Membaca Realitas

Kejaksaan Versus Konstitusi

Penulis : Dr . Hasrul Buamona, S.H.,M.H.

( Pengacara  dan Pakar Hukum Kesehatan Universitas Widya Mataram Yogyakarta)

Kondisi negara hukum di Indonesia saat ini begitu memperihatinkan. Korupsi merupakan salah satu dari sekian banyak permasalahan mental berhukum yang buruk di negara Indonesia. Sehingga masyarakat secara kolektif bersepakat menjadikan korupsi sebagai musuh negara yang harus di berantas sampai pada akarnya.

Komponen pendukung pemberantasan korupsi di negara ini tidak hanya bertumpuk pada kewenangan Polri, Kejaksaan dan KPK semata-mata, namun lebih dari itu harus didukung oleh lembaga negara lain yakni Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) yang telah diamanahkan oleh Konstitusi negara ini untuk melakukan audit keuangan negara.

Tidak terbantahkan lagi bahwa hanya BPK RI sajalah yang diberi amanah oleh Konstitusi (UUD 1945) sebagai aturan hukum tertinggi untuk melakukan audit keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan Negara yang bebas dan mandiri”. Selain itu dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 15 Tahun 2006 Tentang BPK yang menjelaskan bahwa “Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Bahkan telah diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor25/PUU-XIV/2016 tertanggal 25 Januari 2017. Yang dalam pertimbangan hukum, Mahkamah berpendapat bahwa “Unsur kerugian negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (patiential loss), namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) untuk dapat diterapkan dalam tindak pidana korupsi”.

Artinya kerugian negara harus ada terlebih dahulu dikarenakan unsur kerugian negara adalah unsur dasar dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka korupsi sampai diperiksa dalam persidangan tindak pidana korupsi.

Namun yang menjadi permasalahan dalam kasus korupsi terkadang penegak hukum khususnya Kejaksaan tidak menggunakan audit keuangan BPK RI sebagai dasar dalam menentukan kerugian keuangan negara dan menetapkan seseorang sebagai tersangka dalam kasus korupsi, dan hal tersebut dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Kepulauan Sula dalam menetapkan mantan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sula Amate Fokatea sebagai terdakwa dimana dalam berkas perkara tindak pidana korupsi nomor:PDS-01/S.2.15/Fd.1/03/2016 yang telah disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Ternate tidak ada sedikitpun hasil audit kerugian keuangan negara dari BPK RI.

Sehingga menjadi pertanyaan kemudian dari mana Kejaksaan mengetahui ada kerugian keuangan negara? dan apakah Kejaksaan memiliki kewenangan konstitusional melakukan audit kerugian negara?

Konstitusi (UUD 1945) adalah level tertinggi dalam hukum nasional, dikarenakan menjadi norma dasar, sehingga dalam hal fungsi audit BPK RI adalah fungsi konstitusional yang harus dijalankan oleh lembaga negara yang memiliki fungsi penegakan hukum seperti Kepolisian dan KPK, termasuk juga institusi Kejaksaan. Prof.Solly Lubis,S.H berpendapat bahwa dalam paradigma yuridis yang berpuncak pada UUD 1945 merupakan acuan hukum tertinggi dan membawahi aturan hukum lainnya baik aturan produk pusat ataupun daerah.

Mudzakir sebagai ahli hukum pidana UII Yogyakarta berpendapat bahwa penyidikan kasus korupsi harus dilengkapi dengan audit kerugian keuangan negara  yang “pro justitia” yang hanya bisa dilakukan oleh BPK RI. Menurut penulis UUD 1945 sebagai dasar hukum tertulis (positive recht), sehingga memberikan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara termasuk juga penegakan hukum. Maka secara hukum, setiap penegakan hukum dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan maupun KPK, dan Kepolisian harus meminta audit BPK RI.

Menurut penulis, ketika Kejaksaan tidak meminta audit keuangan dari BPK untuk menetapkan tersangka dalam kasus korupsi, maka Kejaksaan telah melakukan pelanggaran konstitusional baik terhadap UUD 1945, dan juga melakukan pelanggaran konstitusional terhadap orang (pejabat publik) yang dijadikan terdakwa dari proses penegakan hukum yang tidak konstitusional. Sesuai Pasal 28D UUD 1945 yang mengatur bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan,jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

Ketika Kejaksaan telah melakukan pelanggaran konstitusional.Maka Kejaksaan telah mempraktikan bahwa hukum adalah kekuasaan (Maschtaat), sedangkan sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengatur bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, yang artinya bahwa setiap kehidupan di negara ini termasuk juga Kejaksaan dalam menegakkan hukum tidak boleh melanggar konstitusi (UUD 1945).

Selain itu bukankah Kejaksaan (Jaksa) telah mengucapkan Sumpah Jabatan bahwa “Saya(Jaksa) akan setia kepada dan mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia, serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”.

Melalui tulisan ini, penulis meminta kepada Presiden Republik Indonesia Bapak Joko Widodo untuk mengevaluasi kinerja Kejaksaan Agung Republik Indonesia khususnya Kejaksaan Negeri Kepulauan Sula dalam penegakkan hukum kasus korupsi. Karena hakikatnya korupsi adalah musuh bersama bangsa, namun alangkah manusiawi dan terhormat ketika penegakkan hukum tidak melanggar konstitusi.#Mena

728×90 Ads
%d blogger menyukai ini: