Membaca Realitas
728×90 Ads

Penyebab Persoalan Hukum Agraria Masyarakat Adat

Penulis: Dr. Hasrul Buamona,S.H., M.H.

(Advokat dan Direktur LPBH Nahdlatul Ulama Kota Yogyakarta)

Seorang penyair asal Amerika Serikat Ralph Waldo Emerson (1803-1882) menerangkan, “If a man own land, the lands, the lands owns him”, artinya jika seseorang memiliki tanah, maka tanahnya juga akan memilikinya. Muatan penyair ini menjadi gambaran dan tolak ukur masalah agraria Masyarakat Adat di Indonesia khususnya di Maluku Utara saat ini. Agraria secara umum diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) sebagai an umbrella.

Khusus terkait hukum agraria masyarakat adat, telah ada sebelum berdirinya negara ini. Persoalan hukum agraria masyarakat adat Gane di Halmahera Selatan,  selalu mengemuka menjadi perbincangan dan diskusi ilmiah serta aksi yang dilakukan oleh sebagian besar Mahasiswa Maluku Utara di Yogyakarta sejak Februari 2016, yang kesimpulannya menolak kebijakan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat yang tetap membiarkan pembangunan perkebunan kelapa sawit.

Masalahnya sejak perusahaan sawit beroperasi di wilayah Gane, masyarakat kini menghadapi berbagai tantangan selain persoalan lahan (wilayah kelolanya). Setidaknya akan ada 20 desa yang terancam wilayah kelolanya jika perusahaan ini sudah merealisasikan seluruh konsesinya yang meliputi 7 desa di kecamatan Gane Barat Selatan, 6 desa di kecamatan Gane Timur Selatan serta 7 desa di kecamatan kepulauan Joronga.

Terkait lahan kelola, masyarakat juga kini telah menghadapi masalah sosial dan lingkungan sebagaimana yang mereka ungkapkan dalam pertemuan warga yakni,(1) Enam anak sungai sudah hilang (4 sungai tadah hujan dan 2 anak sungai bermata air) yang tertutup urugan tanah oleh perusahaan,(2). Konflik internal di tingkatan warga mulai nampak, dengan munculnya kubu yang pro dan kontra terhadap kehadiran perusahaan.(3) Keresahan karena proses intimidasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang mengawal proses land clearing,dan (4) Petilasan Sangaji Gane telah digusur oleh perusahaan (Ahmad Farid.WALHI:2015) .

Penyebab persoalan hukum agraria masyarakat adat terdapat dalam UU sektoral seperti UU Minyak dan Gas Bumi, UU Sumber Daya Air, UU Kehutanan, serta UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Jawahir, Republika:2012). Beberapa UU sektoral tersebut dalam konsideransnya tidak memasukan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai pertimbangan lahirnya beberapa UU tersebut, namun yang dimasukan hanya Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.

Ini salah satu penyebab utama terjadinya benturan kepentingan masyarakat adat dengan pemerintah seperti saat ini, dimana pemerintah tidak mengakui dan menghormati hak masyarakat adat sebagaimana Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

Persoalan hukum selanjutnya terdapat dalam Pasal 3 UUPA 1960 mengatur “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.

Penulis melihat bahwa “kepentingan nasional” yang dimaksud sangat subjektif, dikarenakan siapa saja yang memimpin pemerintahan demi keuntungan pribadi dan kelompok, akan menjadikan kepentingan nasional sebagai “topeng” untuk memiskan dan menghilangkan masyarakat adat dan hukum agrarianya,sehingga terlihat tidak ada bedanya antara pemerintah dengan bangsa penjajah yang saat itu masih memakai hukum penjajah (agrarische wet dan agrarische besluit) yang memberlakukan “domein van den staat” tujuannya menghapus hak milik tanah pribumi untuk memperkaya bangsa penjajah saat itu.

Prof.Jawahir Thontowi, Ph.D mengemukakan bahwa muatan hukum adat sebagai living law dalam UUPA kurang mewakili aspirasi masyarakat adat yang lain, dimana hanya mewakili masyarakat adat Sumatera Barat dan Jawa, sehingga perubahan UUPA 1960 perlu dilakukan terkait dengan kebutuhan koordinatif dan sinkronisasi dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (2).

Selain itu juga tidak adanya muatan hak asasi manusia, yang ini salah satu kekurangannya. Karena itu, dapat dipahami pemerintah mudah bersekutu dengan pengusaha untuk merampas hak tanah, air dan hutan masyarakat adat (Media Indonesia,2012). Seharusnya  Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah haruslah menghormati dan mengakui kepentingan hukum agraria masyarakat adat dengan dengan cara memasukan Pasal 18B ayat (2)UUD 1945 dalam setiap konsiderans produk UU dan kebijakan yang bersifat administrasi.

Melihat persoalan agraria masyarakat adat di Indonesia yang semakin tidak terseleasaikan dalam konteks kedudukan hukum masyarakat adat dan wilayah hukum adat, maka penting Pemerintah Daerah khusus di Propinsi Maluku dan Propinsi Maluku Utara, untuk kedepan melakukan membentuk peraturan daerah yang akomodatif-responsif di mana menampung dan mengakui komponen subjek masyarakat adat dan wilayah hukum adat termasuk hutan dan bahkan tradisi sosial-antropologis kedalam peraturan daerah tersebut sebagai esensi dan patokan dari politik hukum pembentukan peraturan daerah masyarakat adat.

Selain itu, sudah saatnya Pemerintah,DPR dan seluruh komponen masyarakat Indonesia, melakukan amandemen terhadap UUD 1945, UUPA 1960 serta UU Sektoral, dengan tujuan untuk melindungi kepentingan hukum, ekonomi dan sosial masyarakat adat itu sendiri.

Perubahan beberapa produk Undang-Undang diatas, harus dilakukan dengan tujuan mengurangi kecenderungan permufakatan jahat antara pemerintah dan pengusaha untuk menghilangkan hukum agraria masyarakat adat, yang seharusnya menjadi living law dan living constitution bagi negara ini.#Mena

728×90 Ads