Membaca Realitas

Harapan yang Tertangguhkan akan Implementasi TTE Tersertifikasi pada Pengelolaan APBN

Oleh: Asma Syifa Tanisya

(ASN KPPN Ternate)

 

Sebagai bagian dari pengawal keuangan negara, para pejabat perbendaharaan dituntut mampu cepat beradaptasi dan proaktif terhadap keadaan. Perkembangan industri yang kini terjadi pun sudah merambah pada perkembangan industri teknologi finansial. Mereka yang sudah lama bergelut di bidang keuangan negara tentu merasakan perkembangan pesat yang terjadi dari tahun ke tahun. Yang semula proses pembayaran atas tagihan, harus dilakukan secara langsung dan membutuhkan waktu yang lama, kini menjadi jauh lebih mudah karena cukup dilakukan didepan layar dan bisa dilakukan dari ruangan masing-masing.

Perubahan adalah suatu hal yang pasti. Perkembangan industri teknologi finansial tentunya tak berhenti sampai disitu. Perkembangan yang dilakukan terus menerus ini, diharapkan dapat mengekskalasi keamanan dan keandalan dari proses pembayaran yang dilakukan. Salah satu strategi yang sudah sejak lama direncanakan dan berusaha diwujudkan sesegera mungkin ialah penggunaan Tanda Tangan Elektronik atau TTE Tersertifikasi.

Tujuan dan harapan dari TTE Tersertifikasi ini, sebenarnya cukup jelas, yakni mewujudkan digitalisasi pengelolaan APBN bagi pengguna anggaran yang tentunya akan membuat pengelolaan APBN menjadi lebih mudah dan sederhana. Kemananan pun lebih terjaga. Sebab penyematan TTE Tersertifikasi yang dilakukan pengelola keuangan sejatinya merupakan tanggung jawab masing-masing pemilik tanda tangan. Keberadaannya juga dapat dibuktikan dan memiliki kekuatan hukum serta akibat hukum, seperti yang telah dituangkan pada UU ITE.

Tak henti-hentinya Direktorat Jenderal Perbendaharaan mengupayakan agar TTE Tersertifikasi dapat segera menjadi bagian dari keseharian dalam pengelolaan keuangan negara. Kerja sama yang baik dengan Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN) dijalin untuk mewujudkan hal tersebut.

Implementasi TTE Tersertifikasi ini, sudah dilakukan secara bertahap sejak penghujung tahun 2022 dan direncanakan rampung pada tahun 2023. Meskipun tanggung jawab ada pada masing-masing Kementerian/Lembaga, Direktorat Jenderal Perbendaharaan bersama dengan seluruh Kanwil DJPb maupun KPPN yang berada di bawahnya turut mengupayakan kelengkapan TTE Tersertifikasi melalui layanan konsultasi yang disambut dengan tangan terbuka. Semua semata-mata sebagai upaya agar harapan terimplementasinya TTE Tersertifikasi pada pengelolaan APBN di seluruh penjuru Indonesia segera terwujud.

Implementasi TTE Tersertifikasi dilaksanakan secara bertahap sejak akhir 2022 dan Tahap III yang dijadwalkan pada 1 September 2023 lalu, diharapkan menjadi garis akhir dari usaha untuk mewujudkan harapan bersama ini sayangnya tidak berjalan sesuai rencana. Terdapat error atau galat tepat pada hari kedua diberlakukannya TTE Tersertifikasi pada Sistem SAKTI bagi seluruh satuan kerja yang menjadi bagian dari piloting Tahap III implementasi TTE Tersertifikasi ini. Galat ini, cukup masif sebab sempat menghambat pergerakan para pengelola keuangan. Terbukti pada hari kedua implementasi TTE Tersertifikasi, nilai transaksi yang diproses di KPPN Ternate hanya Rp14.362.504.697, 75% lebih rendah dari rata-rata bulan September yang senilai Rp57.877.584.344.

Mengacu pada pengumuman yang diterbitkan oleh Kepala Balai Badan Sertifikasi Elektronik pada 7 September 2023, galat tersebut diketahui disebabkan oleh adanya celah pada layanan sertifikasi elektronik yang menyebabkan kendala pada penggunaan TTE Tersertifikasi yang diterbitkan BSrE BSSN. Efeknya, proses pengelolaan APBN khususnya pada proses penerbitan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) dan Surat Perintah Membayar (SPM), menjadi terkendala.

Kendala ini terasa begitu berat sampai diputuskan bahwa penggunaan TTE Tersertifikasi ini terpaksa harus ditangguhkan bagi K/L yang merupakan bagian dari piloting Tahap III implementasi TTE Tersertifikasi, yang notabene merupakan K/L dengan satuan kerja dengan jumlah besar.

Meskipun tidak terdapat keterangan secara spesifik mengenai alasan dari galat yang terjadi, salah satu hal yang paling mungkin menjadi penyebabnya ialah terlalu besarnya beban yang harus ditanggung oleh sistem apabila seluruh satuan kerja mempergunakan TTE Tersertifikasi berbasis Portal BSrE. Tentu saja, fasilitasi penggunaan TTE Tersertifikasi untuk pengelola keuangan se-Indonesia bukan merupakan hal yang bisa dianggap ringan. Perlu persiapan yang matang untuk memastikan semua yang diperlukan berjalan dengan baik dan berfungsi sebagaimana mestinya. Segala risiko yang mungkin terjadi juga perlu diperhitungkan dengan baik mengingat kendala yang sebelumnya terjadi menyebabkan efek bola salju ke berbagai aspek.

Sejalan dengan Perpres Nomor 95 Tahun 2018 dan semua peraturan turunan yang terkait dengan implementasi TTE Tersertifikasi, pada pengelolaan APBN dapat menerapkan TTE Tersertifikasi dengan sebagaimana mestinya kini telah menjadi sesuatu yang sama-sama dinanti. Kemudahan, kenyamanan, dan keamanan dari penerapan TTE Tersertifikasi diharapkan dapat segera dirasakan dari adanya penyesuaian dan pengembangan yang sedang dilakukan.

Sementara itu, sebagai upaya menjamin kelancaran layanan TTE Tersertifikasi pada sistem SAKTI sebagai bagian dari proses pengelolaan APBN, Direktorat Jenderal Perbendaharaan saat ini tengah mengupayakan replikasi e-Sign Master BSSN pada Smart Data Center (SDC) Kementerian Keuangan. Upaya ini diharapkan dapat menjadi jaring pengaman yang kokoh untuk memitigasi kendala yang mungkin terjadi di kemudian hari.