Membaca Realitas

Faya, Antara Pascasarjana, Event Organizer dan Kopi

TIDORE (kalesang) – Tuntutan wajib kerja pasca kuliah, kerap kali meneror bagi para fresh graduated yang baru saja lulus kuliah. Tapi apa boleh buat, apa yang di espektasikan sebelum wisuda dan memperoleh selembar ijazah terkadang tidak berbanding lurus dengan kenyataan.

Hal itu pernah dialami gadis lajang 28 tahun kelahiran Tidore 1994, buah hati pasangan Karim Togubu dan Nurlaila Sangaji. Namanya Siti Faya Ila Togubu, dia lulusan S1 Jurusan Internasional Bisnis Administrasi di Universitas Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara 2017 silam.

Karir yang dirintis anak sulung dari tiga bersaudara ini cukup gemilang. Kepiawaiannya dalam dunia produksi, membuatnya cukup dikenal dikalangan generasi muda creative di Maluku Utara. Sebagai orang yang dipercaya sebagai manager di salah satu perusahan produksi event di Tidore yaitu Wildhouse Production, beberapa kali perannya cukup vital dalam event-event yang digelar pemerintah Kota Tidore seperti Sail Tidore 2022, Marasante, Festival Kampong Rameang, hingga event-event yang diselenggarakan beberapa kementrian di Tidore.

Bukan hanya dengan mantra “sim sala bim” untuk bisa ke level ini. Faya muda harus  memacu diri menggeluti dunia produksi sejak masih duduk di bangku kuliah. Saat ditemui kalesang, Faya membeberkan event pertama ia terlibat itu dimulai pada tahun 2015 yakni Internasional Asean Ekonomi, event gereja di Manado, dan event UMKM di Savira Beach Tidore Kepulauan. Sementara di tahun 2016, dirinya masuk dalam tim kreatif Indonesia Idol, dan event natal di Manado.

Kalau tidak cepat puas bukan manusia namanya. Di tahun 2017 jelang studi akhirnya di Universitas Samratulangi Manado, Faya ikut seleksi beasiswa Universitas Wageningen di Belanda dan lolos, namun ia tidak diizinkan kedua orang tua.

Meski tidak diizinkan, semangat yang Faya punya jauh lebih besar. Ia kembali fokus menyelesaikan kuliah yang sudah semester akhir. Hasilnya, ia lulus kuliah tahun 2017  lalu pulang ke Tidore.

“Ketika pulang tahun 2017 itu memang belum ada keinginan untuk bisnis dan lain-lain, karena memang ada keinginan lanjut S2. Jadi ikut seleksi Beasiswa S2 di Turkiye Burslari Scholarsip.” Jujurnya.

Menunggu hasil seleksi dengan berada dirumah, hari demi hari ia lalui di tahun 2017 itu dengan rasa jenuh, belum lagi sebagai anak yang sudah terbiasa dengan event, menurutnnya siapapun pasti alami hal  yang sama denganya lantaran Tidore yang minim event.

“Kerja-kerja kreatif di Tidore diwaktu itu belum ada pasar, jadi stag dan jenuh waktu itu. Setiap minggu itu pasti ke Ternate.”Ucapnya.

Karena rutinitas yang hambar, ia lalu didesak kedua orang tuanya untuk melamar kerja, entah apapun itu yang penting harus ada, namun yang ia temui adalah jalan buntu. Alternatif terakhir yang sempat  muncul dalam benaknya ialah menjadi translator di perusahaan tambang.

“Kalau tidak pilih ke IWIP, lalu saya mau ngapain.” Cetusnya.

Meskipun begitu, dibenaknya bekerja sebagai seorang buruh sangat tidak mungkin baginya. Dia lalu memutuskan untuk mengambil kursus Bahasa Mandarin di Jakarta selama satu tahun agar bisa melamar sebagai  translator di perusahaan.

Tetapi setelah selesai kursus, ia yang awalnya ingin masuk  perusahaan tambang,  berubah pikiran saat pulang ke Tidore karena bertemu event organizer wildhouse Production di tahun 2018. Menurutnya  karena sama pemikiran dan ketertarikannya terhadap event. Dia pun bergabung dan melanjutkan perjalanannya di dunia event bersama Wildhouse Production yang kala itu bermarkas di salah  satu Ruko Pasar Sarimalaha.

Baru saja berjalan beberapa bulan, hasil seleksi beasiswanya keluar dan diterima namun lagi-lagi segala pertimbangan ia hitung.

“Waktu itu saya berfikir saat pulang  S2, rekan-rekan di wildhouse pasti sudah melakukan banyak hal dan saat itu  saya baru saja mulai mencari pekerjaan. Jadi dari pada begitu mending saya merintis karir dari awal sama-sama dengan mereka dan membatalkan rencana S2.” Ujarnya.

Satu tahun berjalannya waktu ia bergelut event di Tidore bersama wildhouse, anak mantan anggota DPRD Kota Tidore Kepulauan ini merasa bahwa markas wildhouse sangat tidak cocok untuk membahas  hal-hal strategis karena letaknya di areal pasar yang ramai. Jadi timbul  ide untuk membangun sebuah coffeshop agar jauh lebih efektif, fresh, dan lebih rileks.

“Maka muncullah ide bikin Coffe dari Faya. Bikinlah bisnis plan lalu ditawarkan ke teman-teman dan allhamdulillah ada 5 orang yang mau dan punya semangat yang sama.” Katanya.

Cooffeshop yang direncanakan itu, kini dikenal dengan nama Legend House yang artinya rumah bersejarah. Nama itu disesuaikan dengan nilai bangunan tua yang digunakan, yakni rumah peninggalan Gubernur Irian Barat pertama, Sultan Zainal Abidin Syah yang disebut Kadato Kie Kici atau keraton kecil.

“Desember 2020 berdiri, saya Tomas, Ebenk, Kiki, Kobe, dan Imin, kerabat saya di Wildhouse join saham totalnya waktu itu Rp20 juta. Sistem yang kita gunakan, siapa yang modalnya paling besar, dialah nemimpin dan mendapat pembagian hasil paling besar, jadi modal saya paling besar diantara semua yaitu sekitar Rp11 juta. Untuk pembagian hasil, mereka berlima dapat Rp3 juta/bulan, sedangkan saya, lebih dari itu.” Ujarnya.

Dia menceritakan, proses mendapat izin memakai bangunan tua ini berangkat dari hasil kooordinasi antara dirinya bersama keponakan Almarhum Sultan Zainal Abidin Syah, Bakri Dano. Kesepakatannya, bangunan peninggalan tersebut harus tetap terawat dan terurus. Faya dan kelima kerabatnya itu dipinjamkan secara gratis dengan syarat selalu menjaga ketentuan sesuai norma adat yang berlaku.

“Jadi kesepakatannya secara lisan, tidak ada hitam diatas putih.”Katanya.

Pendapatan dari usaha rintisan bersama ini terbilang cukup menjanjikan. Kata dia, dilima bulan pertama pendapatan rata-rata per bulan dikisaran Rp20 juta melampaui target normal yaitu Rp11 juta.

“Di bulan ke dua dan ke tiga, pendapatan kita pernah tembus diangka Rp23 juta/bulan.”Beber dia.

Kendati begitu, baru delapan 8 bulan berjalan ia kembali diuji. Pihak keluarga yang berhak atas rumah peninggalan itu meminta agar segera dikosongkan. Akhirnya ia bersama kelima rekannya tersebut angkat kaki dari kadaton ici Agustus 2021 dan mencari tempat baru untuk coffeshop tersebut.

“Itu lumayan, ada sekitar 3 sampai 4 bulan kita cari tempat baru.” Ungkapnya.

Pasang surut dalam merintis usaha baginya bukan sesuatu yang baru. Ia terus berusaha hingga akhirnya menemukan tempat baru di samping kiri lapangan tenis, Kelurahan Gamtufkange Kecamatan Tidore. Dia bilang tempat yang baru ini dulunya adalah sebuah bengkel dari tahun 2004 yang merupakan milik keluarganya sendiri.

“Setelah dapat tempat, kesepakatan kontrak dengan pemiliknya Rp15 juta dalam setahun, tetapi bagusnya bisa cicil.”Ucap dia.

Namun untuk memulai lagi, Faya harus mengeluarkan duit di sakunya sebesar Rp50 juta, untuk pembangunan fisik dan mempercatik  desain interior gedung dengan merancang konsep semi industrial.

“Jadi konsep semi industrial ini kita desain ruang indoor maupun outdoor, karena menyesuaikan letak bangunan yang berada di tepi pantai. Tapi kalau waktu itu bikin konsep indor, akan memakan biaya yang jauh lebih besar. Lagian filosofi di tempat yang baru ini yakni dari mata turun ke hati, agar jika orang datang yang pertama kali kemudian melihat view bagus, maka akan tertarik untuk balik lagi.” Ujarnya.

Dua bulan berjalan singkat, tempat yang baru itu  selesai dibangun dan mulai buka pada februari 2022 dengan mengenakan nama Legend House. Sebab menurutnya daripada harus kembali bersusah payah membangun brand baru, mendingan gunakan nama lama karena sudah dikenal. Keputusan itu diambilnya berdasarkan hasil sharing dengan teman-teman Coffe Shop di Ternate.

Dia mengaku untuk merintis coffe shop untuk yang kedua kalinya itu berasal dari modal sendiri, namun untuk konsep dan dan ide desain gedung digarap bersama Tomas dan Kobe karibnya.

“Dari 6 orang kini tinggal 3 orang yang masih bertahan karena coffeshop sempat vakum, saya sempat tanya ke meraka apa masih mau lanjut?. Saya bilang jika masih mau bertahan kita lanjut, jika tidak saya tetap lanjut sendiri. Jadi yang bertahan hanya Kobe dan Tomas.” Tutur dia.

Karena semuanya tidak memiliki basic murni sebagai Barista, dia menuturkan banyak pihak turut ikut membantu. Dia bilang ada yang datang ke tempatnya untuk mengajarkan cara mengolah kopi. Meskipun begitu, dia bilang mereka bagi-bagi tugas, Tomas  fokus di head bar, Kobe bertugas sebagai superviser bahan dan evaluasi dana, sementara Faya sendiri lebih memilih untuk fokus di finansial dan management karena kadang-kadang dililit kesibukan di Wildhouse ketika ada project yang numpuk.

Saat ini, Coffeshop yang dirintis bersama itu sudah berjalan stabil secara finansial dan telah memperkerjakan dua karyawan. Karir Faya di Wildhouse juga berjalan mulus hingga kini memasuki tahun ke empat.

Itu semua tidak ia gapai dengan jalan yang mudah. Segala macam hambatan dan tantangan dihadapi dengan berbesar hati menjadi  kunci Faya muda terus melangkah hingga detik ini. Dia mengatakan inti dalam perjalanan hidupnya ialah selalu berjalan konsisten dengan apa yang dituju.

“Apapun yang kita lakukan tanpa membentuk sikap yang konsisten maka akan tidak berjalan sesuai keinginan. Dan yang paling penting adalah peran keluarga sebagai support system, itu kekuatan yang sangat besar. Itu yang membuat saya bisa bertahan hingga sekarang.” Tukasnya.

 

Penulis    : M. Rahmat Syafruddin

Redaktur: Wawan Kurniawan