Suatu pagi. Hujan deras baru saja berhenti. Di bawah pintu rumah seorang ibu berdiri. Matanya menatap sunyi. Sebentar lagi telah tiba lebaran Idul Fitri.
Aisah, begitu ibu itu disapa. Adalah seorang janda yang tinggal seorang diri. Anaknya hanya satu. Tapi sudah dewasa. Lima tahun lalu, suaminya, Ilyas, telah meninggal dunia. Ekonomi Aisah tak sebaik orang lain.
Keluarganya susah. Hanya berharap dengan 50 pohon kelapa. Sewaktu suaminya masih hidup, ketika pohon kelapa belum bisa dipanen, Ilyas menjadi buruh di pertokoan. Sementara Aisah harus membantu suaminya menjadi seorang babu rumah tangga.
Itu dilakukan untuk keberlangsungan hidup. Sekaligus biaya sekolah anak kesayangan mereka, Andreas. Hampir setiap hari Ilyas dan Aisah bekerja keras. Mereka tidak mau perlihatkan kesusahan mereka kepada orang di sekitar.
Di saat Andreas lulus SMA, bapaknya jatuh sakit. Cukup parah. Mau tidak mau harus dibawa lari ke rumah sakit. Dari hasil pemeriksaan, Ilyas ternyata memiliki penyakit jantung. Aisah sedih.
Sakit yang menimpa Ilyas itu membutuhkan anggaran yang cukup besar. Pada akhirnya, mereka memilih keluar dari rumah sakit dan berobat di rumah. Sayangnya, Ilyas harus kehilangan nyawa setelah dua minggu keluar dari rumah sakit. Aisah dan Andreas menangis sejadi-jadinya.
“Papa, siapa lagi yang nanti sekolahkan saya di perguruan tinggi.” Teriak Andreas sambil mengusap rambut bapaknya.
Aisah terus pegang kaki suaminya sambil menangis. Sesekali perempuan keturunan Arab itu pingsan. Andreas tak kuat melihat bapaknya diturunkan ke dalam tanah. Air mata Andreas terus menetes. Aisah dan Andreas menyelam kesedihan yang cukup lama. Hampir tiga bulan. Ibu dan anak itu mulai merasa sulitnya bertahan hidup.
“Mama, saya harus kerja untuk melangsungkan hidup kita berdua. Saya akan melamar di perusahaan tambang.” Ucap Andreas kepada ibunya.
Mendengar itu, Aisah makin sedih. Ia kembali menangis. Sejujurnya, perempuan 49 tahun itu tidak ingin anaknya bekerja. Tapi kuliah. Apalah daya, nasib berkata lain. Tiba waktunya, Aisah mengantar Andreas di pelabuhan. Ia tak kuat menahan air mata. Andreas terus genggam tangan ibunya sampai di depan pintu kapal.
“Jaga diri ibu baik-baik. Saya pasti kembali.” Kata Andreas sambil peluk ibunya erat-erat.
“Jangan lupa surati ibu kalau sudah tiba di tempat kerja.” Sambung Aisah dengan suara terisak-isak.
Kapal sudah stom tiga kali. Buruh pelabuhan siap naikkan tangga kapal. Di setiap sudut kapal para ABK berdiri sambil perhatikan kiri-kanan. Matahari hampir saja terbenam. Aisah benar-benar merasakan kehilangan. Orang-orang di sekitar yang mengenal ibu dan anak itu ikut prihatin.
Perlahan kapal meninggalkan dermaga. Tapi Aisah masih tetap berdiri melihat Andreas. Begitu juga Andreas yang berdiri di depan kapal sambil lambaikan tangannya.
Setelah seminggu Andreas tiba di tanah tambang, Aisah tak dapat kabar dari anaknya. Ia gelisah. Hatinya tak tenang. Hanya dengan sujud Aisah sampaikan kerinduannya.
“Ya Allah, semoga Andreas sehat-sehat di tanah rantau.” Doa Aisah kepada anaknya yang disampaikan hampir setiap malam.
Saat itu, di kampung Aisah belum ada jaringan telepon. Jadi, orang-orang masih mengandalkan surat yang dikirim lewat Kantor Pos. Sementara Aisah tidak bisa membaca, apalagi menulis.
Seiring berjalannya waktu. Tepat di bulan pertama mereka berpisah. Andreas mengirimkan sepucuk surat untuk ibunya. Aisah memanggil tetangganya untuk membaca surat tersebut.
“Ibu, saya sudah diterima di perusahaan tambang. Saya sehat. Maaf saya tak punya banyak waktu. Di sini, kami bekerja tak kenal siang dan malam. Tenaga kami diperas habis-habisan. Tapi jangan khawatir, ibu, saya bisa hadapi semua itu. Saya harap ibu selalu sehat.” Tulis Andreas kepada ibunya.
Hati Aisah merasa tenang. Ia tersenyum dan bahagia. Setiap bulan, selain Andreas mengirimkan surat ke ibunya, lelaki berdarah Arab itu juga mengirim uang untuk ibunya bertahan hidup. Nilainya Rp5 juta. Kebetulan gaji Andras hampir Rp9 juta perbulan. Waktu terus berlalu.
Setelah enam bulan berjalan, Andreas akhirnya dipecat dari perusahaan tambang. Ia membela temannya yang diperlakukan tidak sewajar oleh manager. Bukan baru kali ini, tapi ini adalah yang kesekian Andreas membela temannya. Namun ini yang paling Andreas benar-benar marah. Semua emosinya selama ini diluapkan.
Anak semata wayang ini bingung. Tidak mungkin ia balik ke kampung. Apalagi di kampung susah mendapatkan pekerjaan. Tiga hari setelah dipecat, di sore hari Andreas duduk di depan kosannya, ia melihat seorang bapak yang sedang lewat sambil pegang cangkul, di pinggang bapak itu tergantung parang yang terbungkus sarung.
Andreas penasaran dengan bapak tersebut. Karena selama ini, belum pernah ia melihat warga yang masih bertani. Akhirnya ia putuskan untuk ikuti bapak itu dari belakang. Setiba di depan rumah bapak itu, Andreas langsung dekati dan mencoba untuk menyapa.
Awalnya agak ragu-ragu. Ternyata bapak itu sangat rendah hati dan menerimanya dengan senyuman yang tulus. Andreas disuruh masuk ke dalam rumahnya Ia dipersilahkan duduk, kemudian panggil istrinya.
“Ini istri saya, namanya Hatija. Saya sendiri biasa dipanggil Lukman.” Ujar bapak itu sembari membuka parang yang ada di pinggangnya.
Hatija membuat kopi untuk Andreas dan Lukman. Di tengah perbincangan, Lukman menyampaikan bahwa dia adalah satu-satunya warga di sini yang masih bertani. Semua tanah milik warga di sini sudah dijual ke perusahaan. Andreas hanya menganga.
“Sudah beberapa kali pihak perusahaan datang untuk membeli tanah saya, tapi saya tidak mau. Saya pernah dirayu dengan uang rarusan juta. Bukan saja itu, saya juga pernah diancam.” Ucap Lukman kepada Andreas.
Kebetulan Lukman memerlukan orang untuk membantunya di kebun. Anderas dengan senang hati menawarkan jasanya. Besoknya Andreas mulai masuk ke hutan.
Meski Anderas telah mendapat pekerajaan, tapi uang yang diterima tidak sebesar bekerja di taman. Tapi ia bahagia. Hanya saja sudah jarang ia kirim untuk ibunya. Jika dalam sebulan ada rezeki lebih, Andreas kirimkan untuk ibunya, Rp300 ribu.
Sebelum dipecat dari perusahaan, Andreas pernah menyurat ke ibunya akan pulang lebaran di kampung halaman. Ibunya senang bisa bertemu dengan anaknya. Tapi perjalanan tidak semulus yang dibayangkan.
Di malam lebaran, terdengar suara takbir di mana-mana. Anderas hanya berdiam diri di dalam kamar kos. Sesekali ia mengingat ibunya dan menangis. Sementara ibunya, duduk di ruang tamu yang beralaskan tikar tradisional.
“Ibu, maafkan saya yang tidak bisa pulang lebaran bersama ibu. Saya rindu.” Gumam Anderas dalam hati.
Anak-anak di kampung berlari. Tertawa dengan senang hati. Para tetangga saling salam-salaman. Bau daun pandan sudah tercium di setiap rumah. Rumah pintu ibu Anderas masih tertutup rapat.
Ternyata, pukul 03:00 WIT dini hari, tiba-tiba ibu Andreas mengalami sesak napas. Ia berteriak. Tapi tak ada yang mendengarnya. Pada pukul 12:00 WIT siang, tetangga mencoba datangi rumah Anderas. Mereka mengetuk pintu. Tidak jawaban dari dalam. Tetangga tersebut mencoba berteriak sekeras mungkin.
Akhirnya tetangga itu pergi ke pintu belakang dan mencoba membukanya. Ketika berada di dalam rumah, Aisah terbaring di atas tikar. Sudah tak bernyawa.
“Tolong. Tolong. Tolong.” Tetangga itu terus berteriak sambil menggoyang tubuh Aisah.
Di hari kemenangan, Anderas mendapatkan kabar duka. Ibunya meninggal di saat Anderas sedang berjuang untuk bertahan hidup di tanah orang. Andreas menangis seorang diri. Tak tahu apa yang harus diperbuat. Selesai.
Catatan: Hanya Cerita Fiksi dari Penulis