenai pajak sewa tanah. Hasil-hasil penjualan tanamanan pun juga harus diserahkan kepada pihak pemerintah Kolonial Hindia-Belanda.

Kenyataan pahit lainnya, kerugian panen yang sejatinya akan ditanggung oleh Belanda, nyatanya tidak terjadi. Petani yang mengalami gagal panen harus menanggung sendiri semua kerugiannya. Semua pekerjaan pun diawasi oleh pengawas dari pribumi sedangkan para petinggi dari Belanda hanya mengawasi pekerjaan secara umum.

Terakhir, dapat kita jabarkan bahaya dari penerapan sistem ekonomi  kapitalis ini. Pertama, penumpukan kekayaan dan kekuasan individu yang meliputi keuntungan bagi perusahaan dan para investor, dibandingkan keuntungan bagi masyarakat. Paham kapitalisme juga dimanfaatkan oleh pihak birokrat dimana pemerintah sebagai salah satu pemangku kepentingan bagi perusahaan tanpa memedulikan apakah kepentingan masyarakat sudah dapat terpenuhi melalui peran serta pemerintah, atau belum. Dengan kata lain, sistem ekonomi kapitalis dinilai hanya menyejahterakan pihak swasta dan pihak-pihak lain yang terkait di dalamnya.

Kedua, penumpukan kekayaan dan kekuasaan individu. Masyarakat yang memiliki sifat individualisme cenderung lebih mengutamakan kepentingannya di atas kepentingan orang lain. Pemenuhan akan kebutuhannya harus diusahakan lebih dulu tanpa peduli jika usaha tersebut akan memberi dampak negatif pada masyarakat. Jika orang-orang seperti ini dibiarkan terus berkembang dalam masyarakat, maka dampak yang akan sangat terasa ialah punahnya kepedulian sosial dan perpecahan dalam kesatuan masyarakat.

Ketiga, kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial timbul dari masalah pengayaan individu yang mengabaikan kepentingan masyarakat. Sehingga muncullah stigma “yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin”, dengan kata lain, yang kaya dan semakin kaya akan menjadi berkuasa sedangkan yang miskin akan terus terpuruk tanpa dapat melakukan apapun. Bahkan pemerintah sekalipun pada akhirnya hanya akan dikenyangkan oleh kekuasaan yang membuat mereka kaya secara materi, namun tanpa sadar mengabaikan kepentingan masyarakat, khususnya kaum menengah ke bawah, yang terus mengalami penurunan kesejahteraan.(***)