Pemerintah “Apatis” KBGO Jadi Ancaman Serius
TERNATE (Kalesang) – Minimnya pemahaman tentang Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di kalangan masyarakat dan pejabat instansi terkait menjadi sorotan di Kota Ternate. Padahal, KBGO merupakan salah satu bentuk kekerasan yang saat ini jumlah kasusnya terus meningkat secara signifikan.
Pihak-pihak yang seharusnya menjadi pengada layanan untuk para korban KBGO ditemukan masih awam dan tidak mengenali bentuk kekerasan tersebut. Misalnya, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Ternate, Eksa Saera, secara ragu merespons pertanyaan terkait kasus-kasus KBGO di Ternate dengan bertanya balik. “KBGO itu yang seperti video-video seksual, ya?” ungkapnya melalui WhatsApp, Jumat (6/12/2024).
Ketidaktahuan serupa juga ditunjukkan oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Ternate, Marjorie Amal. Saat dikonfirmasi, ia mengarahkan permintaan wawancara untuk menghubungi Kepala bidangnya tanpa memberikan informasi terkait penanganan kasus KBGO dalam lima tahun terakhir.

Apa itu KBGO
Sementara itu, Koordinator Inisiatif AwasKBGO, SAFEnet, Wida Arioka, menjelaskan bahwa KBGO sebagai kekerasan yang menyasar individu berdasarkan identitas gender atau orientasi seksual tertentu dengan bantuan teknologi telah ada sejak internet dan teknologi informasi berkembang. Kekerasan ini difasilitasi oleh perangkat seperti ponsel, laptop, dan media digital lainnya.
“KBGO mencakup berbagai bentuk kekerasan daring, seperti ancaman, pelecehan, atau distribusi konten intim tanpa izin. SAFEnet telah memantau dan mengadvokasi kasus-kasus KBGO di Indonesia sejak 2018,” jelasnya, Sabtu (14/12/2024).
Namun, instansi seperti DP3A, UPTD PPA, dan Polres Ternate mengakui belum memiliki pemahaman atau klasifikasi khusus mengenai KBGO. Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Ternate, Iptu Bondan Manikotomo, menyebutkan bahwa pihaknya hanya menangani pelecehan secara umum tanpa klasifikasi khusus untuk kasus berbasis daring.
Kasus yang Terus Meningkat
Berdasarkan data SAFEnet selama lima tahun terakhir, kasus KBGO terus meningkat secara signigikan. Sepanjang tahun 2023, SAFEnet menerima total 1.052 pengaduan melalui platform aduan.safenet.or.id dari berbagai wilayah di Indonesia.
Korban dengan gender spesifik perempuan menjadi yang terbanyak, yaitu 638 orang, diikuti oleh laki-laki sebanyak 304 orang. Sementara itu, terdapat 8 korban dengan gender tidak diketahui dan 1 korban non-biner. Sementara, jumlah pelapor lainnya terdiri atas 58 perempuan, 39 laki-laki, dan 4 orang dengan jenis kelamin tidak diketahui.
Data ini merangkum laporan KBGO dari tahun 2019 hingga 2023.
https://datawrapper.dwcdn.net/d31r4/1/
Sementara itu, berdasarkan wilayah, Jawa Barat merupakan daerah dengan jumlah aduan tertinggi, yaitu mencapai 243 aduan. Di urutan kedua terdapat Jawa Timur dengan 128 aduan, diikuti oleh Jakarta di urutan ketiga dengan 122 aduan. Sebaliknya, Maluku Utara berada di urutan kedua terbawah dengan hanya 2 kasus aduan. Namun, hal ini tidak berarti bahwa di Maluku Utara aman dari kasus KBGO. Berdasarkan pengakuan korban dan pihak instansi yang berwenang, banyak dari mereka belum memahami tentang KBGO.
Cerita Korban: Cinta yang Berakhir Trauma
Lili (bukan nama sebenarnya), seorang perempuan berusia 24 tahun, hanya bisa terpaku ketika menerima pesan WhatsApp dari mantan kekasihnya. Ia tak membalas pesan tersebut karena tidak berdaya mendapatkan ancaman penyebaran foto dan video intim miliknya.
Menurut Lili, ancaman tersebut melalui pesan WhatsApp dan secara langsung selama dua tahun terakhir, terutama sejak ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan kekasihnya. “Setiap kali ada masalah atau saat saya meminta hubungan ini berakhir, dia selalu mengancam akan menyebarkan foto saya,” ungkapnya (1/12/2024).
Meski terus diancam, Lili mengaku tidak berniat melaporkan mantan kekasihnya kepada pihak berwajib. Ia takut hal ini akan menjadi aib bagi keluarganya. “Saya takut keluarga tahu, dan rasanya malu juga. Apalagi nanti saat pemeriksaan, saya harus menceritakan semuanya,” katanya.

Kasus yang dialami Lili merupakan penyebaran konten intim distribusi berupa video dan foto pribadi tanpa izin atau dikenal sebagai kekerasan seksual non-consensual intimate image distribution (NCII).
Kasus lain dialami Nita (37 tahun), seorang jurnalis dan ibu rumah tangga, yang sering menerima pesan berisi foto atau video intim dari akun tidak dikenal. Nita kerap menerima kiriman video dan foto tidak senonoh melalui Facebook dari pelaku yang mayoritas tak dikenal, bahkan beberapa pelaku melakukan panggilan video dalam keadaan telanjang. Pengalaman ini membuat Nita merasa terganggu dan khawatir, terutama terhadap anak-anaknya yang bisa tanpa sengaja melihat konten tersebut.
“Saya melarang anak-anak membuka ponsel saya, karena takut mereka melihat pesan-pesan itu,” ungkap Nita. Gangguan ini terjadi sejak 2017 hingga 2019. Awalnya, Nita tidak menyadari bahwa tindakan tersebut adalah kekerasan berbasis gender online (KBGO). Ia sempat ingin melaporkan para pelaku, tetapi mengurungkan niat karena khawatir proses hukum memakan waktu.
Meskipun suaminya menyarankan menutup akun Facebook, Nita memilih mempertahankannya untuk pekerjaan. Gangguan yang terus berlanjut membuat Nita akhirnya menerima panggilan video dari pelaku, sambil merekam layar dan mengambil tangkapan layar sebagai barang bukti. Ia kemudian mempublikasikan bukti tersebut di akun pribadinya. Respons dari pengguna lain yang juga menjadi korban serupa membuat pelaku berhenti mengirimkan konten tidak pantas.
Minimnya Pemahaman dan Penanganan
Psikologi Klinis, Khairunnisa, M.Psi, saat dikonfirmasi Senin, (9/12/ 2024) menyampaikan, bahwa masyarakat di daerah ini khususnya di Maluku Utara, masih sangat minim pemahaman terkait Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Bahkan, sering kali korban tidak menyadari bahwa tindakan seperti pemerasan melalui media online, ancaman, atau komentar yang merendahkan adalah bagian dari KBGO.
Ia menambahkan bahwa korban KBGO umumnya mengalami trauma mendalam, yang dalam beberapa kasus membuat mereka enggan menggunakan media sosial. Dampak ini sangat bergantung pada jenis dan tingkat keparahan kasus yang dialami korban.
“Sejauh ini, kasus yang saya tangani terkait KBGO baru satu, yaitu seorang ibu rumah tangga yang diperas oleh pasangannya. Namun, korban tidak mau melapor karena merasa aib dan malu, apalagi ia masih memiliki suami dan anak. Saat ini, kasus tersebut hanya diselesaikan melalui konseling untuk menghentikan pelaku yang telah merugikan korban secara ekonomi melalui ancaman,” jelasnya.
Khairunnisa juga menekankan pentingnya edukasi kepada instansi terkait dan masyarakat umum agar mereka memahami apa itu KBGO. “Jika orang tidak paham, bagaimana mereka bisa melapor?” tutupnya.
Lukman Harun, Sekretaris LBH Marimoi, saat dikonfirmasi pada Jumat, (13/12/ 2024), mengungkapkan bahwa pihaknya pernah menerima aduan terkait ancaman penyebaran foto dan video intim dalam hubungan pacaran.
“Kami pernah menerima dua aduan terkait penyebaran video dan foto intim dalam hubungan pacaran pada tahun 2022 dan 2023. Namun, kasus-kasus tersebut hanya sampai tahap mediasi, karena setelah mediasi pelaku meminta maaf dan menghapus seluruh video intim tersebut,” jelasnya.
Ia juga menegaskan bahwa kasus seperti yang dialami oleh Lili dan Nita merupakan perkara hukum yang dapat dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), mengingat penggunaan media sosial dalam kasus tersebut.
Sementara itu, SAFEnet turut memberikan pendampingan kepada korban KBGO dengan pendekatan yang berbeda dari aparat penegak hukum. Pendampingan ini dilakukan melalui tiga layanan utama. Pertama, pengaduan melalui situs resmi SAFEnet di aduan.safenet.or.id termasuk konsultasi keamanan digital. Kedua, bantuan pelaporan konten ke platform terkait, jika konten sudah tersebar. Ketiga konseling psikologi secara daring untuk membantu korban menghadapi dampak psikologis.
“Pendekatan ini bertujuan memberikan dukungan yang holistik dan memberdayakan korban untuk menghadapi kasus KBGO yang mereka alami,”ungkapnya.
Meskipun data KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online) di Maluku Utara belum ada, Kalesang.id menggunakan data kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Ternate sebagai acuan. Namun Permintaan data terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak kepada Dinas P3A telah diajukan, tetapi hingga berita ini diterbitkan belum mendapat respon..
Data Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Merujuk pada data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA). Dapat dilihat Maluku Utara, termasuk salah satu Provinsi yang tiap tahun mengalami peningkatan kekerasan Perempuan dan Anak.
Berdasarkan data sebaran Kekerasan terhadap Perempuan dan anak di Maluku Utara lima tahun terakhir, 2020 tercatat 151 khusus, Laki-laki 17 kasus, Perempuan 138 kasus. 2021 tercatat 290 kasus, Laki-laki 48 kasus, Perempuan 272 kasus. 2022 tercatat 396 kasus, Laki-laki 45 kasus, Perempuan 387 kasus, 2023 tercatat 410 kasus, Laki-laki 53 kasus, Perempuan 409 kasus, pada tahun 2024, tercatat jumlah kasus kekerasan mencapai 108 kasus, terdiri dari laki-laki 59 kasus, Perempuan 377 kasus. Namun perhitungan data kekerasan tahun 2024, masih berlangsung dan berpotensi terjadi peningkatan.
Sementara untuk, sebaran 10 Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara, Kota Ternate merupakan kota dengan angka kekerasan Perempuan dan Anak tertinggi dengan jumlah 83 kasus.
https://datawrapper.dwcdn.net/qZmPL/1/
Meskipun data SIMFONI-PPA tahun 2024 ini tidak secara eksplisit menggambarkan KBGO, tetapi data SAFEnet menunjukkan bahwa kekerasan dalam hubungan interpersonal, seperti antara pasangan atau teman di era digital ini biasanya juga berpotensi besar terjadi KBGO. Hal ini menyoroti pentingnya upaya pencegahan dan peningkatan kesadaran tentang kekerasan interpersonal dan juga KBGO. (*)
Artikel ini diproduksi dalam kerangka proyek SAFEnet
Penulis : Yunita Kaunar