Dalam perjalanan menyusuri kampung-kampung di Halmahera, warga selalu menuturkan mengenai bukit-bukit di kampung kampung mereka yang sedang direncanakan untuk dirusak oleh berbagai macam perusahaan tambang. Tidak diduga bahwa pulau sekecil Kayoa, kini sedang direncanakan untuk dilakukan penambangan emas di sana.
Bisnis skala global memang sedang memasuki babak baru bagi kehadiran kendaraan listrik. Bisnis yang berpayung pada klaim mengenai kendaraan listrik sebagai solusi bagi pengurangan emisi udara efek dari polusi yang dihasilkan kendaraan berbahan bakar minyak.
Klaim ini, sepintas masuk akal, tetapi ketika kita melihat hulu dari seluruh proses produksi bagi ketersediaan kendaraan listrik ini, penghancuran bentang alam dengan segala kerusakan sosial dan ekologinya sangat nyata.
Nikel harus digali dengan cara membabat hutan dalam skala besar-besaran dan seketika, sedangkan kebutuhan atas batu bara sebagai bahan bahan di pabrik pabrik ferro nikel makin meningkat.
Yang berarti proses pembakaran batu bara yang di pabrik ferro nikel melahirkan masalah berupa asap beracun yang menutupi langit biru, sebagaimana dapat kita lihat di kawasan industri PT. IWIP itu yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
Kehadiran pabrik-pabrik ferro nikel memicu perusakan yang sama di lain kepulauan seperti Kalimantan, dan lain-lain. 11 corong dari pabrik di PT. IWIP Halmahera Tengah misalnya, membutuhkan suplai batu bara sekitar 15 ton per hari bagi aktivitas satu buah corong. Yang berarti dalam sehari 11 corong itu membutuhkan suplai batu bara sebanyak kurang lebih 165 ribu ton per hari.
Dari sisi ini saja dapat dibayangkan bagaimana kolapsnya hutan-hutan Kalimantan. Demikian pula kecepatan produksi ferro nikel membabat habis hutan-hutan perawan di sepanjang Pulau Halmahera.
Dari segala sisi, klaim kepedulian lingkungan melalui bisnis kendaraan listrik adalah kebohongan terbesar, yang ironisnya dikampanyekan sedemikian, terutama oleh akademisi-akademisi, di bawah klaim kepedulian lingkungan.
Menyaksikan tetap besarnya pabrik PT. IWIP di Halmahera Tengah, kita menjadi yakin bahwa penghancuran atas kampung dan hutan itu akan berlangsung di semua tempat di Kepulauan Halmahera secara besar-besaran dan serentak.
Setidaknya, ada tiga perusahaan besar dengan luasan konsesi puluhan ribu hectare, yakni PT. Aneka Tambang (Antam), PT. STS, PT. ARA dan satu perushaan ilegal sedang membatat habis hutan dan pulau pulau kecil di sepanjang Halmahera Timur bagian tengah dan timur, untuk disuplai orrnya ke PT. IWIP, melewati titik-titik penting yang menjadi spot-spot ikan para nelayan di perairan Haltim-Halteng.
Beberapa tahun terkahir protes atas lalu lintas tongkang-tongkang selalu terjadi, dilakukan nelayan nelayan di pesisir selatan Haltim dan pesisir Utara Halteng. Bahkan blokade tak jarang dilakukan oleh nelayan yang ada di dua kabupaten itu.
Sialnya, pengurus publik di Maluku Utara secara umum, justru kaku dan gugup menyuarakan protes dan apalagi kebijakan pengaturan ruang yang lebih menjamin keselamatan warga. Sikap masa bodoh yang selalu didasarkan pada alasan mengenai kewenangan yang terbatas.
Jejaring pengrusakan atas Kepulauan Halmahera berjalan begitu leluasan, karena kehadiran PT. IWIP, ratusan kampung-kampung baik di pedalaman maupun pesisir Halmahera sedang menyediakan dirinya untuk dibabat habis bagi suplai orr ke PT. IWIP.
Tiga teluk besar yang menjadi pusat bagi nelayan ikan teri, kolaps sama sekali, Teluk Buli misalnya, sebelum PT. Antam bercekol, nelayan bisa mendapatkan 1 bahkan 2 ton ikan dalam satu bulan. Sejak tahun 2008, hasil tangkapan jatuh habis-habisan menjadi hanya 400 kilogram dalam sebulan.
Hal yang sama terjadi di Teluk Kao dan Teluk Weda, sebelum 2008, nelayan bagan Teluk Buli bisa mendapatkan uang sebanyak Rp8 sampai Rp10 juta per musim tangkap. Sekarang mereka mengaku hanya bisa mendapatkan uang sekitar Rp2 sampai Rp3 juta.
Hancurnya tiga teluk tersebut secara spesifik disebabkan oleh limbah tambang yang menggenangi perairan, dan lalu lintas kapal-kapal tambang, selain juga ribuan kilogram oli kotor yang sangat sering dilepas oleh kapal-kapal tambang ke dalam laut.
Kita tahu keluhan nelayan INKA Mina di Ternate mengenai menurunnya hasil tangkapan mereka karena pasokan umpan yang tidak lagi mencukupi dari Teluk Kao. Atau peralihan lahan sawah basah ke kelapa dalam yang terjadi di Subaim dalam skala besar, karena efek limbah tambang PT. Ara yang menghancurkan tanah karena limbah tambang yang menggenangi sungai Muria masuk melewati irigasi yang ada, kemudian terendam di lahan persawahan.
Sementara tuturan mengenai uang instan yang didapat dengan jalan kapling hutan dan pembebasan lahan makin menyebar ke mana-mana. Kampung Buli dan Pekaulang misalnya, warga tidak lagi peduli pada gunung Wato Wato yang letaknya begitu berdekatan dengan pemukiman dengan seluruh fasilitas alam super mewah seperti ratusan sungai sungai yang jernih dan bening. Setiap saat, yang dinanti adalah uang pembebasan lahan.
Demikian pula di kampung-kampung sebelah Utara Halteng, histeria pembebasan lahan bergerak begitu kuat. Di Sagea dan kampung-kampung sekitarnya, orang orang menjual wilayah cadangan perkebunan dan pemukiman dengan begitu gampangnya.
Bahkan situs-situs sejarah dan alam yang begitu bernilai dan vital tidak lagi menjadi bahan pertimbangan. Sungai goa Boki Maruru, puluhan sungai dan ratusan anak sungai, makam Sultan Jailolo dan Danau Guailol yang begitu indah sedang dirusak oleh perusahaan tambang.
Demikian juga kampung-kampung bagian tengah Haltim, seperti di kampung Maba Pura dan Buli, di mana bukit-bukit yang dialiri sungai besar sedang menunggu waktu untuk dihancurkan, Ironisnya, semua pengrusakan itu berjalan tanpa perlawanan yang berarti.
Segala proses penghancuran yang bernanung di bawah klaim ekonomi hijau dan ekosistem kendaraan listrik itu harus dihentikan, sebab beban ekologi dan sosial yang ditimbulkannya teramat besar.
Pulau Gebe cukup menjadi pelajaran tentang bagaimana nasib warga yang menghuninya setelah PT. Antam angkat kaki, seketika segala klaim pertumbuhan menjadi hilang seiring nikel yang makin sedikit disertai kolapnya sumber perkebunan dan air.
Gebe yang dahulu kaya dengan air, berubah menjadi tempat yang mengalami krisis air, di beberapa kampung warga harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk mendapatkan air yang disuplai dari daratan Halmahera, demikian pula kita bisa melihat kondisi ratusan sungai yang kolaps sama sekali.
Sungai-sungai yang dahulu begitu bening, kini menjadi kanal pembuangan limbah tambang, sungai Kobe di Halteng, sungai di Lelilef, kali Moronopo di Haltim dan masih banyak lagi sungai-sungai lainnya sudah kolaps sama sekali. Sementara yang lain menunggu nasib untuk menjadi rusak.
Begitu buruknya rasa penghargaan atas sumber-sumber kehidupan itu, bagaimana bisa kehancuran sungai-sungai besar itu seperti menjadi pemandangan biasa.
Dapatkan kita membayangkan bagaimana air begitu langkahnya di belahan bumi yang lain? Seperti orang-oanrg di Afrika, di mana orang-orang di sana terpaksa mengkonsumsi air seni binatang karena air yang tidak ada sama sekali.
Makin ke sini seiring ideologi pertumbuhan ekonomi yang makin menguasai alam pikir kita, rasa penghargaan atas ruang hidup dan sumber-sumber kehidupan yang vital itu semakin berantakan.
Hampir-hampir tidak pernah didengar suara kerisauan dan apalagi upaya perbaikan yang serius dan sungguh-sungguh atas segala kehancuran itu. Mencegah lebih baik dari memperbaiki, tetapi apakah akan ada pencegahan jika rasa prihatin atas kehancuran sungai dan hutan yang sedang terjadi itu tidak muncul ke permukaan?
Warga dan pemerintah daerah tidak bisa berdiam diri lagi menyaksikan proses penghancuran itu terjadi dengan mudahnya, hanya karena merasa disandera oleh peraturan dan kewenangan yang terbatas, karena segala kendali telah diambil oleh Pemerintah Pusat.
Sebab alam dan gramatikanya memiliki hukum sendiri. Alam dan hukum alam selalu tidak peduli pada segala kebohongan administratif hasil cipta pikiran culas manusia.***