Membaca Realitas
728×90 Ads

Demokrasi dan Moral Berpolitik

Dalam bernegara, banyak ragam sistem politik yang digunankan untuk menjalankan roda kekuasaan, dan demokrasi adalah salah satunya. Demokrasi sebagaimana diketahui, adalah sistem politik yang digunakan oleh banyak negara di dunia, tidak terkecuali Indonesai. Demokrasi dipilih sebagai sistem negara, oleh sebab adanya keistimewaan-keistimewaan khusus, yang dianggap sangat relevan dengan sosial masyarakt Indonesia yang majemuk.

Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16 sekaligus yang dianggap sebagai Bapak Demokrasi menjelaskan bahwa, “demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Tentu hal ini sejalan dengan cita-cita bangsa dan dasar Negara Republik Indosenia, yakni UUD 1945 dan Pancasila.

“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”(sila keempat).

“Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakya” (penggalan alenea keempat pembukaan UUD 1945).

Kedua penggalan kelimat di atas adalah sebagai bukti dan dasar yang kuat bahwa, sistem politik kenegaraan kita  adalah, politik kerakyatan (Demokrasi) yang mejamin hak dan kebebasan rakyat di mata negara, baik berupa ekonomi, hukum, politik dan sosial. Bahkan, di dalam kehidupan berpolitik, demokrasi dianggap mampu menjaga politik yang bersih dan bermartabat.

Berbicara mengenai demokrasi, tentu bukan hanya berbicara perihal sistem, melainkan pula tentang way of life atau pandangan hidup yang kemudian menjadi laku praktis kehidupan sosial, yang diharapkan menjadi budaya dengan moralitas yang tinggi di masyarakat. Sejalan dengan model dari spirit demokrasi kita, Donny Gahral Adian dalam pengantar Geneologi moral Friedrich Nietzche menejelaskan;

“Demokrasi berjalan dengan sehat apabila tidak ada satu kelompokpun yang memutlakan tafsir kebenarannya dan intoleran terhadap tafsir kebenaran kelompok lain. Kemutlakan satu tafsir kebenaran adalah bibit totalitarianisme dan merupakan musuh besar demokrasi”.

Dengan adanya keterbukaan, toleran dalam sikap dan pandangan, berupaya adil dalam pikiran dan perbuatan, dapat diharapkan bisa mewujudkan cita-cita demokrasi, terlebih demokrasi yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang majemuk.

Uraian di atas adalah gambaran mengenai cicta-cita luhur demokrasi, dalam menjalankan setiap sendi kehidupan berpolitik dan bernegara, guna mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Meskipun demikian diketahui, tidak dapat disangkal bahwa penyelewengan yang mecederai nilai-nilai demokrasi, dapat dijumpai di mana-mana. Soekarno sang proklamator  mengingatkan, “perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”. Siapa yang dimaksud oleh Soekarno bangsanya sendiri, yakni mengingatkan ancaman yang dihadapi setelah kemerdekaan.

Populisme, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) seolah-olah tak ada habis-habisnya di negeri ini. Laporan Transparancy International  bahkan menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup ke-5 di Asia Tenggara, dengan skor indeks persepsi korupsi  (IPK) 34 dari 0-100 pada 2022. Praktik-praktik negatif ini tentu sangat mempengaruhi kepercayaan publik, poltik, ekonomi dan kestabilan negara.

Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa praktik-praktik negatif yang sangat merugikan itu  masih tetap menjadi  momok yang menakutkan, bukankah keadilan dan kesejahteraan yang tercantum dalam sila ke-5 adalah tujuan bangsa, yang secara sadar dan telah diketahui secara bersama-sama, atau demokrasi adalah sekadar omong kosong tanpa makna, bila dibenturkan dengan realita kehidupan baik secara politik ataupun sosial?

Oleh sebab itu, dalam berpolitik membutuhkan pandangan hidup (way of life)  yang; “memiliki kemampuan untuk diarahkan oleh keinsafan atau kesadaran penuh akan benar dan salah dalam laku kehidupan, atau disebut pula dengan moral. Kenapa moral sangat diperlukan dalam berpolitik, karena yang menjalankan aktivitas politik adalah manusia yang pada dasarnya memiliki hasrat dan mempunyai kuasa atas kebebasannya.

Potensi-potensi kejahatan dalam berpolitik dapat dilakukan oleh siapa saja, terlebih bagi yang mempunyai peran dalam struktural politik, ia bisa melakukan apa saja dengan relasi kuasanya.  A.M Safwan, pembimbing pondok pesantren Muthahhari Yogyakarta mengatakan;

“Bagaimanapun rasionalitas kita, problem ekploitasi itu adalah hasrat. Dan peran akal adalah dapat membimbing kita. Bagaimana pengetahuan dapat membimbing kita, mensucikan kita”.

Kepintaran seseorang dengan gelar yang menterengpun tidak menjamin ia terhindar dari melakukan kejahatan, bukankah dapat kita saksikan, orang-orang yang ada pada struktural politik itu adalah mereka-mereka yang pendidikan dan bahkan sebagian bergelar tinggi.

Maka, pengetahuan tanpa moral artinya manusia hanya menjadi budak bagi hasratnya sendiri. Oleh sebab itu, meskipun telah ia ketahui tentang tujuan-tujuan luhur dari demokrasi; keadilan dan kesejahtraan bagi seluruh rakyat, hanya menjadi wacana tanpa makna, bila dalam proses berpolitik ia tidak dapat menegendalikan hasrat-hasrat kekuasannya.***

 

728×90 Ads