Di kaki Kie Matubu, tepatnya pada ketinggian 1.730
kepada kekasihku, aku bercerita
betapa romansa lelaki di negeri kaicili paparangan terus berkepanjangan, seakan tak mengenal lagi langit yang memarah.
Dalam perjalan berkisahku, aku terpaku sepotong tanyanya
Cintanya lelaki Tidore? Ia menyerupai benturan,
lalu menyusup ke dalam kepala
bergelantungan melayang di mana-mana
membuat naluri lelakiku kian tinggi.
Cintanya lelaki Tidore? Ah, ia riang bertanya
Berulang-ulang, kata itu menampar lagi
sinar matanya, wajahnya,
dan suaranya
ibarat baikole di ranting pohon-pohon sore itu.
Aku terdiam lama, berulang-ulang melenggok sana, dan sini
sesekali menatap matanya yang hening.
Hingga keluar menjadi bahasa lelaki:
Kekasih, setiap kali kau melihat
di mata lelaki lain cinta mereka
melembek-lembek bak singga yang kelaparan,
atau si harimau yang rakus
tidak juga denganya cintanya,
cintanya lelaki Tidore itu ia suci.
Ia menangkap kata-kata ku, saat daun-daun membuatnya mengenang tiga kekasih masalalunya
mereka yang mencintai dengan menghunus keris menjunam sperma,
ah, raut wajahnya berlinang. Namun, masih tersimpan tawa kecil.
Sambil merengek manja, bak anak kecil
Ia masih tetap membalas tatapanku, menatap dengan mata bertanya:
Di mana cinta lelaki Tidore yang suci itu?
Aku memandangnya, dengan pandangan suci, rasanya menemukan kembali repih-repih kehidupan yang antah berantah
Imajinasi ku lalu kembali tertuang tanpa makna :
Kekasih, cinta lelaki Tidore?
Ia bersemayam antara lautan dan hutan
Di antara semang-semang ayah dan keranjang kebun milik ibu.
Ia memeluk kata-kata ku penuh tawa
ranting dan daun seakan tersenyum
beberapa kali aku menarik nafas, sesudah bak pujangga di matanya yang penuh tanya.
Selepas derai tawanya
Aku terus berkisah untuk mengusir keraguannya :
Kekasih, sungguh cintanya itu tak seperti Spanyol dan Portugis yang menjajah nenek moyangku.
Aku mengajaknya untuk mendengarkan :
Di negeriku ini memang muaranya selalu bersembunyi, bila tiba musim rempah-rempah perempuan-perempuan sabar selalu mengemas seisi kebun
atau kaum ayah yang tabah meringkas hari dengan zikirnya debur ombak
bila yang tak pernah putus dimakan zaman.
Ia terkulai di atas kesukaan kisahku,
mengores satu per satu kata dalam kepalanya.
Lelaki Tidore, desinya
seakan-seakan menggelitik telinga.
Kekasih? Tengoklah ke tepi pantai,
ada romansa di sana.
Aku memaksanya mengintip anak-anak di negeriku, bila tiba mentari pulang, ada anak-anak lelaki, dan perempuan tak saling mengenal mana sepak bola
mana lompat tali.
Ia tertawa, bak aku yang pujangga, tapi kata-katanya melengking di degup dada:
Sungguh aku tidak meragukan lagi, bukankah semang-semang adalah pengasih dan keranjang kebun adalah penyayang.
Ingin sekali lagi kudengar kata-katanya itu,
yang ditiup angin ke penjuru-penjuru Kie Matubu
merdu dan menenangkan gemuruh hati.
Tapi bersama dengan sepasukan burung-burung berpulang ke rumah
Saat matahari tak lagi sesyahdu ayat-ayat tuhan.
Aku lalu mengikrarkan cintaku kepadanya :
Kekasih, aku dan Tidore adalah sepasang yang selalu sunyi, tetapi cintaku denganya selalu membuatmu bunyi, bukan?
Ternate, 21 Juli 2023