Membaca Realitas
728×90 Ads

Hutan Halmahera Dalam Ancaman Tambang Nikel, Burung Paruh Bengkok Diambang Kepunahan

HALTENG (kalesang) – Ketika menginjakkan kaki di Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara, terlihat hutan gundul dan asap tebal yang keluar dari cerobong PLTU milik perusahaan tambang PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Suasana ini seolah membawa kita ke kota metropolitan.

Perjalanan melintasi desa-desa seperti Lelilef dan Gemaf dipenuhi debu yang beterbangan di mana-mana. Pengguna jalan di desa-desa tersebut dipaksa menggunakan masker karena aktivitas yang sangat padat, dipenuhi karyawan PT IWIP yang berangkat dan pulang bekerja. Debu jalanan menutupi jarak pandang, membuat kecamatan yang jauh dari Kota Weda itu tampak lebih ramai.

Mata tertuju pada pegunungan yang kini hanya memperlihatkan tanah kemerahan tanpa pepohonan.

Ancaman kepunahan burung paruh bengkok di Maluku Utara berawal dari aktivitas tambang. Bukan hanya perdagangan yang masif, tetapi juga pembukaan lahan untuk konsesi pertambangan menjadi ancaman bagi populasi burung paruh bengkok dan satwa lainnya di hutan Halmahera Tengah dan Morotai.

Masri Anwar Santuli, warga Desa Sagea, Kecamatan Weda Utara, Halmahera Tengah, mengungkapkan bahwa dulunya Desa Lelilef, Gemaf, dan Sagea merupakan hutan lebat yang dihuni berbagai macam endemik Maluku Utara. Namun kini, hutan lebat di Desa Lelilef telah hilang, digantikan oleh gedung pabrik smelter dan PLTU milik PT IWIP, serta kendaraan dan alat berat yang terus berlalu-lalang.

Aktivitas tambang nikel di Halmahera Tengah membawa dampak signifikan bagi satwa liar yang mengandalkan hutan sebagai ruang hidup. Halmahera Tengah, Maluku Utara, seakan menjadi surga dunia bagi pengusaha tambang. Kabupaten seluas 227.683 hektar ini terbebani 66 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai 142.964,79 hektar, atau sekitar 60% dari total wilayahnya menjadi kawasan industri tambang.

Aktivitas tambang PT IWIP di Halmahera Tengah. 12 Desember 2023. Foto: Yunita Kaunar

PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) merupakan salah satu pengelola nikel di Halmahera Tengah, dengan kawasan industri Teluk Weda yang masuk dalam proyek strategis nasional. Industri ini mengelola bahan tambang feronikel dan turunannya menjadi baterai untuk kendaraan listrik, stainless steel, fasilitas pendukung, dan smelter.

Masri mengaku, sebelum adanya perusahan tambang banyak jenis burung yang dapat dilihat secara kasat mata dihutan, Desa Lelilef hingga Desa Sagea, seperti burung, Kakatua Putih (cacatua Alba), burung tawon, burung merpati putih, burung maleo dan jenis  lainnya.

“setelah adanya tambang, burung spesies endemic yang sering dijumpai di hutan Halmahera Tengah ini sekitar 99 persen melakukan migrasi besar-besaran di tempat lain yang jauh dari kebisingan industri tambang.”Akui Masri.

Migrannya burung endemik ini karena tidak memiliki tempat lagi, karena pohon telah ditebang dan membangun industri tambang ini.

Masri menggambarkan, jika kita baru memasuki Desa Lelilef Weda Tenga hingga Desa Sagea Weda Utara, kita dapat melihat langsung hutan yang dulunya lebat kini disulap bagaikan kota metropolitan, dipenuhi dengan gedung-gedung tinggi megah, itu dia merupakan pabrik smelter dan lainnya.

“bagaimana burung-burung ini bisa hidup, hutan sudah dibabat habis.”Kesar Masri.

Masri juga membenarkan, selain eksplorasi tambang yang mengancam keberadaan habitat burung endemic Maluku Utara, perburuan secara masif juga mengakibatkan ancaman serius terhadap satwa di Maluku Utara khususnya di hutan halmahera.

“Perburuan satwa liar yang masif juga, mengancam populasi burung paruh bengkok seperti kakatua dan nuri.” Jelas Masri.

Emang bahwa investasi tambang ini merusak semua lini hidup dan kehidupan baik itu alam dan manusia dalam konsep pangan, air dan sumber daya alam lainnya. Sementara perburuan masif di Maluku Utara, terjadi Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.

Tak hanya Masri, Maksi Goro ketika ditemui di rumahnya di Desa Gemaf, yang tak jauh dari industri tambang milik PT IWIP tersebut mengatakan, ngoni (kalian) bisa lihat sendiri kalau pohon-pohon saja so tara keliatan bagaimana burung mau tinggal (menempati). 

Tong manusia saja, hidup saja me susah, apa lagi burung yang mengandalkan hutan yang tara ada akal kaya torang manusia,”kata Maksi kesal.

Dulunya jalan yang ngoni ada lewat (jalan yang dilintasi) itu kiri-kanan samua hutan lebat. Sekarang lihat sandiri ada pabrik, ada gedung besar, jika torang lewat deng malam so sama deng torang tinggal di kota-kota besar.

Utang pe basar itu dorang so gusur abis mo (Hutan sebesar itu sudah digusur habis), bagaimana binatang (burung) mau tinggal” kata Maksi.

Kader: Raja Hutan Menguasai Daratan Pulau Oba dan Halmahera Tengah

Peta Persebaran Penjualan Burung Kakatua. (Infografis Garda Animalia)

Kader Hayu (73) Pemburu burung paruh bengkok,  Pertemuan dengan Kader pria paruh baya  berusia lebih dari setengah abad tersebut, masih terlihat sehat dan kuat, kami disambut dengan senyum ketika menghampirinya di rumah, Desa Kosa Kecamatan Oba, Kota Sofifi Provinsi Maluku Utara.

Kedatangan kami disambut baik oleh Kader, kader secara terbuka mengisahkan tentang perburuan burung paruh bengkok dan satwa lain yang digelutinya kurang lebih 22 tahun lamanya.

Kader dijuluki raja hutan oleh kebanyakan warga daratan Kecamatan Oba hingga Halmahera Tengah, Kader sangat cekatan dalam perburuan panjangnya terhadap satwa liar.

“Saya berburu itu sejak tahun 1978 hingga 2000, saya juga sering disebut warga sebagai raja hutan.” Bebernya. 

Perburuan dilakukan seorang diri, dengan bermodalkan keberanian, menyusuri hutan Halmahera tersebut, penelusuran hutan dalam rangka berburu membutuhkan waktu paling cepat seminggu dan paling lama dua minggu agar mendapatkan perburuan yang maksimal. 

Dalam berburu satu hari bisa mendapat sekitar 60 ekor burung,  dalam seminggu bisa ratusan lebih, hal ini dikarena dulunya belum ada saingan dalam berburu jadi masih mudah mendapatkan burung di hutan.

“Jadi kalau masuk itu bahwa kandang besar, kalau dalam seminggu bisa mendapat ratusan ekor bisa hingga 600 ekor burung yang dibawa pulang untuk dijual.” katanya.

Ia mengaku, belajar berburu dari orang suku Kao di Halmahera Utara. Ilmu diperolehnya tidak diajarkan kepada siapapun termasuk anaknya.

“saya berfikir kalau ajar ke orang lain, atau berburu membawa orang lain, maka orang tersebut akan mengetahuinya, dan bakal jadi saingan dalam berburu, sehingga saya memilih untuk berburu sendiri, dalam seminggu atau dua minggu bisa sampai 600 ekor atau lebih yang akan dibawa pulang.” Jelasnya.

Kasturi Ternate saat berada ditangan pemburu. (Foto: Yunita Kaunar)

Berburu juga memiliki tantangan sendiri, sama halnya ketika masuk ke hutan  bertemu dengan masyarakat suku Tobelo dalam, ini menjadi kekhawatiran saya saat berburu, karena bertemu dengan masyarakat suku maka nyawa menjadi taruhan.

“Masyarakat suku itu, menganggap kita orang desa itu adalah musuh, karena telah masuk ke wilayah mereka,”ungkapnya..

Selama kurang lebih 22 tahun, berburu burung paruh bengkok dan satwa lainnya, hal ini menjadi satu-satunya mata pencaharian, untuk kebutuhan ekonomi dan pendidikan untuk anak-anak.

“Saya menangkap burung itu juga kase kebutuhan anak saya sekolah, makan minum samua dari situ, makanya harus berburu.” Jelasnya.

Tak hanya burung yang jadi incaran perburuan, namun ada rusa dan juga buaya. “Dengan berburu ini saya bisa memenuhi kebutuhan saya dan keluarga.” Tukasnya.

Burung yang diburu merupakan burung nuri, burung Kakak tua. Perburuan pun dilakukan  dari Daratan Kecamatan Oba Tidore Kepulauan hingga Halmahera Tengah.

Perdagangannya terbuka, siapa saja yang mau beli tinggal menghubungi saya, dan bakal dicairkan. Jika tidak ada yang memesan, maka burung-burung yang sudah tertangkap bakal dipasarkan di depan rumah, dibuatkan tempatnya dan digantung depan rumah untuk dipasarkan.

Penjualan tidak menyasar kepada oknum tertentu, namun siapa saja yang mau membelinya. Namun kebanyakan merupakan oknum tentara dan polisi.

Untuk penangkalan sendiri dimulai dari Desa Gita hingga ke Weda Halmahera Tengah. Perburuan dilakukan sendiri, bahan yang digunakan untuk menangkap burung merupakan getah sukun.

Cara membuat pun cukup mudah hanya cukup getah sukun dimasak hingga matang dan kemudian dimasukan dalam wadah yang tertutup untuk dibawa berburu.

Tak hanya lem perekat burung saja, namun saat berburu juga harus membawa umpan berupa burung, Kakatua dan Nuri.

“Cara pancingnya satu pohon yang jadi target itu, torang pasang duku semua pohon itu dengan lem yang sudah disiapkan dari ujung pohon hingga ke batang pohon, kemudian burung yang jadi pancingan, digoreng-goyang untuk bersuara agar teman-teman burung lain datang menghampiri pohon tersebut dari situ lah burung-burung itu bakal kenal lancingan lem.” Bebernya.

Namun berjalannya waktu di tahun 2000 ia kemudian memutuskan untuk berhenti berburu, karena sudah mendapatkan teguran dari pemerintah Dinas Kehutan dan Balai Nasional Aketajawe.

Ia mengaku, sejak berhenti berburu di tahun 2000 kemudian dirinya diangkat menjadi, Masyarakat Mitra Polhut (MMP) Balai Nasional (Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata), untuk sama-sama menjaga satwa di hutan Halmahera tersebut.

Dengan adanya teguran dari pihak kehutan itu, membuat saya harus berhenti, karena melanggar aturan.

“Ada petugas dari Provinsi dan Kecamatan dan aparat datang menangkap saya, namun saya menjawab jika kalian menangkap saya karena saya berburu burung, bagaimana dengan anak-anak saya yang masih sekolah, dari situ saya diberi kesempatan, untuk berhenti menangkap dan saya menurutinya,”jelasnya.

Sejak berhenti menjadi pemburu, akhirnya saya mengurus kebun untuk melanjutkan sekolah anak-anak.

Ketika ditanya apakah merasa rugi saat berhenti dari perburuan ? Ia mengaku rugi sudah pasti ada, karena melalui berburu ia dapat memperoleh uang. Namun dalam hatinya, berhenti berburu juga membawa dampak yang positif.

“Jika dulu menghabiskan waktu hanya di hutan, saya secara pribadi merasa rugi pada kesehatan saya sendiri, kalau soal pendapatan uang saya bisa cari dengan jalan lain.” Jelasnya.

“Setelah berhenti berburu, jika saya melihat Orang yang berburu saya langsung menegur.” Katanya.

Sekarang saya sudah mendapat edukasi dari Balain Nasional Aketajawe, untuk sama-sama dapat menjaga satwa yang ada di hutan.

“Jika kedapatan orang menangkap saya tegur, saya sampaikan jangan lagi tangkap burung karena burung-burung ini sudah dilindungi oleh pemerintah, namun masih kedekatan lagi minimal 3 kali saya akan lapor ke Balai Aketajawe.” Ungkapnya.

Ia mengaku perdagangan di tahun 1977 harga burung per ekor itu Rp 15.000  dan Rp 30.000 termahal.

“Kalau harga Rp 15.000 untuk harga lokal namun kalau yang beli orang dari luar itu harga Rp 30.000, dan yang beli dulunya sangat banyak ada yang bawa ke Jawa dan lainnya.” Tukasnya.

Di Tahun 1977 pemburu burung hanya saya sendiri, dan tidak menggunakan tempat penampungan, hanya dibutakan tempat gantung untuk dipasarkan.

“kalau di rumah sudah tak pake kandang besar, hanya dibuat tempat gantungan dan digantung di pohon-pohon depan rumah, ketika orang liat baru mereka beli.” Katanya.

Ia mengaku, hingga berhenti dari perburuan ia tidak mengajarkan kepada anaknya berburu. “Saya tidak berkah mengajarkan anak saya berburu cukup saya saja, saya khawatir mereka kesenangan dan tidak mau melanjutkan sekolah jadi saya tidak pernah ajar hingga saya berhenti berburu.” Pungkasnya.

Tambang Masuk, Satwa Hilang.

Ini Jenis burung kakatua. (Infografis: Garda Animalias)

Maksi mengajak kami, untuk duduk dan melihat bagaimana aktivitas tambang yang beroperasi dapat dilihat dari pesisir pantai. Terlibat debu menutupi sebagian gunung yang gundul, hanya terlihat beberapa pepohonan yang masih berdiri.

Aktivitas produksi Smelter dan kendaraan yang berlalu lalang dan kebisingan mesin pabrik, sudah pasti bahwa burung apa pun tidak bisa mendiami hutan tersebut.

“Hutan saja so tara ada bagaimana burung mau hidup disitu, mesin babunyi, motor dan oto babunyi burung so pindah di hutan lain lah.. tara mungkin burung menyesuaikan.” Ungkapnya ketus.

Maksi mengatakan masyarakat kecil seperti saya ini, siapa mau dengar keluhan saja, apalagi kehidupan satwa. “Yang pasti burung di Hutan sini (Gemaf) so tara ada lagi.” Pungkasnya.

Usman Madjo Kepala Desa Wewemo, Kecamatan Morotai Timur, Kabupaten Pulau Morotai Maluku Utara, mengaku ancaman kepunahan sejumlah burung endemik Maluku Utara seperti kakatua, Nuri Bayan dan Kasturi Ternate, ini menjadi perburuan yang masal, tak hanya Morotai saja namun hampir semua di Maluku Utara.

Selain perburuan, pembukaan hutan menjadi pemicu utama saat ini, sama halnya di hutan Halmahera tengah, Halmahera Timur, Pulau Obi dan pulau Morotai yang hutannya sudah ditebang sehingga mengakibatkan populasi terus berkurang.

Usman mengaku, untuk mengantisipasi hilangnya populasi burung paruh bengkok, di Morotai dirinya membuat pariwisata burung endemik di Hutan Desa Wewemo.

Usman, mengajak kami memasuki hutan Desa Wewemo yang berjarak 9 kilo dari pemukiman warga. Untuk memasuki hutan kami bersama rombongan menggunakan mobil truk. 

Setibanya di hutan yang merupakan lokasi pemantau, hutan ini merupakan hutan yang diberikan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) kepada LPHD Desa Wewemo dengan luas area 611 hektar pada kawasan HPK dengan izin Nomor : SK.7117/MENLHK – PSKL/PSL.0/10/2018 selama 35 tahun.

Usman mengatakan  jika ingin melihat burung di lokasi ini dapat dilihat pada pagi dan sore hari, jika di siang hari masih terlihat namun sangat sedikit jumlahnya.

“jika di sore hari banyak burung di sini, dan hutan ini sudah kita dilarang untuk warga menangkap burung di sini.” Kata Usman.

Meski demikian, untuk wilayah ini khususnya burung kakatua Alba, sudah tak ada, karena dulunya diburu secara masif  hingga, populasinya mulai punah dan hilang di hutan Desa Wewemo.

Usman menuturkan, ancaman populasi burung paruh bengkok ini sangat serius, namun tidak terlalu menjadi prioritas untuk pemerintahan, akses masuk lokasi Pantauan burung, usman memanfaatkan jalan bekas dari aktivitas Perusahan tambang kayu pada tahun 1980 an.

Usman pernah meminta kepada pemerintah untuk membuka akses jalan menuju lokasi pemantauan yang berjarak 9 kilo tersebut, namun hingga saat ini permintaan jalan ini belum juga terlaksana.

Namun Usman tak patah semangat, untuk mengembangkan wisata pemantauan burung tersebut, Usman saat ini ia melibatkan pemuda desa untuk menjadi pemandu ketika ada tamu yang ingin memantau burung.

“Saat ini keterlibatan pemuda ini, dengan tujuan agar mereka juga belajar melestarikan alam, karena mereka merupakan generasi penerus, yang akan mewarisi alam ini, selain itu juga bakal menjadi pendapatan untuk mereka jika banyak yang mau berkunjung.” Jelas Usman.

Untuk sejauh ini sudah banyak tamu mancanegara yang berkunjung untuk memantau burung secara langsung di huta Desa Wewemo.

“ketika wisatawan mancanegara yang datang semata-mata untuk mencari Desa Wewemo, dalam rangka memantau burung, saya sebagai kepala Desa sangat merasa bangga karena desa ini menjadi dikenal oleh wisatawan mancanegara.” Beber Usman.

Tambang Jadi Ancaman Serius

Kepada Seksi Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku Utara Abas Hurasan, juga mengaku ancaman populasi di Maluku Utara ini selain perburuan yang begitu masif, adapun pembukaan konsesi tambang.

Perluasan konsesi pertambangan, ini sudah pasti bahwa hutan-hutan itu di tebang, secara otomati burung itu akan mencari tempat ternyaman, terutama burung kakatua ini harusnya mereka memiliki pasangan untuk dapat menambah populasi, jika pasangannya tidak ada maka populasi itu tidak dapat bertambah.

Sementara burung kakatua itu hanya untuk menambah populasi hanya bisa mengandalkan pohon yang rusak atau lapuk untuk dijadikan tempat untuk kawin, sementara pohon dengan jenis itu sudah sangat sedikit dan mungkin sulit ditemukan. 

“Maka sudah pasti populasi terus berkurang, apalagi dengan adanya perusahan tambang sudah pasti kualitas pohon yang dimaksud sudah mulai sulit dan kerusakan hutan itu sudah pasti sangat mengancam populasinya.” kata Abas.

Ancaman populasi burung paruh bengkok ini sudah sangat serius  di Maluku Utara, selain dari perburuan, penyelundupan hingga perdagangan masih terus ada, meskipun saat ini di Maluku Utara, tren sejak tahun 2028 hingga 2023 alami penurunan, namun tidak dapat dipastikan bahwa tak ada lagi perburuan, bisa jadi skema perburuan hingga perdagangannya yang sudah berbeda.

Karena Maluku Utara, wilayahnya sangat luas, dan BKSDA memiliki keterbatasan untuk mengakses semuanya, untuk itu BKSDA juga melibatkan beberapa instansi yang dapat bekerja sama dalam menangani perdagangan hingga ancaman punahnya satwa endemik Maluku Utara tersebut.

“Wilayah  kita begitu luas, dengan personil yang terbatas, kami berharap kerjasama antara instansi ini dapat membantu, dan peningkatan sosialisasi terus dilakukan agar masyarakat juga tidak menangkap burung untuk sekedar dipelihara atau di jual.”Tegasnya.

Tak hanya BKSDA yang mengaku pembukaan hutan oleh perusahan tambang dapat mengancam populasi burung endemik di Maluku Utara. Benny Aladin, Maluku Islands Coordinator Burung Indonesia, membenarkan kondisi serupa, pembukaan lahan yang mengancam habitat burung endemik dan juga populasi burung, terutama burung paruh bengkok di Maluku Utara.

8 Jenis Famili Pesittacidae yang paling banyak diperdagangkan. (Infografis Garda Animalia)

Data Burung Indonesia tahun 2023 mencatat keragaman burung di Maluku Utara, Provinsi Malut sebanyak 350 jenis burung, Kepulauan Halmahera 282 jenis dan Kepulaun Sula  160 jenis. Dari 282 jenis burung di Kepulauan Halmahera yakni Family/Suku: 63, Genus/Marga:177, Endemis Genus: 4 diantaranya Melitograis, Habroptila, Lycocorax dan Semioptera. 

Dari 29 jenis endemis di Kepulauan Halmahera 26 jenis ini bisa dijumpai di pulau Halmahera yakni elang-alap halmahera, mandar gendang, walik dada-merah, walik topi-biru, walik kepala-kelabu, pergam boke, kasturi ternate, kakatua putih, serindit maluku,  wiwik maluku, bubut goliath, punggok halmahera, atoku maluku, cekakak biru-putih, cekakak murung, tiong-lampu ungu, paok halmahera, kepudang-sungu halmahera, kapasan halmahera, kacamata halmahera, cikukua halmahera, cikukua hitam, kepudang halmahera, cendrawasih gagak, bidadari halmahera dan gagak halmahera. 

Sementara itu, 4 Jenis Endemis Pulau Halmahera (persebaran hanya ada di pulau Halmahera) yakni mandar gendang habroptila wallacii tidak umum, menghuni daerah ber-rawa dan tepi sungai, baik di tepi hutan maupun hutan-hutan primer dan cekakak burung halcyon funebris tidak umum, menghuni daerah ber-rawa, di hutan sekunder, tepi hutan, kadangkala sampai ke perkebunan dan kepudang halmahera oriolus phaeochromus cukup umum, menghuni hutan primer, sekunder, dan lahan budidaya serta kepudang-sungu halmahera coracina parvula cukup umum, menghuni hutan primer dan sekunder sampai tepi hutan. 

Benny mengaku, jika hutan alaminya mengalami degradasi sudah pasti ada ancaman untuk populasi, sama halnya seperti perluasan hutan akibat aktivitas tambang.

“Hutan alaminya dihabiskan saya bisa bilang berbanding lurus, semakin banyak hutan hilang itu populasi burung dan dan satwa lain berkurang jadi berbanding lurus.”Ungkap Benny.

Jelas Benny, burung paruh bengkok pada intinya tidak dapat membuat sarangnya sendiri. 

Seperti halnya burung paruh bengkok itu,  mereka tidak bisa berdiam di pohon kelapa, harus pohon besar dan tua dan lubangnya itu proses pelapukan alami atau rusak karena faktor alam, atau pohon yang terkenal  sambar petir lalu rusak dan membusuk ada lubang ditengahnya. 

Jenis pohon seperti itulah, bisa dipakai sarang burung kakaktua dan sangat jarang, sedikit kriteria pohon itu. 

“Jadi, hutan alaminya dihabiskan saya bisa bilang berbanding lurus, semakin banyak hutan hilang itu populasi burung dan dan satwa lain ikut berkurang.” Jelas Benny.

Jadi semakin banyak hutan dibuka, semakin turun populasi burung endemik atau reptil dan sejenisnya dan hal ini terjadi disemua tempat. 

Sementara perburuan begitu masif terjadi, dikarenakan pada  waktu itu burang ini tidak dilindungi, atau tidak diatur dalam peraturan  daerah, baru di tahun 2018 barulah aturan perburuan burung paruh bengkok itu dilarang.

“Bahwa semua burung paruh bengkok ada di Maluku Utara dilindungi Undang-Undang, dari situ terkunci semua. Tidak ada lagi alasan legalitas burung dibawa keluar.”Ungkap Benny.

“Tapi, sebelumnya tidak  ada perlindungan, ada kuota tangkapan alam, dulu banyak perusahan disini yang punya izin kuota tangkap dan jual.Setelah ada aturan barulah hal ini dihentikan, namun masih ada praktek-praktek yang dilakukan, dengan cara menyelundupkan dan lainnya.” Akuinya.

Balai Nasional Aketajawe Lolobata

Kakatua Maluku atau Kakatua jambul Salmon (Cacatua moluccensis ) diselamatkan Balai Nasional Aketajawe Lolobata. (Foto: Yunita Kaunar)

Polisi Kehutanan Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata,Akhmad David Kurnia Putra, saat dikonfirmasi, Senin 13 November 2023, menyampaikan. Deforestasi merupakan perubahan kawasan hutan yang penuh dengan makanan dan rumah bagi satwa, tentu saja dengan adanya deforestasi membawa dampak negatif sangat besar bagi satwa liar.

Terutama sebagai tempat bermain satwa yang sudah tidak ada, dan sumber pangan, karena burung pemakan biji-bijian serbuk bunga, serangga tersebut  rantai makannya diperoleh dari hutan itu sendiri.

“Sudah pasti sangat mengancam kehidupan satwa dan ancaman punah terhadap satwa itu sendiri, sudah pasti.” Ungkapnya.

David juga menjelaskan bahwa hutan merupakan tempat mengembangan biayakan satwa, untuk itu jika hutan mengalami perubahan seperti kehilangan tutupan hutan hal ini sangat berpengaruh pada kehidupan satwa yang mendiami hutan tersebut, dengan sendirinya satwa baik burung paruh bengkok, atau sejenis lainnya akan mencari tempat untuk dapat hidup.

“Udah dapat dipastikan bahwa Perkebangan biakan satwa itu dari alam dan hutan, jika hutan telah terdegradasi sudah pasti membawa ancaman serius termasuk kepunahan.” Jelasnya.

Untuk solusi atas kerusakan satu hutan karena deforestasi tambang, maka Pasca tambang harus melakukan penanaman kembali atau reboisasi, kita tau bahwa menanam membutuhkan waktu begitu lama untuk pulih kembali satu hutan, namun hal ini tetap dilakukan agar hutan tersebut satu ketika basi kembali dihidupi oleh satwa endemik Maluku Utara itu sendiri.

“Penanaman pun dilakukan kembali dengan pepohonan yang asli di Halmahera itu sendiri, pohon asalnya agar satwa itu lebih nyaman dengan alam tersebut.” Katanya.

Lebih lanjut David mengaku, ancaman secara serius telah teridentifikasi meredup akan Kakatua putih Maluku Utara, mengalami  penurunan dari tahun 1993 mengalami penurunan secara status dari persentase angka 100.000 ekor Kakatua Putih hingga 2023 tersisa 20.000 ekor. 

“Ancaman berkurang makin serius dengan adanya deforestasi, perburuan dan perdagangan, namun jika masyarakat lebih sadar untuk tidak berburuh maka, populasi bisa bertambah.” Cetusnya.

Sementara,untuk luas hutan konservasi Taman Nasional Aketajawe, 67.000 hektar, sementara hutan konservasi Lolobata sekitar 90.000 hektar.

Hutan Konservasi adalah hutan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistem.

“Konservasi Taman nasional ini tidak bisa lagi diterobos oleh Perusahan tambang mana pun, karena ini telah diatur jelas dalam UU.” Tandasnya.(*)

Peliput : Yunita Kaunar

___

Liputan ini merupakan kolaborasi Kalesang.id, Mongabay Indonesia, Jaring.id, Zonautara.com, yang didanai lewat program Fellowship Bela Satwa Project 2023 oleh Garda Animalia.

300×600
728×90 Ads