Membaca Realitas

Kisah Pilu Transpuan Pekerja, Dilecehkan di Tempat Kerja

Oleh: Sitti Muthmainnah

“Apa salah jika saya bekerja sebagai honorer? Saya juga manusia.” Ucap YF
YF (29) salah satu Transpuan di Kota Ternate yang saya temui di Taman Nukila menceritakan kembali kisah pilu saat pertama kali dirinya menjalani profesi sebagai honorer. Ingatannya tentang kejadian pada 2019 lalu itu masih sangat jelas.

YF menuturkan pada awal bekerja kerap kali dia dijadikan objek ocehan sebagian besar rekan kerja yang membuat dirinya merasa tidak nyaman.

Tak hanya ocehan, YF mengaku setelah 6 bulan bekerja, tindakan rekan kerjanya semakin berlebihan dengan motif candaan hingga membuat dirinya merasa tidak aman.

“Saya sering dikata dengan panggilan Pulia (banci), kata mereka saya tidak seharusnya jadi honorer karena profesi itu untuk orang normal,beberapa kali juga mereka pegang saya punya pantat lalu mereka tertawa,” ungkap YF.

Namun, pada saat terjadinya pelecahan, YF secara langsung mengambil tindakan dengan tegas dengan memarahi dan mengancamakan melaporkan sejumlah rekan kerjanya itu kepada pihak berwajib.

“Saya ancam dan marah hingga ribut di kantor, saya sampaikan bahwa saya ini juga manusia yang berhak kerja dimana saja, sejak awal masuk saya ikut alur ketika dikata pulia, tapi ini sudah keterlaluan,”tutur YF dengan wajah sendu.

YF adalah salah satu dari ratusanTranspuan di Kota Ternate yang memilih menjadi seorang honorer dan memperjuangkan haknya sebagai warga Negara untuk bekerja dengan rasa aman dan nyaman.

Di Kota Ternate, komunitas transpuan kerap bekerja pada berbagai sektor maupun bidang, salah satunya sebagai honorer pada instansi pemerintahan. Selayaknya pekerja lain, kelompok Transpuan memiliki kebutuhan untuk bersosialisasi dan mendapatkan ruang aman dan inklusif dalam aktivitas bekerja mereka.

Setelah bertemu dengan YF dan mendengarkan ceritanya, saya berinisiatif untuk memastikan jumlahTranspuan yang bekerja sebagai honorer di Kota Ternate, untuk mendapatkan data tersebut saya berkunjung ketempat Sekretaris Komunitas Srikandi Maluku Utara,Ghem (42).

Dalam pertemuan yang hangat itu, Ghem memaparkan per tahun 2021 jumlah Transpuan di Kota Ternate sebanyak 220 orang, namun hanya 10 Transpuan yang bekerja sebagai tenaga honorer dilingkup pemerintahan Kota Ternate hingga skala pemerintahan Provinsi Maluku Utara.

“Ada tetapi tidak banyak yang bekerja pada ruang publik.” Ujar Ghem
Ghem bilang pada lingkup pekerjaan, para transpuan masih menutup diri dengan mempertimbangkan kenyamanan saat bekerja.

“Mereka masih menutup diri dan tidak berani untuk speak up bahwa mereka itu Transpuan.” Bebernya
Dengan adanya jumlah honorerTranspuan tersebut, maka ruang bekerja yang aman dan inklusif bagi harus terjamin dengan membutuhkan dukungan dorongan dari berbagai pihak.

Terkait hal itu, Fahrizal Dirhan Sekretasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Marimoi menuturkan dalam perspektif hukum semua orang memiliki Hak Asasi Manusia (HAM), apalagi menyangkut dengan pekerjaan.

“Negara harus menjamin hak pekerjaan setiap manusia, khususnya pada hak-hak publik Transpuan.” Tutur Fahrizal
Ia juga mengutip bahasa yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia, Mahfud MD bahwa negara tidak menutup rakyatnya mempunyai interpertasi seksual dan jati diri seperti apa, namun kelompok tertentu tidak bisa memaksakan negara untuk mengakui hal tersebut, sebab konstruk Negara Indonesia berbeda.

Fahrizal pun menegaskan, regulasi sebagai jaminan terciptanya ruang yang aman dan inklusif bagi Transpuan pada lingkup Kota Ternate harus dikeluarkan oleh para pemangku jabatan.

“Negara wajib dan harus menjamin hak-hak Transpuan, apalagi pada konteks Kota Ternate, peraturan daerah maupun peraturan walikota sangat penting untuk menjamin hak Transpuan.” Tegasnya.

Kemudian hak setiap warga Negara dalam pekerjaan juga dilandasi dengan kekuatan hukum, yang diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 nomor 28 ayat 2 dengan bunyi Setiap Warga Negara Memiliki Hak Untuk Pekerjaan Yang Layak.

Jika diteliti, makna dari undang-undang tersebut tak hanya merujuk pada satu kelompok saja dan tentunya juga mencakup kelompok Transpuan.

Dikutip dalam modul pendidikan dasar Orientasi Seksual, IdentitasGender, Ekspresi Gender dan Sex Characteristics(SOGIESC) Arus Pelangi, Transpuan merupakan salah satu identitas gender yang dimiliki oleh manusia, yang mana sejak dulu isitilah untuk menyebutkan kelompok yang ditetapkan seks atau gender sebagai laki-laki sejak lahir tetapi mendefinisikandirinya perempuan selalu diberikan dan dilabelkan oleh orang lain di luar kelompok itu sendiri, mulai dari istilah banci, bencong, wadam hingga waria.

Pada tahun 2000-an silam mulailah muncul istilah yang diciptakan oleh kelompok itu sendiri, seperti trans woman (global), transperempuan dan transpuan (Indonesia).

Istilah ini dianggap lebih ramah daripada beberapa isitilah sebelumnya karena diciptakan oleh kelompok itu sendiri.
Alasan lain mengapa kelompok ini tidak menggunakan istilah wadam dan waria karena pada kata wadam atau wanitaadam dan waria atau wanita pria masih menggunakan kata ‘wanita’. Dimana kata ‘wanita’ sudah sejak lama ditolak oleh gerakan perempuan karena berasal dari kata jawa kuno yakni waniditoto yang artinya bisa diatur.

Penggunaan kata adam dan pria pada kata tersebut juga memunculkan kritik dari kelompok transpuan bahwa mereka tidak ingin disebut sebagai pria atau adam.

Kemudian penggunaan kata transpuan juga menunjukan bahwa ada kelompok perempuan lain yang ditindas karena memiliki ragam SOGIESC yang tidak normatif dan biner. Sehingga penggunaan istilah ini diharapkan mampu member warna pada gerakan dan perjuangan perempuan yang selama ini mengacu pada pembedaan jenis kelamin biologis saja.

Dorongan menciptakan ruang kerja yang aman dan inklusif ini memiliki keterkaitan dengan salah satu program pemerintah yaitu Ternate sebagai kota inklusif dan ramah HAM.

Program yang dirancang pada periode walikota M. Tauhid Soleman ini tentunya akan melibatkan berbagai elemen masyarakat, khususnya kelompok transpuan sebagai Kelompok minoritas.
Berhubungan dengan implementasi program itu, Dr. Nurlela Syarif Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Ternate mengatakan, sejauh ini pihak pemerintah secara optimal tetap mengakomodir hak-hak Transpuan pada sisi lingkup pekerjaan.

“Pemerintah tetap mengakomodir hak mereka diruang publik, tentunya hak kewarganegaraan juga diakui secara optimal,” ujar Nurlela.

Tak hanya itu, perempuan yang biasa disapa Nela itu juga menyampaikan jika terdapat perlakuan diskrimnasi yang dilakukan kepada Transpuan, khususnya pada lingkungan pekerjaan, maka akan pihaknya akan turut menelaah masalah tersebut.

“Paling tidak harus ada kerjasama antara Transpuan dan masyarakat lainnya, sehinga tidak ada yang saling terganggu,”pungkasnya.

Kerjasama dan sikap tegas dari anggota masyarakat, termasuk atasan, sangat membantu mengurangi pelecehan terhadap transpuan.

“Untungnya bos saya itu baik dan mengerti, jadi mereka diperintah untuk tidak mengulangi tindakan itu karena akan ada sanksinya,” ujar transpuan pegawai honorer ini.

Setelah kejadian itu, YF mengatakan hingga saat ini mereka tidak mengganggunya lagi. Entah takut dengan ancamannya atau sanski yang akan diberikan oleh atasan.
“Sekarang ini mereka tidak lagi ganggu, saya sudah maafkan mereka. Kita masih saling tegur sapa,” kata YF sambil tersenyum.***

Produksi ini menjadi bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa: Menciptakan Ruang Aman Gender dan Seksualitas di Maluku Utara Lewat Jurnalisme Keberagaman yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).

728×90 Ads
%d blogger menyukai ini: