Batas Wilayah dan Data Ganda, Ancaman Konflik Menjelang Pilkada Halmahera
Selama bertahun-tahun konflik tapal batas antara Desa Bobaneigo di Halmahera Utara dan Desa Bobaneigo Madihutu di Halmahera Barat, Maluku Utara, belum terselesaikan. Masalah ini bisa menjadi bom waktu saat pilkada tahun ini. Apa benar persoalan ini sengaja dipelihara demi kepentingan politik?
HALMAHERA (kalesang) – Dari Pelabuhan Ternate, perjalanan menuju tapal batas antara Kabupaten Halmahera Barat dan Halmahera Utara memakan waktu sekitar empat jam melalui perjalanan laut.
Dilanjutkan perjalanan darat sekitar dua jam dengan mengendarai sepeda motor, Desa Bobaneigo sudah di depan mata.
Ada bangunan kantor Desa Bobaneigo Madihutu Halmahera Barat. Lokasinya berada di wilayah administrasi Halmahera Utara. Sore itu sudah tidak ada aktivitas di sana.
“Kepala Desa Halbar atau Halut yang mau dicari? Di sini ada dua kepala desa, Halbar dan Halut,” Alfin, bocah 15 tahun, menjawab pertanyaan di mana rumah sang kepala desa.
Jawaban Alfin itu tadi menggambarkan bahwa Desa Bobaneigo terbagi menjadi dua bagian.
Terletak di perbatasan dua wilayah, sebagian warganya masuk wilayah Halmahera Utara dan sebagian lagi masuk Halmahera Barat.
Dari cerita warga di sana terungkap bahwa pembagian dua wilayah itu tidak ditandai semacam penanda atau patok.
Sarlina, 35 tahun, adalah warga Desa Bobaneigo Halmahera Utara. Tidak adanya batas wilayah yang jelas membuatnya bingung.
Hanya berjarak dua langkah dari rumahnya, berdiri rumah tetangganya yang berstatud warga Halmahera Barat (Halbar).
“Jadi di sebelah kiri rumah ini, dorang (mereka) masuk Halmahera Barat, jadi torang ini juga bingung batas wilayah torang (kami) ini ada dimana dan seperti apa? Karena kita ini campuran,” mimik Sarlina terlihat serius.
Tak hanya Sarlina yang bingung. Rumah Fayakun (42), warga Desa Bobaneigo Madihutu, hanya dibatasi seruas jalan utama. Sebagian tetangga Fayakun adalah warga Halmahera Utara (Halut).
“Saya warga Halbar namun di saya pe samping rumah itu warga Halut, saya pe belakang rumah juga warga Halut, pokoknya sini jarak satu jengkal saja sudah berbeda Kabupaten,” ungkapnya.

Sampai di sini sepertinya tak ada persoalan? Tidak sesederhana itu. Seperti yang terjadi di berbagai wilayah perbatasan, jauh-dekat bisa menjadi masalah tersendiri. Hal ini juga dialami masyarakat di wilayah perbatasan Halut dan Halbar itu tadi.
Sebagai warga Halmahera Barat, Fayakun relatif tidak membutuhkan waktu lama untuk menuju ke ibu kota kabupaten, Jailolo. Berjarak sekitar 60km, Fayakun dan warga Halbar kira-kira butuh sekitar satu jam 30-an menit dengan sepeda motor untuk mencapai Jailolo.
Baca Juga: Ini Tiga Daerah dengan Kerawanan Pilkada Tertinggi di Maluku Utara 2024
Namun bagi warga Halmahera Utara, mereka butuh ekstra kerja keras untuk mencapai Tobelo, ibu kota kabupaten. Butuh waktu sekitar tiga jam dengan sepeda motor untuk mencapai Tobelo. Jaraknya sekitar 160km.
“Pengurusan administrasi yang cukup jauh, apalagi kalau Warga Halut harus ke Tobelo, butuh waktu lebih lama dan harus menginap,” ungkap Fayakun.
Barangkali dilatari masalah jarak ini yang kemudian melahirkan persoalan lainnya. Demi alasan tertentu, sebagian warga sangat mungkin memilih jarak yang dianggap lebih dekat demi kemudahan. Jadi, jangan heran, jika satu keluarga bisa beda Kabupaten. Lihat saja kartu keluarganya.
“Saya masuk Halbar, saya pe Ade juga Halbar, tapi dia pe anak dua masuk Halmahera Utara,” ungkap Fayakun.

Pilihan warga Desa Bobaneigo dan Desa Bobaneigo Madihutu untuk memilih Halut atau Halbar memang dibolehkan. Bukan rahasia lagi, pilihan itu kadang-kadang tidak terlepas dari pengaruh sesama warga dengan macam-macam latar belakang atau motivasi.
Ketika menjelang pemilu, pilpres atau pilkada, daya tarik untuk pindah itu makin menggiurkan lantaran ada iming-iming bantuan sembako.
“Ada yang pindah itu karena, janji bantuan sembako dan juga rumah, membuat warga tergiur untuk pindah Kabupaten seperti itu kasus yang terjadi di sini,” akui Fayaku, seraya tertawa tipis.
Satu Keluarga Beda Kabupaten
Kepada Desa Bobaneigo Madihutu Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara, Fataha Idrus, membenarkan bahwa ada satu keluarga yang anggotanya berbeda Kabupaten. Mereka juga memiliki dua kartu keluarga (KK).
“Hal ini benar adanya masih banyak terdapat dalam satu keluarga ada yang masuk ke Halmahera Utara dan ada pula yang masuk Halmahera Barat, hal ini karena warga di sini dibiarkan memilih, dengan tujuan agar tidak lagi terjadi konflik,”ungkap Fataha kepada Kalesang.id saat ditemui Jumat 16 Agustus 2024, di kediamannya di Desa Bobaneigo.

Berdasarkan Peraturan Menteri dan Negeri (Permendagri) nomor 60 tahun 2019, wilayah Desa Bobaneigo terbagi menjadi dua wilayah yaitu Halmahera Barat dan Halmahera Utara.
Desa Bobaneigo Madihutu sendiri masuk dalam wilayah administrasi Halmahera Barat yang terdiri dari 504 Kepala Keluarga (KK).
Wilayah Halmahera Barat dibagi menjadi empat desa, yaitu Desa Bobaneigo Madihutu, Desa Tetewang Joronga, Desa Akelamo Cinga-cinga, serta Desa Akesahu Madihutu.
“Sebelumnya terdapat enam desa setelah Permendagri 60 tahun 2019 keluar, yang terverifikasi hanya empat desa,” kata Fataha.
Adapun wilayah Halmahera Utara tetap terdiri enam desa. Masing-masing Desa Bobaneigo, Desa Pasir Putih, Desa Tetewang, Desa Akelamo, Desa Akesahu serta Desa Dum-dum.
Secara pembagian wilayah administrasi, Halmahera Barat dibatasi dengan titik koordinat. Namun sejauh ini belum ada patok atau penanda yang dapat dilihat secara langsung, ujar Fataha.
Tidak adanya patok atau penanda perbatasan itulah yang dikhawatirkan akan timbul masalah. Ini sudah terbukti ketika terjadi konflik sekian tahun lalu. Fataha menyadari hal itu dan meminta masyarakat agar mematuhi apa yang sudah diputuskan oleh pemerintah.
“Agar tetap saling menghargai keputusan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah tentang pembagian wilayah administrasi khususnya di enam desa. Terutama empat desa yang masuk wilayah Halmahera Barat,” katanya.
Dia mengeklaim bahwa masyarakat sudah memahami isi Permendagri 60 tahun 2019 tentang pembagian wilayah administrasi. Dan apabila itu sudah dipahami Masyarakat, Fataha meyakini konflik itu tidak akan terulang.
Konflik Tapalbatas Berulang
Tak semua sepakat dengan cara pandang Fataha. Warga Desa Bobaneigo Halmahera Utara, Muhammad Rama, mengatakan bahwa konflik tapal batas di enam desa itu sudah berlangsung 24 tahun. Menurutnya, konflik itu hingga saat ini tak pernah selesai.
“Konflik ini sengaja dibiarkan pemerintah Provinsi Maluku Utara, dan dimanfaatkan oleh elit politik,” katanya menganalisa.
“Enam desa ini dijadikan sentral kepentingan untuk kepala daerah maupun pusat, makanya jangan heran kalau di momentum politik selalu saja di enam desa itu ada gejolak, baik gejolak itu dari elit politik dan masyarakat, pemuda dengan pemuda, bahkan sesama elit politik,” paparnya lebih lanjut.
Menuturnya, setelah diterbitkan Permendagri nomor 60 tahun 2019, sampai sejauh ini tidak ada inisiatif dari Pemerintah Provinsi Maluku Utara maupun kedua Kabupaten kota untuk turun memasang patok (penanda) batas wilayah, seperti diatur dalam peraturan menteri dalam negeri itu.
Rama juga menganggap pemerintah Provinsi Maluku Utara tidak turun langsung untuk melihat kondisi di lapangan seperti apa.
Buktinya, demikian Rama, sampai sejauh ini pemerintah provinsi tidak memiliki data berapa rumah yang masuk wilayah Halmahera Barat atau Halmahera Utara.

Kondisi seperti ini jelas merugikan masyarakat, terutama kaum muda yang akan melanjutkan studi ke perguruan tinggi di luar kota.
“Karena pada saat pengurusan administrasi untuk melanjutkan perguruan tinggi, ketika diminta mengunggah data secara online, wilayah Halmahera Barat itu tidak terbaca dalam sistem, yang terbaca itu hanya Halmahera Utara, maka solusinya harus pindah,” kata Rama.
Harapan senada juga disuarakan warga Halmahera Barat, Nizwar Tandina. Dia mewanti-wanti agar para elit pimpinan daerah tidak memanfaatkan situasi di perbatasan untuk kepentingan politiknya. Jika ini dilakukan, Nizwar khawatir akan melahirkan konflik.
“Wilayah ini sering terjadi pemungutan suara ulang [saat pemilu, pilpres atau pilkada], dikarenakan personal data yang tidak selesai, kebanyakan warga masih memiliki data ganda, dan hal ini yang dimanfaatkan saat momentum politik,” ujar Nizwar.

Kalesang.id sudah menghubungi Kepala Desa Bobaneigo Halmahera Utara, Ayub Musa, Minggu (18/8/2024) di kediamannya, namun yang bersangkutan mengaku sakit. Dia meminta anak buahnya untuk menjawab permintaan wawancara.
Nurdin, salah seorang perangkat Desa Halmahera Utara, mengaku, walaupun pemprov dan pemda tidak mensosialisasikan permendagri itu, pihaknya berupaya melakukannya kepada warga desa.
Namun demikian Nurdin meminta agar bupati dan gubernur turun langsung ke lapangan untuk mengetahui mengapa sampai sekarang belum ada tapal batas di dua kabupaten itu.
Dia menjelaskan bahwa di Halmahera Utara sering dijumpai satu keluarga memiliki dua kartu keluarga.
“Dalam satu rumah itu, papa [ayah] masuk ke Halmahera Utara, anak masuk Halmahera Barat, di sini banyak terjadi karena pemerintah membiarkan setiap orang bebas untuk memilih mau masuk kemana,” katanya.

Secara terpisah, Kalesang.id mencoba menghubungi Kepala Biro Administrasi Pimpinan Setda Maluku Utara, Rahwan K Suamba, pada Kamis 29 Agustus 2024, melalui pesan WhatsApp, namun tidak mendapatkan respon.
Kalesang.id juga menghubungi Gubernur Maluku Utara melalui Whatsapp, namun yang bersangkutan tidak meresponnya..
Upaya Kalesang.id meminta tanggapan kepada pejabat Sekretaris Daerah Provinsi Maluku Utara, Abubakar Abdullah, Senin 2 September 2024, juga tidak memberikan jawaban. Dia menolak berkomentar.
Pemerintah Provinsi Tidak Serius Menangani Konflik Tapalbatas
Akademisi Universitas Khairun Ternate, Abdul Kadir Bubu, saat diwawancarai pada Sabtu, 31 Agustus 2024, mengatakan, seharusnya dengan adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 60 tahun 2019, dapat mengurai masalah yang selama ini terjadi di wilayah Halmahera Barat dan Halmahera Utara.
“Namun jika hingga saat ini sosialisasinya belum jelas, dan peraturannya sudah berlaku sejak tahun 2019 hal ini bermasalah, maka dalam kesempatan Pilkada kali ini akan bermasalah,” jelasnya.
Menurutnya, permasalahan tapal batas enam desa di wilayah ini harus ditanggapi serius oleh pemerintah provinsi. Dia khawatir jika ini tak ditangani segera, akan berdampak pada Pilkada 2024.
“Yang jadi masalah ini ketika mereka memilih kepala daerah, karena penduduk yang ada di Halbar juga berada di Halut bisa jadi kedua penduduk ini bisa menggunakan hak yang sama di TPS yang berbeda, ini titik krusial permasalahannya,” kata Abdul Kadir.
Abdul Kadir, meminta semua pihak terkait segera turun tangan. Mulai Bapilu, Bawaslu, Des Pilkada Kabupaten/Kota, serta provinsi untuk duduk bersama untuk mencari jalan keluar.
“Saat ini setiap orang hanya bisa menggunakan identitas tunggal, namun jika masih ada identitas ganda, maka pemicunya ada disitu, dan masalah ini bisa dimanfaatkan oleh elit politik,” jelasnya.
Ketua Pemilihan Umum (KPU) Maluku Utara, Mohtar Alting, saat diwawancarai Jumat 23 Agustus 2024, mengatakan persoalan kepemilikan identitas ganda memang masih terjadi di wilayah tapal batas.

“Kepemilikan identitas ganda itu menjadi tanggung Kabawa pihak lain kenapa bisa mengeluarkan data ganda, namun hal ini bakal mengakibatkan konflik yang dimanfaatkan pihak lain,”ungkapnya.
Mohtar Alting berjanji, pihaknya akan mengecek undangan agar satu orang tidak mendapatkan dua undangan pemilihan hak suara.
“Tim kami akan turun ke lapangan berdasarkan rekomendasi Bawaslu terkait daerah rawan konflik dan kecurangan pemilu, termasuk Halmahera Barat dan Halmahera Utara,”tukasnya.
Ketua Bawaslu Provinsi Maluku Utara, Masita Nawawi Gani, mengaku saat ini, Bawaslu sedang menitikberatkan pada masalah data ganda di Halmahera Barat dan Halmahera Utara. Ini dia tekankan, karena konflik yang terjadi di dua wilayah itu masih menyangkut identitas kependudukan.
“Yang sering terjadi masalah itu seperti warga Halmahera Barat, namun terdata di Daftar pemilihan tetap (DPT) Halmahera Utara,“ kata Masita.
Untuk mengurai masalah ini, Bawaslu berjanji akan bekerjasama dengan KPU. Masita juga mengaku akan fokus melakukan pengawasan dan pencegahan dalam tahapan pemutakhiran data pemilih.
“Jika ditemukan data-data pemilih yang bermasalah maka segera dibersihkan, dengan cara menyampaikan saran perbaikan kepada KPU beserta jajarannya. Kami juga meminta kepada masyarakat jika menemukan indikasi data bermasalah agar dapat melaporkan ke Bawaslu,”ungkapnya.
Sementara berdasarkan data, Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2024, dari 34 Provinsi di Indonesia, Maluku Utara masuk urutan ke tiga, dengan indeks kerawanan tertinggi.

Untuk menghadapi berbagai potensi kerawana ini, Bawaslu telah menyusun Langkah-langkah antisipatif yang mencakup pengawasan ketat terhadap otoritas penyelenggara pelaksana pengumutan suara, ajudikasi, dan kempanye para calon.
“Langkah ini diharapkan dapat memastikan pelaksana pilkada yang aman, adil, dan bebas dari penyimpangan,”tandasnya. (*)
Artikel ini diproduksi dalam kerangka proyek UNESCO Social Media 4 Peace, yang didanai oleh Uni Eropa. Hasil liputan jurnalistik ini menjadi tanggung jawab penerbit, tidak mencerminkan pandangan UNESCO atau Uni Eropa.
Penulis : Yunita Kaunar
Editor : Yunita Kaunar