Oleh: Aslan Hasan, S.H., M.H
(Anggota Bawaslu Maluku Utara)
Penyelenggaraan pemilihan umum merupakan wahana untuk mengimplementasikan prinsip kedaulatan rakyat dalam sebuah Negara yang demokratis. Dalam sejarah perpolitikan modern, desain penyelenggaraan Pemilihan umum di berbagai Negara di dunia khususnya Negara-negara yang menganut sistem demokrasi diarahkan untuk menjamin akuntabilatas pelaksanaan yang berbasis pada desain penyelenggaraan yang menjamin kebebasan tiap warga Negara untuk menyalurkan hak pilih, proses yang transparan, serta adanya penegakan hukum Pemilu yang berkeadilan.
Periodesasi sejarah demokrasi dan Kepemiluan di Indonesia sejak tahun 1955 hingga saat ini menampilkan dinamika yang pasang-surut seiring pola kekuasaan dan situasi politik pada masanya.
Pada masa Orde Baru, situasi politik otoriter sangat mempengaruhi desain dan pola pelaksanaan Pemilihan umum yang pada kenyataannya jauh dari prinsip-prinsip Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Pranata kepemiluan di Indonesia barulah mengalami pembenahan seiring upaya perbaikan sistem politik dan ketatanegaraan pasca reformasi. Sejak reformasi 1998 hingga saat ini setidaknya Bangsa Indonesia telah melangsungkan lima kali Pemilihan Umum dan yang baru selesai dilaksanakan yakni Pemilu serentak 2019.
Fase kepemiluan Indonesia pasca reformasi mengalami perubahan positif, dimana instrumen tatanan hukum kepemiluan benar-benar diarahkan untuk menjamin terlaksananya suatu Pemilihan umum yang demokratis.
Pembentukan pranata kelembagaan Pemilu yang independen seperti Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu menggambarkan adanya kemajuan signifikan dalam politik hukum kepemiluan di Indonesia.
Seiring dinamika dimaksud, sistem dan tata cara pelaksanaan Pemilu pasca reformasi juga mengalami perubahan-perubahan fundamental pada tiap kali pelaksanaannya.
Salah satu contoh perubahan tatanan sistem Pemilu pasca reformasi yang diimplementasikan pada Pemilihan Umum 2019 yakni Pemilu serentak dimana terjadi penggabungan jenis pemilihan umum Legislatif dan Presiden secara bersamaan.
Pelaksanaan Pemilihan Umum serentak 2019 merupakan tindak lanjut pelaksanaan Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Selain pola pelaksanaan Pemilu yang dilaksanakan bersamaan, terdapat pula penguatan kelembagaan Pemilu baik KPU maupun Bawaslu.
Salah satu contoh pengauatan kelembagaan Pemilu yakni adanya perluasan kewenangan kelembagan Bawaslu yaitu mencakup Pencegahan, Pengawasan, penindakan serta kewenangan ajudikasi terhadap sengketa proses Pemilu.
Selain penguatan berupa perluasan cakupan kewenangan, terdapat pula penguatan struktur dan personil kelembagaan dimana struktur pengawas Pemilu di tingkat kabupaten/Kota yang sebelumnya bersifat Ad-hoc kini telah menjadi permanen dengan masa tugas lima tahun sesuai undang-undang Nomor 7 tahun 2017.
Pada bagian lain komposisi keanggotaan di tingkat Provinsi juga mengalami penambahan yakni lima sampai tuju orang komisioner. Upaya perbaikan juga dilakukan dengan perubahan regulasi yang berkaitan dengan tugas-tugas kelembagaan Bawaslu baik di bidang pencegahan, pengawasan maupun penindakan.
Penguatan kelembagaan Pengawas Pemilu adalah merupakan salah upaya nyata untuk mendorong pelaksanaan Pemilihan Umum yang berkualitas serta selaras dengan asas langsung,umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Patut diakui bahwa salah satu kunci penyelenggaraan Pemilu yang baik adalah dengan adanya proses pengawasan yang maksimal dan efektif. Sebagai lembaga Pengawas Pemilu, Bawaslu dihadapkan dengan tanggungjawab untuk melaksanakan tugas-tugas baik pencegahan, pengawasan maupun penidakan guna memastikan terselenggaranya prosese Pemilihan umum yang demokratis.
Secara umum tugas-tugas pencegahan diarahkan untuk membangun kesadaran baik kontestan Pemilu maupun masyarakat umum guna meminimalisir sedemikian mungkin potensi pelanggaran Pemilu.
Meskipun demikian, pada kenyataannya setiap kontestasi politik dalam Pemilihan Umum termasuk pada Pemilu 2019 masi terdapat pelanggaran-pelanggaran baik yang dilakukan oleh masyarakat umum, kontestan maupun penyelenggara.
Sebagai bagaian dari tugas kelembgaan, Bawaslu diberi tanggungjawab untuk menangani setiap jenis pelanggaran baik yang bersifat administrative, pidana, etik maupun jenis pelanggaran hukum lainnya yang berkaitan dengan Pemilu guna mewujudkan penegakan hukum Pemilu yang berkeadilan.
Salah satu bentuk pelanggaran Pemilu yang dominan pada Pealaksanaan Pemilihan Umum tahun 2019 khususnya di wilayah Provinsi Maluku Utara yakni pelanggaran Tindak pidana Pemilu. Setidaknya terdapat lebih dari tiga puluh putusan Pengadilan yang incrah yang terdsebar di sepuluh Kabupaten/Kota di Maluku Utara.
Fakta ini menunjukan bahwa perlu adanya penguatan kelembagaan penegakan hukum khususnya Sentra Gakkumdu baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota guna menangani maraknya kasus-kasus tindak pidana pemilu.
Sentra Gakkumdu merupakan satu-satunya wadah yang didesain guna melaksanakan tugas-tugas penegakan hukum pidana pemilu secara efektif. Meskipun demikian patut diakui keberadaan Sentra Gakkumdu sebagai lembaga gabungan yang di dalamnya terdapat unsur Pengawas, Penyidik dan Jaksa seringkali memperlihatkan adanya ketidaksepahaman dalam merespon setiap bentuk pelanggaran Pemilu baik yang bersumber dari temuan maupun laporan.
Ketidaksepahaman dalam proses penanganan pelanggaran pidana Pemilu dapat terkonfirmasi dengan adanya disparitas antara jumlah kasus yang menjadi temuan maupun yang dilaporkan dengan jumlah putusan Pengadilan yang tidak sebanding.
Secara kuantitatif, presentasi jumlah kasus yang dilaporakan maupun yang menjadi temuan Bawaslu khususnya di wilayah Maluku Utara sangat tinngi , akan tetapi pelanggaran-pelanggaran dimaksud umumnya terhenti pada pembahasan di Sentra Gakkumdu.
Adapun kasus-kasus tersebut dihentikan pada pembahasan baik pembahasan pertama maupun pembahasan kedua disebabkan karena terdapat perbedaan pendapat di internal Sentra Gakumdu.
Perbedaan pendapat dimaksud dalam pengalaman Bawaslu Maluku Utara umumnya bersumber dari penilaian unsur pasal atas dugaan tindak pidana yang ditangani, kriteria subjek dan objek tindak pidana, status dan formulasi delik terutama yang berkaitan dengan delik formil atau materil serta teknis pembuktian dari setiap kasus yang ditangani.
Fenomena perbedaan pendapat di internal Sentra Gakkumdu setidaknya mengkonfirmasi adanya kelemahan kelembagaan yang perlu dibenahi.
Adapun hal yang menurut penulis perlu dibenahi di antaranya:
1. Pola Koordinasi
Sebagai unit gabungan yang terintegrasi dalam satu pola kerja, koordinasi merupakan hal yang sangat penting guna mempekuat soliditas sekaligus menghindari adanya perbedaan pendapat baik antara individu maupun melalui perbedaan sikap kelembagaan masing-masing.
Pola koordinasi yang kuat dan terarah mestinya dikongkritkan dalam regulasi sehingga menjadi acuan bagi semua pihak dalam setiap kali penanganan perkara di Sentra Gakkumdu.
Dalam rumusan norma Peraturan Bawaslu Nomor 31 tahun 2018 tentang Sentra Gakkumdu memang telah tergambar adanya pengaturan mengenai bentuk koordinasi dalam penanganan tindak pidana Pemilu di Sentra Gakkumdu.
Model koordinasi dimaksud setidaknya tercermin dalam beberapa hal diantaranya adanya pendampingan dari penyidik maupun Jaksa pada saat penerimaan laporan atau temuan, pendampingan pada saat klarifikasi dan penyusunan kajian, serta bentuk pendampingan pada tahapan penyidikan.
Meskipun telah terformulasikan dalam peraturan Bawaslu, pada kenyataannya sering kali masi terdapat pengabaian atas norma dimaksud sehingga memunculkan masalah ketika dilakakan pembahasan di tiap tingkatan.
Pengabaian demikian menurut penulis disebabkan oleh karena ketentuan-ketentuan di maksud tidak memberi penegasan tentang tugas pendampingan antar lembaga dalam sentra Gakkumdu sebagai sesuatu yang bersifat wajib sehingga memunculkan adanya keenganan untuk pendampingan dalam tiap tahapan.
Sealain itu Perbawaslu 31 tahun 2018 juga belum mengurai secara kongkrit model dan bentuk pendampingan baik dalam penerimaan laporan, klarifikasi, penyusunan kajian dan lainnya.
2. Pola Pengambilan Keputusan
Peraturan Bawaslu Nomor 31 tahun 2018 tentang Sentra Gakkumdu mengatur bentuk pengambilan keputusan melalui rapat pembahasan di tiap tingkatan.
Pembahasan dimaksud setidaknya terbagi dalam empat tahap yakni pembahasan pertama yang bertujuan untuk memastikan keterpenuhan syarat formil maupun materil dari laporan atau temuan serta menentukan pasal yang relefan dengan dugaan tindak pidana yang dilaporkan.
Selanjutnya pembahasan kedua bertujuan untuk menyimpulkan laporan atau temuan merupakan tindak pidana pemilu atau bukan tindak pidana Pemilu, Pembahasan ketiga untuk kepentingan pelimpahan berkas perkara serta pembahasan ke empat yang bertujuan untuk membicarakan upaya hukum lanjutan.
Pada prakteknya seringkali terjadi perbedaan pandangan dalam setiap kali pembahasan. Dari pengalaman penanganan perkara di Sentra Gakkumdu Maluku Utara, umumnya perbedaan pendapat terjadi pada pembahasan tahap satu dan pembahasan tahap dua. Perbedaan pendapat demikianlah yang menyebabkan banyak kasus terpaksa dihentikan.
Penulis berpendapat, mestinya desain Perbawaslu Sentra Gakkumdu juga harus mengatur tentang teknis pengambilan keputusan dalam setiap tingkatan pembahasan.
Salah satu masalah menarik adalah misalnya pada pembahasan tahap dua sesuai ketentuan Perbawaslu, unsur Pengawas sudah harus menyiapkan dokumen hasil kajian, sementra unsur Penyidik sudah harus menyiapkan laporan hasil penyelidikan sebagai dasar rujukan dalam pengambilan keputusan.
Dalam prakteknya, terkadang unsur Pengawas melalui hasil kajiannya menyimpulkan laporan/temuan memenuhi unsur sebagai tindak pidana Pemilu, namun sebaliknya pada Laporan hasil lidik disimpulkan bahwa laporan/temuan tidak memenuhi kualifikasi sebagai tindak pidana Pemilu.
Pada konteks yang demikian sudah keputusan yang diambil adalah pengentian kasus, padahal dokumen kajian maupun laporan hasil lidik dua-duanya mempunyai sifat hukum yang sama karena diperoleh dari hasil klarifikasi dan penyelidikan terhadap subjek maupun dokumen pembuktian yang sama pula.
Untuk menjawab situasi sebagaimana dijelaskan, Perbawaslu Sentra Gakkumdu kedepan mestinya mengatur secara kongkrit model pengambilan keputusan di tiap kali pembahasan untuk menjawab dinamika sebagaimana teruraikan.
3. Model Penguatan Kapasitas
Penguatan kapasitas merupakan suatu keniscayaan dalam upaya menopang tugas-tugas teknis kelembgaan di Sentra Gakkumdu. Penempatan unsur pengawas, Model rekrutmen penyidik dan jaksa serta pola pembinaan berkelanjutan adalah kunci membangun profesionalisme sekaligus menguatkan pemahaman semua unsur dalam Sentra Gakkumdu.
Dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilu Maupun Perbawaslu Nomor 31 Tahun 2018 tentang Sentra Gakkumdu mengatur kriteria khusus bagi Penyidik dan Jaksa yang ditempatkan Sentra Gakkumdu. Kriteria dimaksud yakni berupa keahlian dan pengalaman dalam penanganan kasus-kasus Pemilu.
Penulis berpendapat, kriteria dimaksud hanya mencakup pengalaman, sementara regulasi Kepemiluan setiap saat menglami pergantian sehingga pola rekrutmen penyidik dan Jaksa juga harus dibarengi dengan penguatan kapasitas secara berkelanjutan.
Selain hal dimaksud, kedepan semua komponen yang tergabung dalam Sentra Gakkumdu mestinya diasah pemahamannya dalam forum-forum peningkatan kapasitas secara bersama di luar tugas-tugas teknis sehingga terbangun sinergisitas dan penyamaan presepsi antar lembaga sebelum pelaksanaan tugas penanganan perkara pidana Pemilu.(*)