Malam itu terasa tegang. Teriakan menjerit terdengar dari kamar sebelah. Semakin larut, suaranya semakin menggema, mengepul penuhi di seisi ruangan rumah.
Semua orang menjadi panik, termasuk sang suami. Sedari tadi, ia terlihat begitu sibuk mondar-mandir memikirkan nasib sang istri dan buah hatinya yang sebentar lagi bakal lahir.
Tepat pada pukul 12:00, rumah dengan desain model klasik itu tampak menjadi kelam dan sepi. Di kamar itu pula, terdengar suara bidan desa mengarahkan tarik nafas dan hembuskan.
Desiran nafas Ida melalang buana di telinga para warga yang datang, termasuk sang suami. Tentu, itu bagian representasi dari rasa sakit yang dialami. Ini adalah pengalaman pertamanya. Sakitnya tiada tara.
Proses lahiran anak kembar memang butuh waktu. Meskipun itu karunia dari tuhan, namun juga mendatangkan kepanikan yang tidak biasa. Sebab, jiwa sang suami dibuat gugup mengahadapinya.
Naasnya, dalam lahiran tersebut, bidan desa hanya mampu lakukan persalinan satu anak saja. Sementara satu anak lagi masih tertinggal di dalam kandungan ibu. Di sinilah suasana semakin tidak terkendali.
Meskipun sudah dilakukan dengan susah payah, sayangnya, jalan satu-satunya adalah sang istri harus dilarikan ke rumah sakit umum daerah yang berada di seberang pulau.
Sebagai seorang suami yang cinta terhadap istrinya, tentu Ahan begitu cemas dan sangat prihatin, karena memikirkan nasib sang istri maupun satu anaknya yang masih berada dalam kandungan.
***
Kisah ini dimulai pada tahun 2000 silam. Di mana sebuah keluarga kecil yang hidup di pedalaman desa dengan serba kecukupan. Namun atas dasar cinta yang kuat, mereka terlihat begitu bahagia.
Sang suami yang bagian dari kepala keluarga, tak henti-hentinya untuk bekerja. Meskipun hanya seorang petani, ia sanggup memenuhi kebutuhan keluarga tanpa berharap harta warisan dari orang tuanya.
Begitu pula seorang istri, yang notabenenya adalah ibu rumah tangga, tak rela membiarkan suaminya melakukan pekerjaan sendirian. Sesekali ia akan membantu tanpa berat hati.
Untuk melangsungkan kehidupan keluarga kecil itu, mereka memilih untuk tinggal di sebuah gubuk kecil berdekatan pantai. Sampai pada tahun 2002, Tuhan menganugerahi keluarganya dengan perut sang istri yang mulai membuncit.
Demi menjaga agar kandungan sang istri tetap sehat, Ahan rela melakukan apa saja. Termasuk mengurus pekerjaan rumah menggantikan sang istri untuk sementara waktu.
Masa terus berlalu, tibalah saatnya di mana sang istri untuk lahiran. Momen ini tentu yang selalu ditunggu-tunggu oleh Ahan. Karena ia akan segera menjadi seorang bapak.
Untuk memperlancar proses kelahiran buah hati, sang suami harus pergi memanggil seorang bidan yang berada di desa tersebut. Itu dilakukan demi keselamatan anaknya yang berada dalam kandungan sang istri.
***
Tibalah waktunya sang istri akan dilarikan ke rumah sakit. Jarak tempuh yang bakal dilalui untuk sampai di seberang pulau memakan waktu sekitar dua jam lebih, karena hanya menggunakan perahu kayu.
Dengan durasi tersebut, Ahan hanya bisa serahkan kepada sang kuasa atas takdir sang istri dan anak yang masih tertinggal dalam kanduangan. Meskipun rasa sakit terus menghampiri, tak sedikitpun melemahkan tekad Ida.
Tidak hanya Ahan, warga kampung juga ikut mengantar mereka. Selama dalam perjalanan, Ahan tak lupa bermunajat kepada Tuhan, itu dilakukan secara diam-diam. Alhamdulillah, Tuhan mendengar doa itu. Si buah hati telah lahir di atas lautan bebas.
Sayangnya, kelahiran anak kedua tersebut, rupanya dalam keadaan tidak bernyawa. Melihat itu, Ida tiba-tiba terkapar dan terbujur kaku, karena belum siap menerima kenyataan tersebut.
Tak sanggup menahan itu, tangisan warga bertumpah ruah di atas lautan. Diikuti teriakan sang suami. Kesedihan itu tak mampu dikendali. Namun pasrah bukanlah alasan. Sebab takdir Tuhan tidak ada yang tahu.
Ketika tiba di pelabuhan, Ida yang sedari tadi terlihat sekarat dan bocah imut itu langsung dilarikan ke rumah sakit umum. Di ruangan itu, takdir pasangan suami kembali berubah dratis melalui tangan mulia seorang dokter.
Betapa tidak, bocah yang tak bernyawa itu kembali hidup setelah detak jantungnya normal lagi. Sontak seisi ruangan dipenuhi rasa gembira. Namun harus membutuhkan perawatan medis lebih lanjut.
Rupanya, kebahagiaan yang mereka rasakan tidak bertahan lama, karena sang ibu harus melakukan operasi. Ini yang menjadi ketakutan sang suami. Tetapi apa daya, itu merupakan jalan satu-satunya.
Setelah beberapa jam menjalani operasi, lagi-lagi dokter kembali berhasil menyelamatkan nyawa Ida berkat kuasa Tuhan. Atas hal itu, Ahan tak henti-henti berterima kasih kepada dokter atas kerja kerasnya.
Sayangnya, anak kembar yang sudah dilahirkan dengan susah payah itu terpaksa diserahkan kepada saudara mereka untuk diasuh. Alasannya adalah, agar salah satu di antara anak tidak kembali mengalami sakit-sakitkan.
Dengan berat hati, Ahan bersama istri hanya bisa merelakan, karena harus menjalani kehidupan tanpa kedua anak yang sudah dilahirkan. Namun rasa itu perlahan mulai membaik dari waktu ke waktu.
Tetapi, rasa rindu orang tua terhadap anak pasti selalu ada. Namun itu selalu dipendam. Berjalan beberapa tahun kemudian, pasangan suami istri itu kembali dikaruniai dua orang anak.
Kebahagian mereka mulai kembali dirajut secara perlahan-lahan. Apalagi ditambah dengan seorang anak kembar yang diasuh oleh saudaranya pun telah kembali ke pelukannya.
Tahun terus berganti, pasangan suami istri itu sukses dianugerahi tujuh orang anak yang sehat. Hanya saja, anak perempuang pertama mereka masih tetap diasuh oleh saudaranya.
Meski demikian, Ahan dan Ida selalu berbagi penghasilan dengan anak perempuan mereka itu, karena yang namanya orang tua, sekalipun tidak serumah, mereka tetap menyayanginya.
Hingga saat ini, anak yang terpisahkan itu telah saling mengenal dengan saudaranya masing-masing. Sehingga mereka tetap akrab dan saling menyayangi antara satu sama lain.***