Pembasmian Kejahatan Seksual di Kepulauan Sula
Pembasmian Kejahatan Seksual di Kepulauan Sula
Oleh: Sulastri Sangadji
Alumni Fakultas Hukum Unkhair
(Juara I Lomba Menulis Opini, Dalam Rangka HUT Kabupaten Kepulauan Sula ke-19)
Perempuan adalah tiang negara, sedangkan anak adalah generasi penerus bangsa. Nampaknya pernyataan ini bak slogan yang tak bermakna. Mengapa tidak, di awal tahun 2021, media membeberkan tentang tindakan kekerasan seksual tak ada habis-habisnya. Kita hanya bisa geram dalam menyaksikan pemberitaan tersebut. Perempuan dan anak selalu menjadi mangsa bagi predator tak bertanggung jawab. Mulai dari orang asing, tokoh agama, bahkan dari keluarga terdekat menjadi tersangka atas tindak kekerasan seksual.
Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatat kekerasan seksual pada anak dan perempuan mencapai angka tertinggi pada tahun 2020 sebanyak 7.191 kasus. Sementara dihimpun dari sistem informasi daring perlindungan perempuan dan anak, pada Januari-Oktober 2021 terdapat 7.913 korban kekerasan terhadap perempuan yang 14,5 persennya merupakan kasus kekerasan seksual. Sementara terdapat 12.262 korban kekerasan terhadap anak yang 53,9 persennya merupakan korban kekerasan seksual.
Lantas bagaimana dengan Maluku Utara?
Berdasarkan data dari Direktur Reserser Kriminal Umum Maluku Utara, kekerasan seksual di Malulu Utara dari tahun 2020 hingga 2021 mengalami loncatan yang drastis. Terlihat dari tahun 2020 terdapat 91 kasus kekerasan seksual dan di tahun 2021 bertambah menjadi 104 kasus. Sedang pada tahun 2022, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Maluku Utara Mencatat terdapat 99 kasus kekerasan seksual sepanjang 1 Januari hingga 31 Maret 2022. Dengan jumlah korban laki-laki sebanyak 11 orang dan perempuan 94 orang.
Kabupaten Kepulauan Sula sendiri, kasus kekerasan seksual dari tahun 2020 hingga 2021 mengalami peningkatan. Menurut KBO Reskrim Res Sula, AIPDA La Jaya Muhiddin, bahwa pada Oktober 2021 jumlah anak yang menjadi korban kekerasan seksual sebanyak 22 kasus. Yakni pencabulan sebanyak 19 orang dan penganiyayan sebanyak 2 orang. Angka tersebut lebih tinggi dari tahun 2020. Hingga di awal tahun 2022, Kabupaten Kepulauan Sula mengoleksi 18 kasus kekeraasan seksual dan menempati peringkat kedua sebagai daerah dengan kasus kejahatan tertinggi setelah Ternate yang berjumlah 19 kasus.
Melihat fakta sosial yang terjadi saat ini, menunjukkan bahwa perbuatan kekerasan seksual merupakan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Olehnya Itu, telah menjadi konsekuensi logis agar cara penanganan dilakukan dengan cara yang luar biasa pula.
Maraknya tindakan kekerasan seksual tak dapat dibendung. Melihat peristiwa naas yang menimpah kaum perempuan dan anak di Sula semakin meningkat, maka perlu bagi kita untuk merenung kembali sebuah perkataan Albert Ainsten, “Hal-hal buruk terjadi bukan karena adanya orang jahat, namun karena orang baik yang tidak mau bergerak”. Olehnya itu, butuh perhatian khusus dan aksi nyata dalam memberantas kejahatan seksual.
Isu kekerasan seksual menjadi salah satu perhatian penting, dan tercantum dalam lima arahan Presiden kepada menteri PPPA. Kelima arahan tersebut, salah satu di antaranya adalah penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Hadirnya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), sejatinya membawa angin segar bagi bangsa Indonesia. Dan tentunya angin segar tersebut berdampak hingga pada setiap daerah di Indonesia. Perempuan dan anak telah mendapat perlindungan hukum yang signifikan. Hal itu tentunya membawa harapan besar bahwa perempuan dan anak bisa terbebas dari tindak kekerasan seksual.
Namun, yang menjadi pertanyaannya, apakah hadirnya UU TPKS telah menjamin perempuan dan anak dapat terbebas dari kejahatan seksual? Tentu hal itu belum bisa menjamin. Olehnya itu butuh peran dari setiap stakeholder untuk merealisasikan setiap pasal-pasal dalam UU TPKS. Perlu adanya grand gagasan untuk merealisasikan harapan tersebut. Bentuk progresifitas yang perlu diwujudkan adalah kerja sama dari pemerintah dan pihak akademisi di Kepulauan Sula.
Tentunya, jika kita mengkomperasikan dengan negara lain, bisa kita lihat banyak upaya yang dilakukan untuk melindungi perempuan dan anak dari kejahatan tindakan kekerasan seksual. Misalnya, pada 2017 Pemerintah Punjab meluncurkan aplikasi women’s safety app. Dengan aplikasi ini, polisi dapat dengan mudah melacak lokasi pelapor melalui bantuan GPS. Pun di Indonesia sendiri, beberapa daerah telah melakukan langkah-langkah untuk mengatasi kejahatan seksual. Di Yogyakarta misalnya, Kelompok KKN Sunan Kalijaga berinisiatif melakukan sosialisasi pencegahan pelecehan seksual, dengan menggunakan poster-poster yang menarik.
Lantas bagaimana dengan Kepulauan Sula? Dengan keterbatasan yang kita miliki di Sula, saat ini kita tidak perlu memaksa untuk meniru Pemerintah Punjab dengan meluncurkan aplikasi women’s safety app. Namun bukan berarti kita harus berpasrah diri dengan keadaan. Saat ini, bisa kita lihat, di Kepulauan Sula, upaya pencegahan kekerasan seksual dalam bentuk sosialisai maupun dialog publik menjadi langkah utama yang dilakukan. Baik dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (DP3A) Kabupaten Kepulauan Sula, maupun organisasi keperempuanan lainnya di Sula.
Namun hal itu belum bisa menjadi senjatah ampuh untuk meredam kasus kekerasan seksual di Sula. Meski begitu, kita tidak boleh kehabisan ide, apalagi harus menyerah—pasrah dengan keadaan. Tetapi, demi kesalamatan perempuan dan anak di negeri di Sula, maka yang harus dilakukan adalah dengan memberikan solusi berupa grand gagasan untuk mengatasi permasalahan di Sula.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan. Yakni Pertama, dengan membangun pusat studi perempuan di Kabupaten Kepulauan Sula. Hal ini bisa dimulai dengan kerja sama antara Pemerintah Daerah Sula dengan para akademisi maupun praktisi hukum di Sula. Tujuan dari Pembentukan Pusat studi perempuan adalah dengan menyatukan beberapa lembaga atau organisasi perempuan yang sudah ada di Sula untuk sama-sama bersinergi melakukan upaya pencegahan kekerasan seksual di Sula.
Upaya yang dilakukan, yakni pusat Studi Perempuan di Sula dapat memberikan kontrisbusi pengembangan teoritikal kepada studi perempuan dengan dilakukannya penelitian dan kajian akademik. Dengan begitu, Pusat Studi Perempuan di Sula dapat berkontribusi dalam bentuk memberikan rekomendasi bagi pembentukan kebijakan dan legalisasi yang dapat memperbaiki kehidupan perempuan dan terbebas dari perlakuan diskriminasi dan kekerasan. Pun, pusat studi tersebut dapat lebih intens mengambil langka melindungi korban kekerasan seksual. Dengan mendampingi korban mulai dari melaporkan ke pihak berwajib, hingga berada di pengadilan. Kedua, dengan hadirnya UU TPKS, Pemerintah Sula harus segara menyusun aturan pelaksana berupa peraturan daerah Kabupaten Kepulauan Sula tentang Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Sula.
Langkah tersebut tentunya tidak hanya menjadi bentuk progresifitas Kabupaten Kepulauan Sula dalam menangani tindak kekerasan seksual. Namun, Kabupaten Kepulauan Sula akan menjadi role model bagi daerah lain di Provinsi Maluku Utara untuk mencegah tindak kekerasan seksual. Sehingga tindak kekerasan seksual di Maluku Utara, khususnya Kabupaten Kepulauan Sula dapat diminimalisir bahkan bisa dihilangkan.***