Oleh : Risman Buamona
____
Sepuluh tahun lalu, saya pertama kali sampai ke tanah ini: lembah Wasilei. Bersama tiga orang teman dari Bogor -dan dua orang dari Ternate- kami datang membaca sejarah serta perubahan hidup penghuni teluk Buli dan Teluk Kao, Halmahera.
Lembah subur Wasilei di kaki perbukitan Wato-Wato tersebut merupakan salah satu lembah terluas pada pulau pemilik tiga teluk ini. Tahun 1970-an, hamparan dusun sagu yang tumbuh di dalamnya dikonversi menjadi pemukiman dan pertanian transmigran.
Para transmigran menyulap lembah Waselei menjadi hamparan sawah sepanjang mata memandang. Petak-petak sawahnya menjadi lumbung beras utama di Halmahera, dan Maluku Utara.
Dari hamparan sawah itu, beberapa petak diantaranya dikerjakan oleh seorang pemuda. Ia menggarap sawah warisan mertuanya sejak sepuluh tahun lalu.
Upi, begitu kami memanggilnya, adalah seorang Sarjana Ekonomi, lulusan Unkhair Ternate. Sejak menikah dan tinggal di Satuan Pemukiman 4 Subaim, ia membangun hidupnya dengan bertani, menambak ikan air tawar serta beternak. Pernah juga jadi pendamping desa.
Saya begitu tertegun, kagum pada setiap penjelasannya tentang pertanian. Mulai dari pra sampai pasca-produksi. Antara menanam di lahan kering atau hidroponik. Atau sejak pembibitan sampai okulasi. Begitu lengkap, begitu utuh.
Lantas, tentang pertanian organik, Upi merupakan ahlinya. Bukan hanya pengetahuannya saja, pada paradigma dasar pertanian alami ini ia sadari benar. Meresap menjadi laku (praktek) dalam petak-petak sawah yang ia tanami.
Upi pernah menguji, sepiring nasi dari beras organik yang ia tanam sendiri dengan sepiring nasi dari beras yang menggunakan pupuk dan pestisida di atas meja. Selama tiga hari, nasi di piring kedua, tidak hanya basi, tapi mulai membusuk. Sedangkan nasi pada piring yang pertama cuma mengeras saja.
(Bersambung…)