Oleh: Achmad Gani Pelupessy
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
“Apa itu waktu?”
Dalam sanubarinya ia kemukakan sepotong pertanyaan itu.
“Semua elemen alam semesta akan menunjukkan perubahan kondisi alam sebagai waktu. Aku menyetujuinya, sekalipun bagiku, itu hanya sebuah hasil kesepakatan umum yang sudah sangat purba.”
“Waktu adalah perjalanan yang tiada berhenti. Sebuah jejak alam semesta yang paling panjang umur, paling abadi meskipun usia telah usai.”
Ia menghela nafas dalam-dalam, menatap lamat-lamat, kemudian memikirkan kembali seonggok pendapat yang dia sampaikan. Di dalam pikirannya, ada setumpuk pendapat para pemikir ulung, para ahli, para filsuf yang katanya punya penjelasan yang benar tentang waktu.
Ia menolak untuk meyakininya. Sekelompok manusia yang dikultuskan itu tak ubahnya seperti para penjajah yang ingin menonjolkan diri dengan ilmu pengetahuan. Mereka menyihir ratusan juta manusia serupa wayang. Mereka memainkan wayang itu, membentuk pikiran, menciptakan kebiasaan, lalu wayang itu bergerak sesuai apa yang diperagakan oleh mereka.
“Kurang ajar!” Spontan ia berseru
“Mereka takan memenjara pikiranku. Aku manusia merdeka. Aku adalah waktu yang tiada berhenti. Aku berjalan, berlari, terbang melayang atas kemerdekaanku. Aku tiada penghabisan.”
“Sekalipun aku mati, aku kekal di dalam waktu. Usiaku takan usai. Aku akan kembali lahir di dalam waktu, entah itu waktu temporal atau eternal.”
“Adakah yang bisa membunuh waktu?” Ia lontarkan sepenggal pertanyaan yang entah kepada siapa ia tujukan.
Waktu itu —-seperti yang ia sampaikan tentang kesepakatan umum— telah menunjukkan malam hari. Alam semesta begitu gelap.
Penglihatannya yang setajam mata elang, perabaan yang lebih peka dari para dewa, serta pendengarannya yang mampu menangkap musik dan ratap tangis, di malam itu, ia kesusahan berbicara tentang gelap. Betapapun itu, ia coba untuk bicara.
“Gelap adalah fenomena alam. Bukti alam semesta bergerak mengikuti kehendak waktu. Gelap adalah kondisi alam yang kehitaman. Tapi gelap bukan kelam. Gelap bagian dari kekekalan waktu. Sedang kelam yaitu sikap pasrah atau menyerah kepada keadaan.” Ia berhenti sejenak, berusaha memikirkan sesuatu.
“Lazimnya para penjajah itu. Jangan sampai kita mudah mengamini seluruh pendapat mereka. Hidup atas kehendak orang lain adalah senyatanya sikap menyerah.” Ia menambahkan “Adakah yang bisa membunuh waktu?” Masih ia bertanya tentang hal serupa.
Malam yang gelap. Begitu gelapnya tiada satupun bunyi alam yang dapat ditangkap oleh telinga. Mungkinkah semua makhluk semesta yang merangkak, merayap, pun terbang takut kepada gelap. Tidak, mereka menyukai gelap, pikirnya. Mereka hanya tidak ingin menggangguku. Tiba-tiba ia ingin melangkah, berjalan jauh menyusuri malam yang begitu gelap, begitu hitam nan pekat.
Ia sadar, sejak tadi terlalu lama bersila hingga tulang belakangnya yang agak bongkok terasa payah. Kemudian ia berdiri berjalan tanpa tahu hendak kemana arah jalan. Terus berjalan. Sesekali ingin berlari. Baginya, berjalan dan berlari adalah kemerdekaan pribadi di bawah kontrol waktu. Bisa jadi dalam perjalanan atau pelarian seseorang akan terjatuh hanya karena keinginan waktu.
Tapi ini bukan berarti sebuah sikap pasrah kepada waktu serupa sebuah sikap menerima semua pendapat parah ahli-ahli itu. Waktu sudah menjadi bagian alamiah sebagai kontrol kehidupan semesta. Ia (waktu) berbeda dengan omongan sejumlah manusia yang katanya ahli itu. Kepada waktu, manusia seyogianya merdeka dengan segala pilihan. Sedang kepada manusia (para ahli, filsuf, tokoh-tokoh), manusia terbelenggu.
Sampai pada setengah perjalanan, ia teringat kepada sepotong pertanyaan yang belum dijawab. “Adakah yang bisa membunuh waktu?”
“Apakah membunuh waktu serupa membunuh pikiran dan tindakan manusia? Tidak!” Ia jawab sendiri pertanyaan itu. “Membunuh pikiran dan tindakan manusia adalah wujud kebiadaban. Sebuah tindak tanduk para koloni yang lazim.”
“Tetapi waktu tidak bisa dibunuh atau dihentikan. Bahkan oleh pencipta alam semesta sekalipun.” Ia tambahkan, “membunuh waktu berarti membunuh pencipta semesta. Karena waktu adalah wujud kekekalan pencipta.”
“Jadi, tiada mungkin pencipta membunuh dirinya sendiri.” Ia tersenyum takzim dengan pendapatnya itu. Kemudian ia menambahkan, “wajar saja kalau waktu akan selalu ada. Persetan dengan mereka yang mengatakan tidak ada waktu, hanya karena mereka sedang sibuk.”
Selangkah yang penghabisan. Dia berhenti berjalan. Menatap segala yang dapat ditatap. Dia melihat langit penuh hiasan cahaya. Kepalanya yang tegak, mulut menganga, pikirannya bermuara kata-kata. Hendak ia membuat sepotong puisi. Namun ia kesusahan, hanya karena tidak punya kemampuan membuat puisi.
Ia berusaha memikirkan seperangkat kata-kata. Semakin keras dia berpikir, semakin kesusahan dia mendapatkan kata-kata. “Telampau banyak jumlah kita-kita. Tapi terlalu sedikit kata-kata.” Senyatanya dia sedang menyinggung kebanyakan manusia (termasuk dirinya sendiri) yang tidak mampu menambah perbendaharaan kata.
Masih pada pemberhentiannya, ia tatap lamat-lamat langit yang penuh hiasan cahaya, kemudian lirih berkata,
“Pada ruang ketiadaan, bercengkrama rindu dan kenangan. Tik! Pada dinding bisunya, detik waktu mendetakkan kesunyian. Hasrat terjebak, nyata tak tersibak!” Spontan sepenggal puisi itu terucap pada bibirnya yang kaku.
“Ahmad…!!! Sudah terlalu malam di luar. Masuklah.” Suara dari balik pintu rumah itu menyerbu konsentrasinya. Ia sadar, perjalanan tanpa kompas sejak tadi berakhir di depan rumahnya sendiri. Baginya, perjalanan yang berakhir di rumah ini bukan perjalanan biasa. Meski tanpa kompas, itu ditentukan oleh kehendak waktu. Waktu yang kekal, waktu yang tiada penghabisan.
“Cepat masuk, Ahmad. Ibu sudah menunggu sejak tadi.” Kembali suara itu meraung telinganya. Dari balik pintu rumah, kakak perempuan Ahmad menanti dengan cemas.
Ia (Ahmad) melangkah menuju rumah dengan segenap perasaan yang tergantung di langit. Setiap langkahnya diikuti dengan mantra-mantra paling khusyuk, “Kepada waktu, manusia adalah kemerdekaan. Kepada manusia (yang katanya ahli pengetahuan), manusia terbelenggu. Waktu adalah keabstrakan yang asasi dan yang paling purba. “Penciptaan Adam sekalipun telah melibatkan ruang dan waktu. Ruang dan waktu!”
Ahmad mengakhiri kalimatnya, cepat-cepat menuju pintu yang sudah terbuka. Ahmad telah sampai kepada waktu yang paling asasi dalam hidupnya.
Dari dalam rumah terdengar perbincangan dua anak semesta yang saling takut. Kakak Ahmad, Normala, membicarakan hal serupa tentang waktu. Kedua anak semesta itu sama-sama punya pendapat tentang waktu yang kekal, waktu yang tiada penghabisan.
Di malam itu, waktu telah menunjukkan pukul setengah tiga. Ketakutan yang tak wajar dialami oleh Normala dikarenakan kepulangan Ahmad yang tidak biasa. Pada keluarganya, Ahmad terkenal sebagai pribadi yang malas berpergian, tapi di malam ini, ada suatu hal berbeda yang menimbulkan rasa takut dan cemas.
“Terlalu gemar kau berpergian, Ahmad. Sampai-sampai tak mengenal waktu.” Ungkap Normala tegas.
“Sedari pagi kau pergi, baru pagi ini pula kau kembali. Ke mana saja kau berpergian?”
Ahmad tak menjawab kecemasan kakaknya Normala.
Masih ia tahan sebongkah jawaban yang hendak dia sampaikan. Ia berdiam diri. Ia sadar, ia berada di bawah kontrol waktu. “Kita terlahir dari waktu, oleh waktu, dan untuk waktu, Ahmad. Kita semua anak semesta yang hidup, dikehendaki oleh waktu.” Tambah Normala, melihat keadaan Ahmad yang sudah dipahaminya.
“Betapapun begitu, kita harus mengenal waktu, Ahmad. Hari ini kau berpergian tak mengenal waktu.” Lanjut Normala kepada Ahmad.
Mendengar kalimat Normala, Ahmad segera ingin menanggapi.
“Hanya karena baru sehari ini aku berpergian aku disebut tidak mengenal waktu, kak?” Tanya Ahmad, kemudian melanjutkan, “semua anak semesta sudah diberikan kebebasan oleh waktu. Aku sangat mengenal waktu. Karena aku mengenal waktu, maka aku harus berpergian.”
“Justru ketika aku hanya mematung di rumah saja patutlah aku disebut tak mengenal waktu. Aku tak merdeka. Aku bak manusia pada umumnya yang sudah dibelenggu oleh para ahli-ahli itu.”
“Pun kakak, yang membicarakan perihal waktu persis para ahli itu berbicara.”Usai mengatakan kalimatnya itu, Ahmad melangkah menuju peristirahatannya. “Baiklah. aku hendak beristirahat, kak.”
“Semoga waktumu selalu baik, Ahmad.” Ucap Normala dengan lirih.(*)